Mohon tunggu...
Trimanto B. Ngaderi
Trimanto B. Ngaderi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Penulis, Pendamping Sosial Kementerian Sosial RI, Pegiat Urban Farming, Direktur PT LABA Indoagro Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Teroris Masjid

18 Januari 2017   09:03 Diperbarui: 18 Januari 2017   09:07 513
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Belum juga kasus itu reda, Pakde Pete membuat ulah lagi. Kali ini ia memarahi seorang remaja yang baru saja mengumandangkan adzan. Remaja itu ditegur lantaran suara adzannya kurang bagus dan belum tepat pada waktunya. Pernah pula sebelumnya seorang remaja lain juga ditegur perihal adzan. Menurut Pakde Pete, masjid itu sudah ada muadzin khusus, jadi orang lain tak berhak mengambil alih.

Lebih dari itu, Pakde Pete pun pernah memarahi anak-anak muda yang di waktu malam tidur di dalam masjid. Alasannya mengganggu orang shalat tahajjud atau mengotori karpet karena terkena iler, atau susah dibangunkan ketika Subuh tiba.

***

Waktu terus bergulir. Perlahan tapi pasti, satu per satu anak-anak mulai meninggalkan masjid. Mereka lebih memilih shalat di rumah atau pindah ke masjid lain. demikian halnya dengan sebagian dari para orang tua mereka. Para remaja pun enggan ke masjid. Mereka lebih suka nongkrong di gardu, kumpul di jembatan, atau menghabiskan waktu di warnet atau bermain PS.

Tak ada lagi anak-anak yang belajar mengaji di masjid itu. Tidak pula ada remaja yang mau mengumandangkan adzan. Masjid tak lagi menjadi tempat yang menarik bagi mereka. Kecuali kenangan sekaligus trauma akan sosok seorang horor yang seram nan menakutkan. Waktu shalat Jum’at sepi, pengajian akbar juga sunyi.

Tiada lagi yang peduli dengan masjid megah dan luas itu. Angker. Sepi. Kotor. Masjid tak lebih hanya seonggok bangunan mati. Redup. Simbolisme keagamaan yang tanpa nyawa. Tiada lagi terdengar canda-tawa, teriakan, jerit-tangis, kegaduhan. Semuanya memalingkan muka, semuanya menutup telinga, semuanya menjauhkan langkah.

Sang imam tersadar dari lamunan panjangnya. Ia baru menyadari para jamaah di hadapannya telah pulang. Tak terasa, bulir-bulir kecil membasahi pipinya yang kian menua dan berkerut. Penyesalan mulai memenuhi ruang jiwanya. Bayangan wajah anak-anak yang dulu ia omeli kian meremukkan batinnya.

[1] Membeli dengan cara borongan ketika buah masih di pohon

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun