Mohon tunggu...
Trimanto B. Ngaderi
Trimanto B. Ngaderi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Penulis, Pendamping Sosial Kementerian Sosial RI, Pegiat Urban Farming, Direktur PT LABA Indoagro Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Pilpres dan "Budaya Hoaks"

17 Oktober 2018   09:40 Diperbarui: 17 Oktober 2018   10:05 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Dalam waktu dekat, bangsa Indonesia akan menyelenggarakan hajat besar yaitu Pemilihan Presiden (Pilpres) Tahun 2019. Pemilu yang akan menentukan orang nomor satu di republik ini.

Kandidat yang akan bertarung pada Pilpres kali ini adalah pasangan Joko Widodo-KH Ma'ruf Amin dan pasangan Prabowo Subiyanto-Sandiaga Uno. Uniknya, Prabowo Subiyanto juga merupakan lawan tanding Joko Widodo pada Pilpres tahun 2014 lalu.

Dengan adanya dua calon yang maju pada Pilpres 2019, membuat bangsa ini juga terbelah menjadi dua kubu. Tentu tidak salah jika seseorang condong kepada salah satu kubu, karena itu hak mereka untuk menentukan pilihan. Yang salah adalah jika seseorang tidak memiliki pilihan sama sekali alias golput, terutama pada saat pencoblosan nanti.

Memberikan dukungan kepada salah satu calon adalah sah-sah saja. Asal diwujudkan dalam ungkapan, ucapan, perilaku, atau tindakan yang wajar dan rasional serta dapat dipertanggungjawabkan. 

Akan tetapi, jika dukungan itu sudah mengarah kepada sikap fanatisme yang berlebihan, puja-puji yang melangit, hingga penilaian yang teramat subyektif. Terlebih lagi jika disertai sikap menyerang calon lain, memfitnah, mencari-cari kesalahan, dan berbagai cara untuk menjatuhkan pihak lawan.

Hal itu sudah terjadi sejak beberapa waktu lalu, terutama di media sosial (medsos). Postingan bertema seputar capres membanjiri medsos setiap harinya. Masing-masing kubu memuji, menilai, mengagungkan, mendewakan calon yang didukungnya. 

Bersamaan dengan itu, mereka juga mencaci, memaki, menjelekkan, merendahkan, menjatuhkan, bahkan memfitnah calon lain. Mereka melakukan adu argumen, perang opini, pamer data dan sumber rujukan, pamer prestasi, dll. Hawa panas benar-benar menyelimuti nuansa medsos kita.

Alih-alih berdiskusi secara santun dan disertai argumen yang dapat dipertanggungjawabkan, mereka kebanyakan hanya mengandalkan subyektivitas, debat kusir, prasangka, asumsi, dan hawa nafsu. Bukannya ilmu, wawasan, dan pencerahan yang didapat; melainkan cacian, makian, umpatan dan hal-hal kontraproduktif lainnya. 

Di satu sisi, nuansa demokrasi telah berjalan dengan diwujudkan dalam bentuk kebebasan berpendapat. Namun di sisi lain, juga menodai prinsip demokrasi itu sendiri, yaitu sikap arogan, mau menang sendiri, dan tidak menghargai pendapat atau pilihan orang lain.

Fenomena baru lainnya adalah munculnya akun-akun baru medsos yang tidak jelas dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kontennya. Akun-akun dengan foto profil palsu, deskripsi akun yang tidak jelas serta kontennya yang mayoritas kontraproduktif. 

Postingan-postingannya cenderung negatif dan bernada ujaran kebencian. Beropini  tanpa argumen yang kuat, bicara tanpa data yang lengkap dan jelas, serta beredarnya tulisan-tulisan dari sumber anonim (sekedar copas).

Lebih khusus yang terjadi di Whatsapp. Beragam hoax (berita bohong) amat mudah beredar di media yang satu ini. Setiap saat kita menerima hoax baik di ruang grup maupun lewat jaringan pribadi. Hoax di sini bisa berupa tulisan seperti opini, esai, artikel, maupun berita. Juga bisa dalam bentuk gambar atau video. 

Tulisan biasanya tanpa disertai nama penulisnya (anonim), atau jika disertakan nama penulisnya, biasanya nama penulis masih terasa asing atau belum pernah kita kenal.

Anehnya, sebagian besar dari kita percaya begitu saja terhadap semua hoax yang beredar tadi, tanpa melakukan pengecekan atau klarifikasi terlebih dahulu. Parahnya lagi, tanpa berpikir panjang, kita pun segera menyebarluaskan ulang hoax tersebut ke berbagai tempat (tujuan) sebanyak mungkin. Apalagi di akhir tulisan, berbunyi "SEBARKAN!!!".

Siklus yang terjadi adalah kita menikmati hoax senikmat meminum kopi, lalu menyebarkan ulang, menikmati hoax lagi, dan kemudian menyebarkannya lagi. Menikmati dan menyebarkan hoax akhirnya menjadi budaya keseharian kita, bahkan menjadi gaya hidup. 

Kita menikmatinya,benar-benar menikmati. Lebih dari itu, kita merasa bangga dan puas karena telah menyebarkan kebenaran, melakukan perjuangan, menegakkan keadilan, dan melawan kezaliman.

Anehnya lagi, penikmatan dan penyebaran hoax tidak hanya dilakukan oleh orang awam atau orang yang berpendidikan rendah. Penyebaran berita bohong dilakukan pula oleh para kaum intelektual, orang terdidik, maupun kaum agamawan. 

Sehingga bagi orang awam sendiri, ketika yang menyebarkan berita itu adalah orang terdidik atau dari kalangan pemimpin agama, mereka meyakini dengan sepenuhnya bahwa berita itu adalah benar adanya.

Dengan demikian, kegiatan menikmati dan menyebarkan hoax telah menjadi budaya keseharian kita, terlebih di masa menjelang Pilpres seperti sekarang ini. Budaya yang telah menguras perhatian, energi, dan waktu kita. 

Kita telah melakukan perbuatan yang sia-sia dan kontraproduktif, hingga pekerjaan utama kita menjadi terbengkalai dan terabaikan. Kita bukannya membangun budaya yang baik dan positif, melainkan budaya yang destruktif.

Kegiatan penyebaran berita bohong tidaklah membawa manfaat apapun, kecuali kerusakan dan kemudharatan. Hoax memberikan peluang terjadinya perpecahan bangsa, konflik sosial, disintegrasi, tindakan kriminal, hingga gerakan revolusi. 

Hoax lebih banyak berisikan kampanye hitam, propaganda, isu negatif, dan kabar angin yang dapat meracuni pikiran dan menyesatkan. Hal ini akan memicu kebencian, amarah, dan tindakan angkara murka.

Minimnya Budaya Literasi

Munculnya hoax dan budaya menyebarkan hoax salah satunya disebabkan oleh masih minimnya budaya literasi di kalangan masyarakat Indonesia. Sampai kini, Indonesia masih menempati posisi terendah dalam hal budaya membaca (buku). 

Rendahnya minat baca masyarakat tidak hanya terjadi pada golongan awam atau rakyat jelata, akan tetapi juga menimpa golongan terpelajar dan kaum akademisi.

Dengan membaca buku, orang akan mendapatkan pengetahuan yang benar, wawasan yang memperkaya, dan ilmu yang mencerahkan. Ia akan memiliki kemampuan analisa, argumentasi, daya kritis, dan perbandingan. 

Sementara orang yang malas membaca, hanya akan mendapatkan informasi dari smartphone, terutama dari media sosial, yang kontennya belum tentu dapat dipertanggungjawabkan. Orang yang hanya mengonsumsi informasi dari medsos biasanya malas untuk berpikir secara mendalam, melakukan kroscek dan klarifikasi, serta melakukan verifikasi.

Menurut pengamat media sosial, Nukman Luthfie, pada era di saat masyarakat sulit untuk membendakan mana informasi yang benar dan mana informasi yang salah, hal terpenting adalah meningkatkan literasi media dan literasi media sosial.

Ketika bangsa Indonesia masih memiliki tradisi lisan, belum memiliki tradisi baca-tulis, tiba-tiba hadir teknologi berupa smartphone  yang memiliki fitur dan kemampuan canggih. Hal ini menyebabkan bangsa kita langsung meloncat dari tradisi lisan menuju tradisi teknologi. 

Dengan demikian, sejatinya kita belum mempunyai kesiapan untuk menghadapi ekses negatif dari smartphone, seperti pornografi, bulliying, paham terorisme, hoax, dll.

Sudah dasarnya malas membaca, dengan hadirnya smartphone membuat bangsa semakin malas. Mereka kemudian memiliki budaya copy-paste dalam banyak hal.  Mereka menjadi malas berpikir,malas mencari, dan malas membaca. Ketika akan mengerjakan PR, tugas kuliah, skripsi, atau tugas pekerjaan, seringnya hanya sekedar copas. Dari budaya copas inilah biasanya akan menghasilkan budaya buruk berikutnya, yaitu plagiarisme.

Selain itu, secara umum bangsa kita juga menyukai hal-hal yang berbau gosip, rumor, kabar burung, atau berita sensasional. Hal ini membuat mereka amat menikmati berita yang sifatnya hoax. Tidak hanya menikmati, dari kebiasaan copas tadi, mereka pun menyebarkan hoax tersebut sebanyak mungkin. Terlebih di masa menjelang Pilpres ini, hoax beredar nyaris tanpa kendali.

Penutup 

Pilpres merupakan momentum penting yang akan menentukan masa depan bangsa. Marilah kita kawal bersama agar Pilpres dapat berlangsung dengan baik dan damai. Mari kita beropini, membuat berita, atau berkomentar yang positif, bersifat membangun, dan mengajak kepada tindakan terpuji. Mari kita menghindari kebiasaan menyebarkan berita bohong karena hanya akan merusak bangsa, memecah-belah persatuan, dan konflik sosial.

Salah satu cara untuk mencegah beredarnya berita bohong adalah dengan membudayakan membaca-menulis. Kebiasan ini akan melatih seseorang untuk berpikir kritis, kemampuan daya analisa, serta pendalaman atas suatu masalah. Termasuk sikap untuk selalu melakukan pengecekan dan klarifikasi atas suatu informasi yang diterima.

Masyarakat diharapkan lebih bijak dalam memanfaatkan media sosial. Memastikan terlebih dahulu akurasi konten yang akan dibagikan, mengklarifikasi kebenarannya, memastikan manfaatnya, baru kemudian menyebarkannya.

Oleh: Trimanto B. Ngaderi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun