***
“Kalau rame terus mending tidak usah ke masjid!” bentak Pakde Pete dengan keras dan kasar, ketika selama shalat berjamaah ia mendengar anak-anak berisik tiada henti, pada suatu malam. Sepertinya emosi dan kekesalannya telah mencapai puncaknya kali ini.
Sekalipun masih anak-anak, mereka juga mempunyai hati. Salah satu dari mereka melaporkan kepada orang tuanya.
Akhirnya si orang tua terhasut juga. Ia menemui Pakde Pete dan melakukan protes.
“Daripada mengganggu kekhusyukan beribadah, lebih baik mereka di rumah saja”, bantah Pakde Pete memberi alasan.
“Tapi tidak begitu caranya Pakde. Mengingatkan anak-anak harus pelan-pelan dan dengan cara yang lembut”, sangkal si orang tua.
“Dikerasin saja mereka tak menggubris apalagi dengan lemah-lembut”, sahut Pakde Pete masih membela diri.
“Namanya juga anak-anak Pakde, kalau dikeras terus mereka malah semakin membandel. Kita harus sabar mendidik mereka”
“Kalau bapak tidak suka, anak bapak boleh pindah ke masjid lain!” gertak Pakde Pete tegas.
Si orang tua terperanjat. Mulutnya ternganga. Ia tak menyangka akan memperoleh jawaban seperti itu. Apakah Pakde Pete belum pernah memiliki anak atau cucu. Apakah Pakde Pete juga tak pernah berpikir bahwa anak-anak inilah nantinya yang akan menjadi generasi penerus atau pewaris masjid ini.
Kabar protes si orang tua kepada Pakde Pete segera menyebar. Orang-orang dusun mempergunjingkannya. Pro-kontra menjadi opini keseharian baik di masjid maupun di kampung. Suasana masjid menjadi panas dan tegang. Banyak yang menyesalkan ucapan dan tindakan Pakde Pete yang dirasa telah melampaui batas. Tapi ada sebagian yang membelanya, terutama dari kalangan keluarga dan sanak-familinya.