SEPOTONG CINTA DARI BEERSHEBA
Oleh: Trimanto B. Ngaderi*)
Gadis kecil berjilbab umur belasan tahun itu berlari terengah-engah. Melewati jalan ramai di depan Masjid Agung Beersheba. Mukanya nampak pucat dan tegang. Ia berlari semakin kencang tanpa menghiraukan situasi sekitar menuju sebuah gang kecil di belakang masjid. Begitu sampai di depan rumahnya, ia langsung menghambur memeluk neneknya yang sedang duduk di beranda rumah.
Sejurus kemudian, tangisnya meletus, memecah keheningan kota. Sang nenek hanya bisa mengusap-usap rambut cucu satu-satunya itu dengan penuh kasih. Tak tega melihat keadaan cucunya, sang nenek pun ikut menitikkan air mata.
Shira, nama gadis itu. Usai tangisnya reda, ia mendongakkan mukanya. Neneknya pun mengusap air matanya dan tersenyum teduh.
"Katakan, wahai cucuku, apa yang telah terjadi padamu," tanya sang nenek sembari mendudukkan cucunya di sampingnya.
"Aku dilarang lagi bermain dengan Jonathan," Â jawab Shira sedih.
"Sudah, tidak usah sedih. Shira di rumah sama nenek saja ya."
Walau tampak kecewa, akhirnya Shira mengangguk. Ia merebahkan tubuhnya di pangkuan neneknya. Dengan penuh kasih, sang nenek mengusap pundaknya untuk menenangkannya.
Pandangan nenek menatap ke kubah Masjid Agung Beersheba yang masih kokoh berdiri. Sedetik kemudian, ingatannya berputar ke puluhan tahun silam. Ya, di tahun 1948. Sebuah tragedi terbesar dalam kehidupannya dan juga bangsanya. Ia telah kehilangan segalanya. Suaminya yang baru saja pulang dari masjid tewas tertembak atas agresi pendudukan Zionis Israel. Disusul kemudian ayah Shira, yang juga tewas mengenaskan karena mempertahankan kebun yang hendak direbut oleh penjajah.
Ia menyaksikan dengan mata sendiri, pembunuhan demi pembunuhan, juga penyiksaan demi penyiksaan pada tahun kelam itu. Ada yang tewas ditembak karena dianggap melawan. Ada yang disiksa tanpa perikemanusiaan karena tak mau menyerahkan tanahnya untuk pemukiman baru Yahudi. Sebagian lagi diusir secara paksa untuk meninggalkan tanah kelahiran dan harta-benda.
Hanya sebagian kecil warga Arab-Palestina yang diperkenankan tetap tinggal di tanah kelahirannya. Orang tua yang sakit, orang jompo, serta anak-anak. Nenek Shira dan Shira salah satunya. Namun kehidupan mereka amatlah sulit. Diskriminasi atas nama ras dan agama, perlakuan yang tidak adil, kesulitan akses ekonomi, dan ruang gerak yang terbatas. Bepergian pun dibatasi dan selalu dalam pemeriksaan ketat oleh penguasa pendudukan.
"Mengapa ibu Jonathan melarangku bermain dengan anaknya, Nek?" tanya Shira sembari mendongakkan kepalanya.
Nenek Shira tidak langsung menjawab, ia berpikir untuk mencari jawaban yang tepat.
"Bisa jadi dia tidak melarangmu, mungkin ia tak ingin anaknya terlalu lama bermain sehingga lupa belajar," jawab nenek berusaha bijak.
"Tidak mungkinlah, Nek. Setiap kali Jonathan bermain denganku dan dengan anak-anak Palestina lainnya, sorot mata ibu Jonathan menunjukkan ketidaksukaannya," sanggah Shira memperkuat argumennya.
"Mungkin dia sedang capek atau tidak enak badan."
"Tapi Nek, saat aku diajak Jonathan bermain ke rumahnya, ibunya pernah mengatakan kalau aku sebaiknya tidak bermain dengan anaknya, karena aku bukan Yahudi."
Mendengar jawaban itu, nenek Shira tersentak. Hatinya bagai teriris silet baru. Dia sendiri menyadari betapa menderitanya ia sebagai warga minoritas. Awalnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri, kini malah seperti orang asing. Seandainya saja ia masih muda, ingin rasanya ia pergi jauh melintasi gurun Negev, agar terbebas dari segala penderitaan. Intimidasi, ancaman, teror demi teror berlangsung setiap saat. Bahkan, lonceng kematian pun bisa menjemput kapan saja.
Ia masih ingat betul sebelum tahun 1948. Warga Arab Palestina dan Yahudi bisa hidup berdampingan dengan damai. Kehidupan pun aman tenteram. Penguasa Turki Utsmani telah membuat rakyatnya hidup bermartabat tanpa memandang perbedaan ras dan agama.
Tapi, kini semuanya telah berubah. Sejak banyak orang asing turut campur urusan negeri Palestina, dan mereka yang mengaku pemilik sah tanah para nabi ini, seakan kiamat sughra telah ditabuh. Banyak tanah yang dirampas, warga yang diusir, dan entah berapa juta laki-laki yang mati syahid mempertahankan tanah dan negerinya.
Kehilangan demi kehilangan keluarga terjadi beruntun. Setelah kehilangan suaminya dan menantunya (ayah Shira), ketika perang besar meletus tahun 1967, sang nenek kehilangan putri kesayangannya (ibu Shira) yang terkena percikan serangan rudal di sebuah rumah sakit usai melahirkan Shira. Kesedihan belum juga usai, empat saudara laki-laki Shira tertembak tentara Israel saat mereka sedang berdemo di depan Masjid Agung Beersheba.
Mengingat itu semua, mata nenek menjadi basah. Sesaat kemudian, bulir-bulir kecil jatuh membasahi pipinya yang telah keriput. Tangannya yang sedari tadi memijit-mijit punggung Shira menjadi gemetar. Napasnya terdengar berat.
"Ada apa Nek, kenapa nenek menangis?" tanya Shira ketika menyadari keadaan neneknya.
Neneknya hanya menggeleng lemah. Lalu ia memeluk cucunya itu, satu-satunya teman dalam hidupnya. Aku sangat mencemaskanmu, Nak. Bagaimana nasibmu kelak jika aku telah tiada nanti. Siapa yang kelak akan menjaga hidupmu. Ya Allah, lindungilah cucuku. Bisiknya dalam hati.
"Mungkin nenek capek, lebih baik istirahat dulu ya!" pinta Shira sembari membimbing nenek kesayangannya itu masuk ke dalam rumah.
***
Warga Palestina dikejutkan oleh kabar bahwa Masjid Agung Beersheba hendak dijadikan museum oleh Israel. Masjid yang telah ratusan tahun menjadi kebanggan umat Muslim di kota bagian selatan Palestina itu. Sepertinya, Israel memang berniat untuk mencerabut semua yang dimiliki kaum Muslimin.
Ketika telah berhasil mengusir dan membunuh warga Palestina, langkah Israel selanjutnya adalah menyapu bersih semua peninggalan dan simbol-simbol Islam di Tanah Perjanjian. "Tanah Yudea adalah anugerah Yahweh kepada kami". Itulah propaganda Zionis yang selalu didengkungkan di segala penjuru.
Sementara itu, Jonathan tampak berlari-lari kecil menemui ibunya yang sedang membersihkan taman di halaman belakang rumahnya.
"Ibu, lihat ini! Saya mendapat hadiah ulang tahun," seru Jonathan dengan girang.
"Dari siapa Nak?"
"Dari Shira," jawab Jonathan bangga.
"Sini, biar ibu saja yang membuka!"
Tanpa merasa bersalah, ibu Jonathan merebut kado dari tangan anaknya. Lalu ia membaca tulisan yang tertera di sampul kado itu.
"SELAMAT ULANG TAHUN, SAHABATKU. SEMOGA KITA BISA HIDUP RUKUN DAN DAMAI"
Usai membaca kalimat itu, spontan ibu Jonathan melempar kado itu ke tempat sampah. Terkejut dengan perbuatan ibunya, Jonathan berseru, "Lho, kenapa kadoku dibuang?" tanyanya dengan mimik bingung dan kecewa.
"Asal kamu tahu ya, Nak. Shira itu orang Arab-Palestina. Ia Muslim. Berarti ia musuh kita!" teriak ibu Jonathan penuh penekanan.
Mendengar hal itu, Jonathan sontak terkejut. Ia tak mengerti apa maksudnya dan mengapa ibunya mengatakan demikian. Mengapa dari dulu ibunya suka menyinggung soal Arab dan bukan Arab, Islam dan Yahudi, atau Yahudi dan Goyim. Apalah arti itu semua.
Belum hilang keterkejutan Jonathan, dan belum juga ia dapat mencerna maksud kata-kata itu, ibunya segera menimpali, "Dan mulai sekarang, ibu melarang kamu untuk bermain dengan Shira lagi!"
Kekecewaan Jonathan tak tertahankan lagi. Air matanya tumpah. Ia berjalan menuju ke tempat sampah dan memungut kembali kado dari Shira.
Maafkan aku, kawan. Kamu adalah teman baikku. Aku tak pernah mengerti, mengapa persahabatan yang indah ini, terhalang oleh hal-hal yang tidak pernah aku mengerti. Semoga hidupmu bahagia kelak. Gumamnya lirih sembari memeluk kado itu erat.
End
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H