Mohon tunggu...
M Khoirul Anwar KH
M Khoirul Anwar KH Mohon Tunggu... Pekerja Teks Komersial -

Pencatat Fenomena

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Geliga Temani Petualanganku di Yogyakarta

9 Januari 2018   20:15 Diperbarui: 9 Januari 2018   22:16 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Lurah Sugiman/Dok. Pribadi)

Di pagi yang masih perawan itu, aku meringkuk di pojokan kamar berselempang selimut. Sejak azan shubuh menderu, aku sudah niatkan untuk tak keluar ke mana-mana lantaran kota yang jadi persinggahanku saat ini terus-menerus diguyur hujan. Ya, Yogyakarta menyambut Desember dengan rinai-rinai hujan yang panjang tanpa henti.

Kondisi cuaca yang tak bersahabat ini tentu mengganggu agenda petualanganku. Dua hari sudah menapakkan kaki di Yogya tapi tak kunjung mampu mereguk fenomena lantaran hujan terjadi di mana-mana. Padahal tiket kereta pulang-pergi Cirebon-Yogya sudah berada di tangan. Sedangkan estimasi waktu di Yogya hanya lima hari. Jika tak mendapat bahan riset secara maksimal tentu amat disayangkan sekali.

Ketika mata hendak kembali terpejam, tetiba gawai mungilku bergetar. Ada pesan masuk rupanya.

"Hari ini jadi ke Gedangsari Mas?", begitu tulisan yang tertera.

Aku melonjak. Terbelalak. Aku baru ingat bahwa di hari itu (13/12/17) aku telah membuat janji dengan seorang lurah di sebuah desa di ujung utara Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain Condongcatur Sleman, Gunungkidul memang menjadi salah satu destinasi tujuan petualangan risetku saat itu.

Tanpa berpikir panjang aku langsung bangkit menuju kamar mandi. Bersiap menempuh perjalanan berpuluh kilometer demi menebus seutas janji. Kendati hujan masih terus berderu kencang, tekadku sudah bulat. Aku tak mau pulang dengan kesia-siaan. Maka, selain kamera, handy recorder dan jas hujan, aku juga menyiapkan seperangkat asupan obat ringan untuk berjaga-jaga. Yang utama dari semua itu tentu Geliga Krim.

(Dok. Pribadi)
(Dok. Pribadi)
Pilihan ini bukan tanpa alasan. Medan yang hendak kutempuh bukanlah medan landai biasa. Melainkan perbukitan naik-turun yang terjal dan curam. Desa Tegalrejo kecamatan Gedangsari kabupaten Gunungkidul merupakan desa yang secara geografis terletak di ujung utara provinsi DI Yogyakarta. Desa ini bersebelahan langsung dengan kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Dari tempat menginapku di Banguntapan Bantul menuju Tegalrejo menghabiskan waktu kurang lebih satu jam setengah.

Maka benar saja. Perjalanan ini adalah perjalanan yang cukup ekstrim dan membuat detak jantung berdegup kencang. Jalur Wonosari-Gunungkidul yang berkelok dan meliuk-liuk, ditambah hujan dan petir yang terus menggelegar, kian menabalkan bahwa petualanganku hari itu bukan petualangan biasa.

Kondisi ini diperparah dengan medan jalan yang tak semuanya beraspal mulus. Dari kecamatan Gedangsari menuju desa Tegalrejo banyak sekali lobangan yang berisi genangan air sehingga terlihat rata. Jika tak berhati-hati, sepeda motor bisa oleng dan tentu saja menyebabkan kecelakaan yang tak diinginkan.

Dua jam sudah berada di atas jok motor, tak juga sampai kendaraan ini ke tempat tujuan. Sudah begitu, jaringan sinyal yang sulit juga mengacaukan sistem navigasi selulerku. Klop sudah. Untungnya, hujan lamat-lamat sudah mulai mereda. Aku bisa leluasa bertanya pada penduduk sekitar yang berada tak jauh dari jalanan yang kulewati.

Dari jawaban salah seorang yang kutanya, aku tersadar bahwa ternyata aku salah memilih jalur perjalanan. Mustinya agar lebih simpel dan mudah, jalur perjalanan mengambil rute Banguntapan - fly over Janti - Jl. Yogya Solo - Prambanan - Bayat - Gedangsari. Bukan justru mengambil dari arah Wonosari. Tapi mau bagaimana lagi? Tak mungkin aku putar balik, bukan?

(Jalanan Licin Menuju Tegalrejo/Dok. Pribadi)
(Jalanan Licin Menuju Tegalrejo/Dok. Pribadi)
Oleh sebab itu, kutelusuri kembali jalan sepi nan berlubang menuju Tegalrejo. Tangan yang terlalu lama memegang setir sepeda motor sudah mulai terasa keram. Pundak dan punggung juga begitu nyeri lantaran menahan dentuman demi dentuman jalanan yang tak bersahabat. Yang terbetik di benakku saat itu hanya satu: lekas sampai dan segera rebahan ditemani olesan lembut Geliga Krim.

Setelah berpacu melawan tikungan demi tikungan yang tajam dan pejal, kaki ini sampai juga di desa Tegalrejo, kecamatan Gedangsari. Desa ini begitu sunyi. Hanya satu-dua orang yang terlihat berlalu-lalang. Warung-warung juga banyak yang tutup. Mungkin ini dikarenakan hujan rintik-rintik masih bersetia menyiram Tegalrejo dan sekitarnya.

Aku segera menuju sebuah mushalla kecil di depan balaidesa Tegalrejo. Setelah menunaikan shalat, langsung kukeluarkan perbekalan yang kubawa sejak dari penginapan. Selain beberapa makanan ringan, tentu yang menjadi senjata pamungkas adalah Geliga Krim. Aku keluarkan sedikit krimnya dan kuoleskan di pergelangan tangan yang sedari tadi sempat keram. Selain mudah digunakan, kelebihan lain dari krim ini juga tidak lengket dan tidak menimbulkan noda pada pakaian.

Tak berselang lama, orang yang kutunggu-tunggu pun datang. Namanya pak Sugiman (50). Ia merupakan lurah desa Tegalrejo yang baru saja mendapatkan penghargaan dari Gubernur Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X lantaran kiprahnya yang berhasil menghidupkan kembali tradisi batik di desanya.

(Lurah Sugiman/Dok. Pribadi)
(Lurah Sugiman/Dok. Pribadi)
Pembawaannya rileks, supel dan santun. Jauh sekali dari kesan formil. Kendati kami baru saja bersua, seolah kami merupakan sahabat yang lama sekali tak berjumpa. Perbincangan mengalir dengan lancar tanpa ada kendala apapun. Ia menguraikan potensi lokal desa Tegalrejo dari hulu hingga hilir, berikut tantangan apa yang menyertainya. Potensi itu misalnya seperti kerajinan batik tulis dan kayu, kerajinan akar bambu, olahan kuliner, pentas kesenian, hingga wisata alam yang potensial.

"Walaupun desa kami nyempil di pojokan Yogya, kami ingin memberi warna tersendiri untuk turut menyemarakkan pentas wisata Yogyakarta. Kami ingin berkontribusi dengan bekal potensi lokal yang ada Mas", ucapnya bersemangat.

Dan memang, apa yang diutarakan Sugiman bukan sekadar omong belaka. Jika Anda ke sini, jangan terkejut jika mendapati anak usia 4 tahun yang sudah bisa mewarnai pola batik dengan baik. Juga jangan kaget jika bertemu anak setingkat SD-SLTP yang sudah piawai membuat pola batik sendiri. Dan jangan takjub jika remaja jenjang SLTA sudah biasa memasarkan karya batiknya sendiri secara mandiri.

Begitu juga dengan lini potensi lainnya seperti wisata alam. Para pemuda yang tergabung dalam Karang Taruna berjibaku menjadikan desanya sebagai destinasi wisata alam baru yang ekonomis tapi berkualitas. Selain curug Tegalrejo yang indah menawan, belakangan para pemuda itu juga menggalang kerjasama dengan lintas Karang Taruna tiga desa demi membuat wahana rekreasi berjuluk Green Village Gedangsari. Sungguh kreatif bukan?

(Jalan Menuju Green Village/Dok. Pribadi)
(Jalan Menuju Green Village/Dok. Pribadi)
Atas semua yang sudah mereka lakukan, warga Tegalrejo kini sanggup berdiri tegak di atas potensi lokalnya sendiri. Mereka tak perlu kemana-mana lagi untuk mengadu peruntungan nasib. Bahkan desa ini kini sudah menjadi salah satu destinasi yang cukup diperhitungkan dalam kancah wisata di Gunungkidul bahkan Yogyakarta.

Selain mendapat banyak sekali pengetahuan, dari desa ini aku juga mendapat segunung inspirasi untuk menghidupkan kembali tradisi batik di kampungku yang kini mulai terdampak krisis regenerasi. Keluh kesah yang menyerang sepanjang perjalanan keberangkatan juga terbayar sudah lantaran melihat semangat warga desa yang berjibaku membangun desanya.

Menjelang senja, akupun tancap gas untuk pulang ke penginapan. Kali ini aku menjajal jalan pulang yang berbeda. Sengaja aku tempuh desa Mertelu kecamatan Gedangsari untuk sekadar melihat wahana Green Village yang diceritakan para pemuda tadi. Sayangnya, karena hujan tak kunjung berhenti, wahana itu terlihat sepi dan berkabut. Kendati demikian hal itu tak mengurangi sama sekali keindahan dan keanggunannya. Berselimutkan kabut, puncak bukit Green Village serasa menjadi lautan awan.

Puas mengkhidmati panoramanya, aku pun bergegas. Tak dinyana, perjalanan selanjutnya menuju kecamatan Bayat justru dipenuhi turunan tajam yang berliku. Kali ini medannya lebih ekstrim lagi. Ini disebabkan karena jalanan di puncak bukit itu masih banyak yang tak beralaskan aspal sama sekali. Beberapa kali sepeda motor yang kunaiki oleng lantaran jalanan licin yang tak terpermanai. Tak jarang pula aku menuntun sepeda motor karena takut tergelincir di turunan jalan yang begitu curam.

(Jalanan Menurun desa Mertelu/Dok. Pribadi)
(Jalanan Menurun desa Mertelu/Dok. Pribadi)
Tapi aku tak khawatir lagi. Sebab di ransel mungilku masih terdapat Geliga Krim yang sudah kupersiapkan sejak berangkat tadi. Krim ini sungguh membantu perjalanan risetku selama di Yogya. Pegal, linu, nyeri, keram, akan sirna jika sudah dioles oleh krim ajaib ini. Kandungan 160 mg Menthol dan 140 mg Methyl Salicylate yang tertuang di dalamnya, begitu ampuh untuk menghalau banyak kendala para traveler yang menggilai petualangan ekstrim. Nyeri di punggung, pundak, persendian, keseleo, keram dan masalah otot lainnya akan dilibas habis oleh krim yang satu ini. Pokoknya dengan krim otot Geliga, kita akan Bebas Pegal, Bebas Ke Mana Saja.

Sungguh, Geliga Krim begitu digdaya menemani petualanganku selama di Yogya. Terimakasih, Geliga. Selamat berjumpa kembali, Yogya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun