Mohon tunggu...
Trimanto B. Ngaderi
Trimanto B. Ngaderi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Penulis, Pendamping Sosial Kementerian Sosial RI, Pegiat Urban Farming, Direktur PT LABA Indoagro Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sepotong Cinta dari Beersheba

24 April 2018   13:38 Diperbarui: 24 April 2018   13:47 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

SEPOTONG CINTA DARI BEERSHEBA

Oleh: Trimanto B. Ngaderi*)

Gadis kecil berjilbab umur belasan tahun itu berlari terengah-engah. Melewati jalan ramai di depan Masjid Agung Beersheba. Mukanya nampak pucat dan tegang. Ia berlari semakin kencang tanpa menghiraukan situasi sekitar menuju sebuah gang kecil di belakang masjid. Begitu sampai di depan rumahnya, ia langsung menghambur memeluk neneknya yang sedang duduk di beranda rumah.

Sejurus kemudian, tangisnya meletus, memecah keheningan kota. Sang nenek hanya bisa mengusap-usap rambut cucu satu-satunya itu dengan penuh kasih. Tak tega melihat keadaan cucunya, sang nenek pun ikut menitikkan air mata.

Shira, nama gadis itu. Usai tangisnya reda, ia mendongakkan mukanya. Neneknya pun mengusap air matanya dan tersenyum teduh.

"Katakan, wahai cucuku, apa yang telah terjadi padamu," tanya sang nenek sembari mendudukkan cucunya di sampingnya.

"Aku dilarang lagi bermain dengan Jonathan,"   jawab Shira sedih.

"Sudah, tidak usah sedih. Shira di rumah sama nenek saja ya."

Walau tampak kecewa, akhirnya Shira mengangguk. Ia merebahkan tubuhnya di pangkuan neneknya. Dengan penuh kasih, sang nenek mengusap pundaknya untuk menenangkannya.

Pandangan nenek menatap ke kubah Masjid Agung Beersheba yang masih kokoh berdiri. Sedetik kemudian, ingatannya berputar ke puluhan tahun silam. Ya, di tahun 1948. Sebuah tragedi terbesar dalam kehidupannya dan juga bangsanya. Ia telah kehilangan segalanya. Suaminya yang baru saja pulang dari masjid tewas tertembak atas agresi pendudukan Zionis Israel. Disusul kemudian ayah Shira, yang juga tewas mengenaskan karena mempertahankan kebun yang hendak direbut oleh penjajah.

Ia menyaksikan dengan mata sendiri, pembunuhan demi pembunuhan, juga penyiksaan demi penyiksaan pada tahun kelam itu. Ada yang tewas ditembak karena dianggap melawan. Ada yang disiksa tanpa perikemanusiaan karena tak mau menyerahkan tanahnya untuk pemukiman baru Yahudi. Sebagian lagi diusir secara paksa untuk meninggalkan tanah kelahiran dan harta-benda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun