Usai berkata demikian, aku dengar Bapak bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju pintu. Laksana maling yang kepergok tuan rumah, aku bergegas berlari kembali menuju kamarku. Dengan napas masih tersengal-sengal karena takut, aku merebahkan badanku di tempat tidur. Mengingat berbagai kejadian hari itu, tak terasa air mataku pun meleleh.
***
Pikiran siapa yang tak suntuk, hati siapa yang takkan kecewa. Ketika niat untuk menikah sudah sedemikian bulat dan mantap, tapi keluarga belum menyetujuinya. Sedih, bingung, sekaligus buntu. Apalagi yang mesti aku lakukan untuk meyakinkan mereka.
Di tengah segala kegundahan dan kegalauan yang tiada menentu, aku menemui calon istriku di Jakarta. Aku pun menceritakan hal yang sedang aku alami.
"Abang keliru sih, bilang aku orang Mandailing, jangan orang Batak", sarannya tegas. "Lagipula, kami juga tidak senang jika disebut orang Batak", imbuhnya kemudian.
Aku pun mengamini masukannya.
***
Sesampainya di kampung, aku mencoba bicara lagi dengan ayah maupun kakakku. Mendengar penuturanku, kakak mulai agak melunak, namun bapakku masih bersikeras menolak calon istriku.
"Bukan orang Batak bagaimana, wong ada marganya gitu?" sanggah bapakku tak kalah cerdik.
Aku sedikit gelagapan. Kesal dan kecewa kembali menggelayuti jiwaku. Sementara ibuku tak dapat berbuat banyak, padahal dari awal ia berada di pihakku, walau sebenarnya ia juga tak sepenuhnya setuju jika aku kawin dengan orang jauh.
Aku benar-benar dihadapkan pada pilihan sulit. Membatalkan janji pada calon istriku adalah hal yang tidak bijaksana dan memalukan, tapi pernikahan tanpa restu kedua orang tua dan keluarga juga hal yang tidak diharapkan.