Be Yourself. Jadilah dirimu sendiri. Sebuah frase yang sudah sering kita dengar dari para motivator, atau sering kita baca di buku-buku pengembangan diri. Mudah diucapkan, ringan dilafalkan. Akan tetapi, pelaksanaannya tak semudah mengucapkannya, praktiknya tak seringan melafakannya.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sadari atau tidak, seringkali kita menjadi orang lain, menjadi seperti yang diingkan oleh masyarakat di lingkungan kita. Mulai dari cara berbicara, cara berpikir, cara berpakaian, membangun rumah, membeli kendaraan, kepemilikan harta, gaya hidup, sikap dan perilaku, dan seterusnya.
Keputusan yang kita ambil pun bukan murni pilihan kita sendiri, tapi seringkali dipilihkan oleh orang lain. baik atau tidak lebih condong kepada pendapat orang lain. tindakan yang kita ambil menurut penilaian orang lain. melakukan sesuatu juga seringkali atas rekomendasi orang lain.
Contoh kecil, ketika kita ingin membeli sepeda motor. Karena kita lebih mendengar omongan orang lain, akhirnya kita membeli sesuai yang diingkan orang itu, yang tak jarang kita memaksakan diri. Padahal, membeli sepeda motor second dengan kondisi 90% pun sudah cukup dan pas buat kita.
Contoh lain, urusan menyekolahkan anak. Sekolah yang dituju bukan atas pilihan sendiri ataupun pilihan anak kita, tapi atas dasar pertimbangan dan masukan orang lain. Kita kurang yakin dengan pilihan sendiri dan lebih percaya dengan pilihan orang lain. Bahkan, terkadang kita hanya sekedar ikut-ikutan berdasarkan tren atau gengsi.
Terlebih di era globalisasi sekarang ini, kita menjadi semakin tidak merdeka. Hampir seluruh aspek kehidupan kita dikendalikan oleh isme-isme global. Entah itu kapitalisme, konsumerisme, hedonisme. Juga pengaruh dari iklan, budaya populer, kenikmatan semu, gaya hidup, syahwat duniawi, dan sebagainya.
Gembira atau Sedih
Perihal menyangkut perasaan, sering juga ditentukan oleh orang lain. Kita menjadi senang atau bahagia dikarenakan pujian orang lain. Sebaliknya, kita menjadi sedih atau marah karena dikritik, diejek, dicaci-maki, dihina, dicela oleh orang lain. Bagaimana kondisi perasaan kita, orang lain yang menentukan.
Padahal perasaan itu adalah milik kita sendiri. Oleh karena itu, kitalah "raja" dari perasaan kita. Seharusnya kita yang menentukan, apakah mau gembira atau mau sedih. Walaupun bersifat alamiah, perasaan gembira atau sedih dapat diolah. Respon terhadap stimulus dari luar dapat dimanipulasi.
Ketika ada yang menghina kita, kita pun diberi kebebasan untuk menentukan respon kita. Apakah kita akan marah, sedih, atau cuek. Atau justru kita malah senang dan bersyukur, karena dengan dihina kita akan memiliki mental yang kuat dan pribadi yang tangguh.
Jadilah "Remote Control" Diri Sendiri