Mohon tunggu...
Muhammad Muizzsuddin
Muhammad Muizzsuddin Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Tinggi lebih dari 177 cm dan menyukai ide-ide yang baru dan segar. Baru saja lulus XII IPA2 dan langsung lupa dengan integral. Twit aktif di @yuddinYuddin

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Negeri Negeri Tersisa - Bab 1

4 Oktober 2015   07:51 Diperbarui: 4 Oktober 2015   08:53 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku menggosok sepatuku dengan semir yang kutemukan di bawah tangga. Aku masih menjadi orang yang rapi. Aku mencoba coba beberapa sepatu lain yang kutemukan di bawah tangga, kuraca cocok. Tapi aku tak akan mengambilnya, kecuali diperlukan. Aku segera menyalakan api di perapian, menuangkan dua gelas air, sisa dari usahaku menimba di sumur yang hampir benar benar kering. Aku memeriksa tas, menemukan beberapa roti yang keras, aku mencelupkannya ke air yang sudah mendidih.

Menikmati langit merah yang semakin gelap, melihat lihat kearah langit, tak ada apapun diatas sana, tak ada hal normal, tak ada burung yang terbang kembali ke sarang, tak ada desiran angin sore, tak ada ...

Matahari telah hilang, api di perapian membakar kayu, berusaha untuk tetap mempertahankan kehangatan ruangan ini, yang tak kunjung menghangat. Aku melemparkan kertas kertas, buku, dan kayu kursi agar api membesar. Kuambil segelas air yang tersisa, benar benar air terakhir, sampai aku menemukan sumur lagi. Aku berkumur sedikit, mengusap usap wajahku, tangan, kepala dan telingaku, lalu kaki. Berharap masih ada air tersisa. Tapi benar benar telah habis.

Aku berdoa, aku menemui penciptaku, memohon kekuatan, memohon perlindungan, memohon bimbingan dikehidupan yang akan segera berakhir. Sunyi, hanya ada suara derak derak kayu dimakan api, dan ruas ruas tubuhku yang berusaha kurenggangkan. Aku merasakan pegal di seluruh persendian, seolah olah ada kerikil yang mengganjalnya.

Api bergoyang goyang memberikan bayangan pada setiap benda yang menghalangi cahayanya. Bayang bayang itu menempel di dinding. Bergoyang goyang seperti halnya Aku mengamati bayanganku sendiri, sedang duduk, memegang sebuah buku kecil, buku, buku berisi kalimat kalimat indah pemilik dunia. Aku sedang membukanya membacanya, meresapi maknanya.

Sekeliling ruangan penuh oleh rak rak berisi buku. Mungkin tempat ini sebenarnya perpustakaan dibanding ruang makan. Atau ruang keluarga lebih tepatnya. Aku bangkit memeriksa beberapa buku, debunya banyak sekali. Tempat ini sudah ditinggalkan dalam waktu yang lama.

Ada beberapa buku yang kutemukan, buku buku tipis, komik anak anak, buku pengetahuan umum, majalah pertanian, otomotif, buku filsafat, Origin of Species Charles Darwin, buku tentang Kekhalifahan Islam masa masa awal, novel Karl May, kliping berita pertempuran di Laut Tengah, komik komik Jepang, satu deret penuh National Geographic, lalu aku membuka sebuah laci kecil. Kutemukan beberapa benda. Ponsel, kartu kredit, kartu seluler yang sobek, charger, uang beberapa lembar, dan satu set kunci.

Aku mengambil kunci dan mengantonginya. Ponselnya tidak bisa hidup, kurasa baterainya habis. Aku akan menjemurnya, mungkin itu bisa mengisi ulang baterai. Kugeledah beberapa rak lagi, menemukan senter, masih hidup, dan beberapa kotak baterai. Aku menemukan radio, masih hidup juga, tapi tak ada suara apapun selain suara sinyal yang menjengkelkan. Tapi aku membiarkannya hidup. Kurasa itu lebih baik, aku butuh suara selain diriku sendiri. Suara yang aku kenal dan aku pahami. Masih adakah kehidupan di luar sana? Masih adakah stasiun radio yang menyala?

Kurasa tidak. Tapi kurasa masih ada kehidupan.

Aku merebahkan diri di lantai, mengalasi diriku dengan beberapa lembar koran, selimut yang kuangkut dari tempat tidur, mengganjal kepalaku dengan bantal yang telah kehilangan busanya. Kuhadapkan wajahku ke api yang hampir padam, memandangi bara api, aku memejamkan mata. Tapi aku belum tidur.

Betapa cepatnya kehidupan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun