Mohon tunggu...
Trimanto B. Ngaderi
Trimanto B. Ngaderi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Penulis, Pendamping Sosial Kementerian Sosial RI, Pegiat Urban Farming, Direktur PT LABA Indoagro Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menjadi Muslim Inklusif

8 Desember 2015   11:18 Diperbarui: 8 Desember 2015   12:01 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

MENJADI MUSLIM INKLUSIF

Oleh: Trimanto B. Ngaderi 

Inklusif adalah lawan dari eksklusif. Istilah eksklusif di Indonesia sering digunakan dalam praktik keagamaan. Secara bebas, eksklusif dapat diartikan sebagai merasa benar sendiri, menolak keragaman, bersifat kaku/keras kepala, beda dari yang lain, tegas dan sulit kompromi, mengingkari realitas pluralisme dan multikulturalisme, cenderung hitam-putih, dan lain sebagainya.

Pada awalnya aku cenderung begitu. Tapi seiring perjalanan waktu, setelah melihat berbagai realitas kehidupan sehari-hari, aku sedikit demi sedikit mulai berubah. Aku mulai punya cara pandang-sudut pandang yang berbeda terhadap agama khususnya dan kehidupan pada umumnya. Karena banyak sekali realitas kehidupan yang aku temui kadang berbeda, bahkan bertolak belakang dengan apa yang aku yakini selama ini.

Beberapa contoh kecil, orang yang sudah berhaji atau umrah (bahkan yang sudah berkali-kali) belum tentu meningkat kesalehannya atau ada perubahan sikap dan perilaku dalam kesehariannya. Atau muslimah berjilbab belum mesti luhur akhlaknya. Pun orang yang rajin beribadah dan berdzikir tidaklah selalu memiliki pula kesalehan sosial. Dan tentu masih banyak contoh lainnya.

Sebaliknya, ada orang yang kita anggap biasa-biasa saja, tapi sebenarnya ia memiliki kemuliaan tertentu. Ada pula orang yang kita anggap remeh dalam beragama, justru memiliki kesalehan sosial yang mumpuni. Atau orang yang kita kira aneh, nyeleneh, berbeda, ternyata mempunyai keluhuran dan derajat yang tinggi.

 

Kesalahan-kesalahan Kita

Pertama, klaim. Kita sering mengklaim diri atau kelompok kitalah yang paling benar, yang terbaik, paling unggul, paling berkontribusi, dan (ter) lainnya. Klaim-klaim seperti itu terkadang membuat kita lupa diri, lupa berintrospeksi; bahwa diri atau kelompok kita sebenarnya masih banyak kekurangan, kesalahan, dan kekerdilan. Masih banyak yang perlu diperbaiki dari diri kita, masih terlalu beragam hal yang mesti kita evaluasi. Cenderung memandang kekurangan atau sisi negatif pihak lain sering membuat lupa akan luka-luka diri sendiri.

Klaim-klaim ini biasanya terjadi pada kelompok agama, partai politik, komunitas, dan ranah SARA lainnya.                      

Kedua, cenderung mengutamakan kulit. Sudah menjadi tabiat manusia untuk lebih menonjolkan sesuatu yang tampak dari luar, kelihatan di permukaan, suatu citra (kesan), ritual lahiriah. Kita lebih suka menampilkan atribut, “baju”, simbol, dan segala sesuatu yang bukan diri kita yang sebenarnya. Kita sering memoles “kulit” sedemikian rupa, tapi terkadang lupa meningkatkan kualitas isi.

Inilah yang sering membuat kita kecewa. Melihat orang berjilbab yang kurang baik akhlaknya. Mendapati haji yang yang masih berperilaku kasar. Menemui ahli ibadah yang malas belajar. Juga bertetangga dengan pengusaha Muslim sukses yang enggan bersedekah. Dan seterusnya.

Ketiga, negative labelling. Karakter buruk kita lainnya adalah buru-buru memvonis, menuduh, menyimpulkan bahwa orang atau kelompok lain begini dan begini, begitu. Kita jarang melihat secara komprehensif, mengamati dengan seksama, meneliti lebih mendalam, dan menilainya dari berbagai sudut dan arah pandang. Kita hanya mengutamakan persepsi, prasangka, dan penilaian kita sendiri: yang masih mentah, prematur, dan parsial. Hal ini membuat kebaikan, kelebihan, dan keunggulan pihak lain menjadi tidak tampak.

 

Menuju Realitas Indonesia

Suatu hal yang tidak dapat kita pungkiri bersama adalah bahwa bangsa Indonesia adalah realitas plural, multikulturalisme; baik dari segi suku-bangsa, agama dan kepercayaan, adat-istiadat, bahasa, dan budaya. Dalam satu suku pun, masih ada perbedaan dialek bahasa, adat dan kebiasaan, tata nilai dan norma, dan sebagainya. Demikian halnya dalam beragama, sesama Muslim pun berbeda-beda pula dalam alirannya, praktek keagamaan, penafsiran, metode dakwahnya.

Inilah sunnatullah. Realitas yang mesti dihadapi oleh bangsa Indonesia dan juga bangsa-bangsa di dunia. Kita tidak mungkin membeda-bedakan orang hanya dari agama yang dianut, bahasa yang dipakai, tradisi yang ia lestarikan, atau prinsip yang ia pegang teguh. Kita pun tak bisa memaksakan sebuah prinsip, keyakinan, tatacara, metode kepada orang atau kelompok lain. mereka tidak harus sama dengan kita, mereka pun tak mesti harus mengikuti kemauan dan kehendak kita. Kita dan mereka pasti berbeda.

Oleh karena itu, mari kita hidup berdampingan dalam keragaman, untuk sama-sama menjalani hidup dengan damai dan saling pengertian, membangun Indonesia yang plural dalam bingkai persaudaraan dan kesatuan. Hindari sikap eksklusivisme, yang hanya akan membawa kepada konflik, perpecahan, dan kelemahan. (Bandung-Beji; 6 Desember 2015)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun