Mohon tunggu...
Muhammad Khairil
Muhammad Khairil Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis | Alumni Sastra Jawa UI

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Terlahir Kembali

13 April 2013   02:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:17 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku berlari. Entah berlari dari apa atau siapa. Aku hanya berlari di lorong gelap dan penuh genangan lumpur. Beberapa tong sampah ku jatuhkan, agar pengejarku terhalangi tong sampah yang terjatuh. Aku terus berlari. Entah sampai kapan dan hendak ke mana. Langkah kakiku sedikit terganggu dengan berat beban tas selempang yang ku gendong.

"Tolong aku, Tuhan", gumamku. "Selamatkan aku"

Benakku mulai liar. Aku membayangkan jika tertangkap. Entah oleh siapa atau apa. Aku membayangkan dirajam, dipenggal atau dikuliti. Dengan keliaran bayangku, aku terus berlari.

Di ujung perempatan gang ini, aku berbelok ke kanan. Terus berlari. Melewati pos ronda kosong. Menghindari cahaya temaram lampu jalan. Aku mencoba meraih bayangan. Aku pun bertemu sebuah pertigaan. Aku bingung dan bimbang. Entah mana yang benar. Suara bergemuruh berlarian di belakangku. Mulai terdengar sang pengejar. Akhirnya, aku memilih jalan sebelah kiri.

"Tolonglah aku Tuhan. Semoga jalan ini tidak buntu", doaku dengan keringat mengucur dan suara terengah-engah.

Aku berlari dalam gelap. Suara genangan air terinjak memecah keheningan malam. Kakiku letih. Akhirnya aku berhenti di kebun kosong. Kebun yang enggan dijamah orang. Aku duduk bersandar pada sebuah tembok dan mencoba menyembunyikan badanku di antara ilalang. Ku atur nafas dan mencoba tidak bersuara. Tak lama, sekelompok cahaya berlarian mendekat. Aku rendahkan badanku, sembunyi di balik bayangan ilalang.

"Cari! Dia pasti masih di depan!! Jangan berhenti", teriak seorang pemuda dengan kopiah hitam dan obor di tangan kanannya. Pemuda itu dan beberapa gerombolan pemuda berkopiah hitam pun berlari lurus. Mereka menjauh dari kebun tempatku bersembunyi.

Aku sedikit mengintip di balik ilalang. Memeriksa, sudah jauhkan mereka. Setelah memastikan bahwa tak ada yang mengejarku lagi, aku pun beristirahat. Tangan kananku memegang tas selempang dengan erat. Kepala aku sandarkan di tembok semen ini.

"Syukurlah. Aku aman. Terima kasih Tuhan", ujarku dalam hati.

Aku bangkit dari persembunyian dan berjalan menjauh dari kebun itu. Mencoba keluar dari perkampungan dan mencari jalan besar. Dengan nafas yang masih terengah-engah, aku berjalan perlahan. Celana jeans bututku sudah bermandikan percikan lumpur. Kemeja kotak-kotak dan kaos dalam oblongku sudah basah dengan keringat. Aku berjalan menuju sebuah cahaya di ujung sana. Sepertinya warung. Aku pun menuju cahaya itu.

Tak lama, aku sampai pada sumber cahaya. Ya, sumber cahaya itu memang warung. Kurogoh kantongku, ada dua lembar uang bergambar Imam Bonjol. Kurogoh kantong yang lain, tak ada lagi.

"Pak, Samsu setengah ya", pintaku dengan menyodorkan uang terakhirku pada bapak yang menunggui warung itu.

Ia pun memberikan barang yang kuminta. Rokok setengah bungkus. Ku ambil sebatang, kunyalakan. Hisapan pertama penuh dengan gairah. Hisapan yang membuat dadaku sedikit terbusungkan. Sebuah gairah kemenangan. Aku pun berjalan perlahan. Tas ku dekap erat. Aku tak ingin kehilangan isi tas ini. Karena isinya terlalu berharga dan dapat membuatku tinggalkan baju lusuh ini. Dengan isi tas ini, aku bisa jadi seorang jutawan. Isi tas ini kudapat dengan susah payah. Berbulan-bulan memantau, dan menghafal. Gerak-gerik sekitar. Jam berapa sepi dan jam berapa ramai. Ada kesempatan, tidak ku sia-siakan.

Aku tak peduli. Kepada siapa isi tas ini seharusnya diberikan. Karena aku juga merasa membutuhkannya. Dengan beberapa alat yang kupunya, ku bongkar berankas. Ku keluarkan semua isinya. Sial, ada yang memergokiku. Aku pun berlari. Menjauh dari penggadaian emas di dalam pesantren itu. Pesantren yang katanya moderen. Pesantren tempat orang kaya membuang anaknya dengan alasan anaknya perlu dibina. Seperti orang tuaku yang membuangku di sana.

Ya, sudah lebih lima tahun orang tuaku membuangku di sana. Dengan alasan aku bengal, tidak menurut orang tua, dan lain sebagainya. Aku dicap aib keluarga. Hanya karena aku tidak mau menurut keinginan orang tuaku. Aku dibuang. Aku dicampakkan dan tidak sedikitpun ditengok.

Dengan isi tas ini. Aku akan memulai hidup baru. Tak peduli pada orang tuaku. Aku yakin, Tuhan mengerti mengapa aku bertindak seperti ini. Dan aku yakin, Tuhan akan mengantarku kembali ke jalannya, suatu saat nanti. Karena Tuhan Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ia mengerti.

Aku pun berjalan. Meninggalkan sisa-sisa masa lalu. Mulai detik ini. Melalui sebuah dosa, aku terlahir kembali. Menuju secercah cahaya kemandirian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun