"Pak, Samsu setengah ya", pintaku dengan menyodorkan uang terakhirku pada bapak yang menunggui warung itu.
Ia pun memberikan barang yang kuminta. Rokok setengah bungkus. Ku ambil sebatang, kunyalakan. Hisapan pertama penuh dengan gairah. Hisapan yang membuat dadaku sedikit terbusungkan. Sebuah gairah kemenangan. Aku pun berjalan perlahan. Tas ku dekap erat. Aku tak ingin kehilangan isi tas ini. Karena isinya terlalu berharga dan dapat membuatku tinggalkan baju lusuh ini. Dengan isi tas ini, aku bisa jadi seorang jutawan. Isi tas ini kudapat dengan susah payah. Berbulan-bulan memantau, dan menghafal. Gerak-gerik sekitar. Jam berapa sepi dan jam berapa ramai. Ada kesempatan, tidak ku sia-siakan.
Aku tak peduli. Kepada siapa isi tas ini seharusnya diberikan. Karena aku juga merasa membutuhkannya. Dengan beberapa alat yang kupunya, ku bongkar berankas. Ku keluarkan semua isinya. Sial, ada yang memergokiku. Aku pun berlari. Menjauh dari penggadaian emas di dalam pesantren itu. Pesantren yang katanya moderen. Pesantren tempat orang kaya membuang anaknya dengan alasan anaknya perlu dibina. Seperti orang tuaku yang membuangku di sana.
Ya, sudah lebih lima tahun orang tuaku membuangku di sana. Dengan alasan aku bengal, tidak menurut orang tua, dan lain sebagainya. Aku dicap aib keluarga. Hanya karena aku tidak mau menurut keinginan orang tuaku. Aku dibuang. Aku dicampakkan dan tidak sedikitpun ditengok.
Dengan isi tas ini. Aku akan memulai hidup baru. Tak peduli pada orang tuaku. Aku yakin, Tuhan mengerti mengapa aku bertindak seperti ini. Dan aku yakin, Tuhan akan mengantarku kembali ke jalannya, suatu saat nanti. Karena Tuhan Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ia mengerti.
Aku pun berjalan. Meninggalkan sisa-sisa masa lalu. Mulai detik ini. Melalui sebuah dosa, aku terlahir kembali. Menuju secercah cahaya kemandirian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H