Dua tahun lewat dunia merasakan situasi pandemi Covid-19. Selama itu pula kerap bermunculan informasi simpang siur terkait perkembangan virus korona. Beberapa waktu belakangan muncul kabar yang menyebutkan ada varian Covid-19 bernama Delmicron.
Informasi mengenai Delmicron itu sedikit banyaknya menyembulkan ketakutan tersendiri di tengah pandemi Covid-19 yang belum jelas juntrungannya. Kiranya tak sedikit pula yang percaya bahwa Delmicron merupakan varian baru Covid-19.
Sebenarnya, nama 'Delmicron' diketahui pertama kali tercetus dari Dr Shashank Joshi, seorang anggota gugus tugas Covid-19 di Maharashtra, India. Dr Joshi mengeluarkan istilah itu sebagai penyebutan adanya lonjakan kembar varian Delta dan Omicron di Eropa dan Amerika Serikat.Â
Delmicron yang dimaksud oleh dr Joshi itu bukan menyebut pada adanya varian baru Covid-19 melainkan istilah untuk situasi lonjakan kasus virus korona varian Delta dan Omicron di sejumlah tempat di dunia.
Contoh kasus istilah Delmicron yang dipercaya sebagai varian baru Covid-19 ini menarik untuk diperhatikan. Ketika ada informasi yang belum lengkap mengenai sesuatu hal maka perlu sikap kritis agar tidak serta merta mempercayainya.
Kemampuan untuk mengkritisi informasi merupakan salah satu bagian dari literasi digital. Dari sikap kritis yang sudah dimiliki itu kemudian harus dipupuk dengan kemauan sehingga memunculkan kebiasaan mengecek ulang kebenaran informasi dari internet dan sumber lainnya.
Memang tidak mudah untuk membiasakan mengkritisi suatu informasi kemudian mengambil langkah memeriksa ulang kebenarannya. Akan tetapi, bila kebiasaan itu terus dilakukan maka kebiasaan akan menjadi tradisi di tengah masyarakat yang kemudian akan membuahkan budaya.
Dikatakan demikian lantaran budaya merupakan buah akal budi yang memiliki nilai-nilai dari sebuah tradisi dan kebiasaan di tengah masyarakat.Â
Menciptakan budaya kritis dan melek literasi digital itu tentu menjadi hal yang harus disasar dan menjadi tujuan bila ingin menggapai ekosistem digital sehat dan bermanfaat.
Tak Bisa Bertarung Sendiri
 Ketika mendambakan ekosistem digital sehat dan bermanfaat tentu tidak bisa bertarung sendiri. Perlu gerak kolaboratif berbagai pihak. Para pemangku kepentingan harus bergerak dengan menyiapkan segala infrastruktur dan sistem literasi yang apik.
Para pemangku kepentingan pun perlu berinovasi dengan melahirkan regulasi yang tepat guna untuk penggunaan ruang digital. Jangan sampai ada regulasi yang memberangus kebebasan berpendapat atau menebar teror untuk berpendapat di ruang digital.
Tak hanya itu, para pemangku kepentingan pun harus sigap meramu regulasi untuk perlindungan bagi para pemeriksa fakta. Ya, para pemeriksa fakta perlu dilindungi karena menjadi salah satu garda depan dalam membongkar hoaks-hoaks yang tersebar.
Tanpa adanya perlindungan, para pemeriksa fakta bisa menjadi korban. Bisa saja menjadi korban perundungan digital, persekusi digital, atau bahkan korban pelaporan regulasi yang ada saat ini.
Di sisi masyarakat, perlu saling bergandengan untuk melawan hoaks yang disebarkan oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab. Saling mengingatkan dalam lingkungannya ketika ada informasi sesat.
Tak kalah penting, dalam keluarga pun harus diterapkan atmosfer kritis. Orang tua harus bisa memberikan panutan bagi anak-anaknya dalam berinternet sehat. Dengan pembiasaan dan edukasi literasi digital dari rumah kepada anak maka itu akan menjadi dasar kecakapan digital serta membiasakan mereka untuk hidup dalam ekosistem digital yang sehat.
Gotong royong ini sangat diperlukan. Satu dengan lainnya harus bersinergi dan saling menyokong demi tercipta ekosistem digital sehat dan bermanfaat.Â
Meski demikian, perlu disadari bahwa kerja-kerja membangun ekosistem itu tidak bisa dalam waktu sebentar. Butuh proses dan tentunya konsistensi bersama.
Langkah Sederhana Melawan Hoaks
 Untuk melawan persebaran hoaks tak perlu berpikir atau bertindak yang terlalu rumit. Mulai dengan membantu menyebarluaskan artikel periksa fakta yang sudah ada di berbagai kanal periksa fakta.Â
Langkah sederhana yang kiranya bermakna untuk mempersempit ruang sebaran hoaks. Tersebarnya artikel periksa fakta lebih luas maka akses orang lain mendapatkan klarifikasi atas suatu informasi terjangkau.
Penyebaran artikel periksa fakta itu bisa dilakukan dengan mempostingnya di akun media sosial pribadi atau bahkan memberitahukan kerabat dan teman sejawat melalui aplikasi perpesanan.Â
Tentunya, ketika ingin menyebarkannya harus memperhatikan tata cara yang santun dan tidak menyinggung. Bila tidak begitu, orang yang mungkin tak sengaja menyebarkan hoaks itu malah tidak akan menerima fakta yang disampaikan dan kemudian malah menutup diri.
Sebagai contoh, ketika ada keluarga yang lebih tua membagikan informasi hoaks di grup keluarga besar maka jangan langsung membantahnya di grup tersebut. Tindakan itu hanya akan menggores ego orang tersebut dan malah ujung-ujungnya tidak mau terbuka dengan informasi yang benar.
Hal tersebut dikarenakan ia merasa dipermalukan dengan membantahnya di depan orang lain. Walau niatnya tidak seperti itu.Â
Agar ia mau memahami niat baik yang hendak dilakukan maka harus dilakukan dengan cara yang baik pula dengan cara mengontaknya secara pribadi dan memberitahukannya dengan santun.
Langkah itu mungkin terkesan lambat untuk melawan hoaks yang dengan cepat tersebar. Namun, bila konsisten terus melakukan itu maka lambat laun perilaku orang yang diberitahu pun akan berubah.Â
Bahkan tak menutup kemungkinan orang tersebut malah akan menjadi corong penyebaran artikel periksa fakta juga. Semua kembali pada niat yang baik dilakukan dengan cara yang baik.
Langkah sesederhana itu kiranya dapat membantu dalam memerangi hoaks. Jangan berpikir kecilnya langkah yang bisa diperbuat tapi pikirkan apa hal kecil yang bisa diperbuat untuk menyelamatkan orang lain dari sebaran hoaks yang menyesatkan dan meresahkan.
Muhammad Khairil Haesy
Pemeriksa Fakta Senior MAFINDO
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H