Mohon tunggu...
Trimanto B. Ngaderi
Trimanto B. Ngaderi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Penulis, Pendamping Sosial Kementerian Sosial RI, Pegiat Urban Farming, Direktur PT LABA Indoagro Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Perang Hoax

3 Juli 2017   11:11 Diperbarui: 3 Juli 2017   11:17 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Oleh: Trimanto B. Ngaderi

Kini, telepon pintar (smartphone) bukanlah barang istimewa. Sebagian masyarakat Indonesia telah memilikinya. Terutama di Pulau Jawa, di kota atau di desa, orang kaya atau miskin, orang penting atau orang biasa, telah menggunakannya dalam keseharian kita. Bahkan, di setiap waktu, kita tak bisa melepaskannya barang sedikit pun.

Untuk berselancar di dunia maya, kita tak perlu repot memakai komputer atau laptop. Sudah ada di genggaman dan bisa di bawa ke mana pun dan di mana pun. Kita juga tidak perlu pasang jaringan internet lewat kabel telepon, menara pemancar (tower), atau pergi ke warnet. Cukup membeli paket data dengan kuota tertentu sesuai kebutuhan.

Fitur untuk media sosial pun kian beragam. Selain Facebook dan Twitter, ada pula BBM, Messenger, Instagram, dan yang paling populer adalah Whatsapp (WA). Di Whatsapp inilah, berbagai lalu lintas data baik berupa teks, gambar, audio maupun video berbedar dengan cepat dan masif dalam hitungan detik.

Selain berfungsi positif sebagai sarana komunikasi dan menambah wawasan, Whatsapp juga memiliki dampak negatif  yang merusak baik secara individu maupun sosial. Terutama munculnya berita-berita bohong, kabar burung, desas-desus, yang sebagian besar isinya tak jauh dari dusta, provokasi, propaganda, dan penebar kebencian. Secara sosial, berita-berita seperti ini bisa mengakibatkan konflik, perpecahan, bahkan pertikaian.

Sayangnya, sebagian besar bangsa ini masih begitu mudahnya percaya kepada sebuah berita, tanpa menyaring dan menelaah terlebih dahulu. Kita cenderung menelan mentah-mentah apa saja yang kita terima tanpa memilih dan memilah, membandingkan, atau melakukan konfirmasi terlebih dahulu. Sikap analitis dan ketelitian belum kita miliki.

Keadaan ini diperparah lagi dengan minimnya kemampuan menulis pada bangsa ini. Kita belum memiliki kemampuan menulis yang baik dan benar, membuat berita yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan, dan menulis dengan gaya bahasa yang menentramkan. Kita justru memiliki kebiasaan copy-paste sebuah berita atau postingan tanpa seleksi dan tanpa memikirkan dampak dari tulisan tersebut bagi pembaca berikutnya.

Keseimbangan Berita

Hidup membutuhkan keseimbangan dalam berbagai hal, termasuk dalam hal berita. Ketika media-media mainstream baik cetak maupun eletronik tak lagi dapat dipercaya, kita akan mencari berita dari sumber lain. Selain dari portal berita (online), kini ada rujukan baru yaitu media sosial terutama sekali Whatsapp.

Di media sosial, kita cenderung berlaku sebagai konsumen berita. Kita membagikan (share) berita atau postingan yang entah dari mana sumbernya dan entah pula kebenarannya (hoax). Setelah itu kita menunggu hoax berikutnya. Begitu seterusnya. Kita dibuat sibuk dengan hal-hal yang belum jelas, hal-hal yang tidak penting, dan peristiwa yang bukan kejadian sesungguhnya.

Kita merasa telah berbuat banyak, telah melakukan kebaikan dengan membagi berita yang menurut kita benar dan bermanfaat. Kita seakan-akan telah melakukan peperangan besar melawan kezaliman dan ketidakadilan. Kita merasa telah melawan kemungkaran, kemaksiatan, penyimpangan, dan tindak kejahatan lainnya. Kita menampilkan diri sebagai penyelamat atau pahlawan. Padahal pada kenyataannya, kita tidaklah berbuat apapun. Tidak melakukan sesuatu pun di dunia nyata.

Justru sebaliknya, semakin lama kita dibuat semakin bingung. Berita ini membela si A, berita lainnya menyerang si A. Postingan satu memuji kelompok B, postingan satu lagi mencela kelompok B. Di satu pihak ia dianggap sebagai pahlawan, di pihak lain ia dianggap sebagai penjahat. Bagi yang pro, perbuatan seseorang dianggap benar, sedang bagi yang kontra dianggapnya salah. Bingung dan bingung.

Konspirasi Global

Dari berbagai realitas di media sosial tersebut, kita mengetahui bahwa perseteruan yang ada bukanlah pertarungan yang sesungguhnya. Kita kelihatannya sedang berkonflik dengan kelompok lain, padahal sebenarnya tidak. Kita sepertinya sedang bermusuhan dengan pihak tertentu, padahal kenyataannya juga tidak. Pada hakikatnya kita sedang diperalat, diadu-domba, bahkan dijadikan sebagai kambing hitam.

Ada kepentingan yang lebih besar di sana. Ada pertarungan yang lebih dahsyat di sana. Ada tangan-tangan raksasa yang mencengkeram kerah baju kita dengan kuatnya. Ada adicita. Ada adikuasa. Upaya-upaya masif  dilakukan untuk menggiring opini publik di media sosial demi memuluskan kepentingan mereka. Ia telah menjadi sosok yang sangat menakutkan, tidak saja bagi Indonesia tapi juga dunia. Tapi sayang, sebagian besar kita tiada menyadarinya.

Kita sebagai sebuah pribadi maupun bagian dari suatu bangsa sedang diuji. Bagaimana kekuatan daya nalar kita, ketangguhan akal sehat kita, dan kejelian daya kritis kita. Apakah pada akhirnya kita akan menjadi manusia yang selektif, sensitif, dan obyektif; atau justru hanyut dalam arus derasnya kebohongan, bahkan tenggelam dalam kenikmatan semu karena mengonsumsi berita.

Sejatinya, tiada satu hoax pun kecuali ada produsennya. Ada pula yang berperan sebagai distributor yang menebar berita bohong dengan kekuatan media yang dimilikinya. Ada juga pengecer berita dusta hanya dengan sekedar retweet di Twitter, share di Facebook dan WA, maupun menebar gosip di warung kopi.

Penutup

Daya analisis terhadap informasi yang beredar perlu dibangun dan dimulai dari keluarga. Budaya tabayyun (konfirmasi) sebuah berita perlu dibiasakan di antara semua anggota keluarga. Pendidikan anti-hoax berupa kejujuran dan berani mengungkap fakta yang sebenarnya penting untuk dibangun sejak kecil dalam kepribadian anak-anak kita.

Selain kemampuan memilih dan memilah informasi yang diterima, kemampuan memilih informasi yang akan disampaikan kepada orang lain pun perlu dilatih. Sebuah informasi ada waktu dan tempat penyampaiannya. Tidak setiap informasi yang kita terima layak untuk disampaikan lagi.

Dalam kitab suci ditegaskan bahwa seorang hamba sejati adalah orang yang mendengarkan berbagai berbagai perkataan dan mengikuti yang terbaik di antaranya (Q.S. Az-Zumar: 18). Sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Cukuplah disebut pendusta seseorang yang senantiasa menceritakan lagi kepada orang lai semua yang dia dengar”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun