Sayangnya, selama ini muatan lokal masih bersifat kognitif semata. Sebatas pengetahuan dan hafalan agar bisa mengerjakan ujian. Karena pada realitasnya, kehidupan sehari-hari peserta didik memang sudah tidak terikat oleh nilai-nilai lokal tersebut. Termasuk para guru di pedesaan Jawa mulai menggunakan bahasa Indonesia di lingkungan rumah. Nilai-nilai lokal sudah mulai banyak ditinggalkan oleh masyarakatnya sendiri, atau hanya sekedar menjadi dongeng di televisi.
Penyeragaman
Inilah orientasi pembangunan Indonesia saat ini di semua bidang, termasuk pula dalam bidang pendidikan. Kurikulum pendidikan yang diberlakukan secara nasional seringkali mengabaikan aspek-aspek lokalitas. Ditambah lagi alur komunikasi secara top-down, yang mau tidak mau semua sekolah harus tunduk dan patuh pada apapun yang berasal dari atas (pemerintah).
Proses penyeragaman ini bisa dilihat dari materi bahan ajar, metode pembelajaran, alat peraga pendidikan, sistem ujian, kegiatan siswa, prasarana dan sarana pendidikan, dan sebagainya. Sehingga sekolah di desa dan di kota sama, sekolah di Pulau Jawa dan di luar Jawa ya sama juga. Semuanya mengacu pada standar yang ditetapkan oleh pemerintah secara nasional.
Akibatnya, sekolah-sekolah rela atau tidak rela, sadar atau tidak sadar, mengabaikan nilai-nilai lokalitas terutama yang berbasis budaya. Bahasa daerah belum tentu diajarkan, keyakinan dan tata moralitas setempat dilupakan, mata pencaharian dan keterampilan di daerah tersebut tidak dipelajari, permainan anak dan cerita rakyat tak lagi dipraktikkan.
Terkait materi bahan ajar, tidak semua daerah di Indonesia memiliki kebutuhan yang sama. Di daerah Sumatera dan Kalimantan misalnya, yang banyak memiliki perkebunan kelapa sawit atau karet, tentu materi pelajaran terkait perihal perkebunan amatlah penting. Di Papua, terdapat banyak sekali tambang dan penggalian, tentu materi pelajaran tentang dunia pertambangan pun diperlukan. Atau daerah-daerah lain yang memiliki ciri khas geografi dan demografi membutuhkan bahan ajar yang sesuai dengan kondisi setempat.
Dari metode pembelajaran, jika daerah tersebut terdapat banyak perkebunan atau tambang, belajar di luar ruang kelas atau praktek kerja lapangan cukuplah signifikan. Di kawasan pantai yang mayoritas pekerjaannya adalah nelayan, kegiatan penelitian laut dan eksplorasi juga penting adanya.
Sekolah sebagai Agen Perubahan
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kian pesat mengakibatkan perubahan budaya masyarakat berlangsung dengan cepat pula. Perubahan budaya dalam masyarakat akan membawa perubahan dalam pendidikan. Sebaliknya, perkembangan dalam bidang pendidikan akan membawa perubahan dalam kehidupan masyarakat. Pada dasarnya pendidikan tidak mungkin bisa dipisahkan dari kebudayaan, karena pada hakikatnya pendidikan adalah proses pembudayaan.
Hubungan antara pendidikan dan kebudayan sangatlah erat. Keduanya saling mempengaruhi satu sama lain. menurut Prof. Zamroni, “Pendidikan yang tidak didasari oleh kebudayaan akan menghasilkan generasi yang tercerabut dari kehidupan masyarakatnya sendiri, menjadikan budaya steril dari kekayaan budayanya sendiri, dan berpotensi untuk menjadikan enclave dalam masyarakat”.
Selama ini, sekolah menjadi tempat untuk menyampaikan ide-ide perubahan, gagasan tentang kemajuan, serta gerakan modernisasi. Sekolah sebagai tempat mentransformasikan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengembangan etika dan nilai-nilai baru, dan mempraktikkan berbagai hasil produk teknologi.