Mohon tunggu...
Trimanto B. Ngaderi
Trimanto B. Ngaderi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Penulis, Pendamping Sosial Kementerian Sosial RI, Pegiat Urban Farming, Direktur PT LABA Indoagro Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sepotong Cinta dari Beersheba

24 April 2018   13:38 Diperbarui: 24 April 2018   13:47 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hanya sebagian kecil warga Arab-Palestina yang diperkenankan tetap tinggal di tanah kelahirannya. Orang tua yang sakit, orang jompo, serta anak-anak. Nenek Shira dan Shira salah satunya. Namun kehidupan mereka amatlah sulit. Diskriminasi atas nama ras dan agama, perlakuan yang tidak adil, kesulitan akses ekonomi, dan ruang gerak yang terbatas. Bepergian pun dibatasi dan selalu dalam pemeriksaan ketat oleh penguasa pendudukan.

"Mengapa ibu Jonathan melarangku bermain dengan anaknya, Nek?" tanya Shira sembari mendongakkan kepalanya.

Nenek Shira tidak langsung menjawab, ia berpikir untuk mencari jawaban yang tepat.

"Bisa jadi dia tidak melarangmu, mungkin ia tak ingin anaknya terlalu lama bermain sehingga lupa belajar," jawab nenek berusaha bijak.

"Tidak mungkinlah, Nek. Setiap kali Jonathan bermain denganku dan dengan anak-anak Palestina lainnya, sorot mata ibu Jonathan menunjukkan ketidaksukaannya," sanggah Shira memperkuat argumennya.

"Mungkin dia sedang capek atau tidak enak badan."

"Tapi Nek, saat aku diajak Jonathan bermain ke rumahnya, ibunya pernah mengatakan kalau aku sebaiknya tidak bermain dengan anaknya, karena aku bukan Yahudi."

Mendengar jawaban itu, nenek Shira tersentak. Hatinya bagai teriris silet baru. Dia sendiri menyadari betapa menderitanya ia sebagai warga minoritas. Awalnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri, kini malah seperti orang asing. Seandainya saja ia masih muda, ingin rasanya ia pergi jauh melintasi gurun Negev, agar terbebas dari segala penderitaan. Intimidasi, ancaman, teror demi teror berlangsung setiap saat. Bahkan, lonceng kematian pun bisa menjemput kapan saja.

Ia masih ingat betul sebelum tahun 1948. Warga Arab Palestina dan Yahudi bisa hidup berdampingan dengan damai. Kehidupan pun aman tenteram. Penguasa Turki Utsmani telah membuat rakyatnya hidup bermartabat tanpa memandang perbedaan ras dan agama.

Tapi, kini semuanya telah berubah. Sejak banyak orang asing turut campur urusan negeri Palestina, dan mereka yang mengaku pemilik sah tanah para nabi ini, seakan kiamat sughra telah ditabuh. Banyak tanah yang dirampas, warga yang diusir, dan entah berapa juta laki-laki yang mati syahid mempertahankan tanah dan negerinya.

Kehilangan demi kehilangan keluarga terjadi beruntun. Setelah kehilangan suaminya dan menantunya (ayah Shira), ketika perang besar meletus tahun 1967, sang nenek kehilangan putri kesayangannya (ibu Shira) yang terkena percikan serangan rudal di sebuah rumah sakit usai melahirkan Shira. Kesedihan belum juga usai, empat saudara laki-laki Shira tertembak tentara Israel saat mereka sedang berdemo di depan Masjid Agung Beersheba.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun