Kekhawatiran tentang Resesi Ekonomi Indonesia sudah pula disampaikan oleh Ekonom yang juga Rektor Universitas Trilogi Jakarta Prof. Mudrajad Kuncoro Ph.D dalam sebuah diskusi Refleksi 75 Tahun Indonesia Merdeka dengan Tema Peluang dibalik Krisis. Rekaman lengkapnya dapat dilihat pada tautan berikut ini.
Kekhawatiran Prof. Mudrajad kembali disampaikannya pada momentum Sarasehan Virtual 100 Ekonom : Transformasi Ekonomi Indonesia Menuju Negara Maju dan Berdaya Saing oleh CNBC Indonesia, Selasa (15/9/2020). "Tiga triwulan terakhir kita di ujung resesi," katanya. Ia menjelaskan sejak kuartal IV tahun 2019 (Q4 2019), perekonomian Indonesia tumbuh negatif. Resesi terjadi bila perekonomian berkontraksi selama dua kuartal secara berturut-turut. "Kita di jurang resesi," jelas Prof. Mudrajad.
Sinyal kritis tentang situasi krisis dalam negeri juga disampaikan dengan sangat Indonesia oleh Ir. Sarwono Kusumaatmadja dalam Webinar Forum Sahabat pada tanggal 26 Juni 2020 dengan tema Dinamika Global akibat Pandemik Covid-19. Beliau menuturkan bahwa Pandemik Covid-19 mempunyai daya paksa luar biasa terhadap umat manusia untuk merubah perilaku dan gaya hidup dengan kerugian ekonomi dan jumlah korban yang semakin banyak. Pandemik ini telah menempatkan Indonesia pada situasi krisis yang sangat menekan. Kekompakan kita sebagai satu bangsa dalam mengamankan penyangga kehidupan strategis yakni Pangan, Air dan Energi akan meningkatkan kapasitas dalam memulihkan keutuhan pembangunan secara menyeluruh dengan menampilkan keunggulan keunggulan kompetitif bangsa di tengah dinamika global.
Dari sudut ketersediaan pangan, posisi Indonesia dalam Coral Reef Triangle merupakan aset strategis yang sulit ditandingi oleh negara manapun. Hanya saja hal ini belum tergali sepenuhnya. Bahasan lengkap mengenai Coral Reef Triangle ini dikaitkan dengan kelestarian ekologi Laut Kalimantan bagaikan sense of hope bagi Indonesia. Bahwa ada sumberdaya yang terlupakan nun jauh di bawah laut Kalimantan dalam rangkai peta Coral Reef Triangle yang bisa dimanfaatkan untuk menumbuhkan kemakmuran baru. Dapat disimak di https://www.youtube.com/watch?v=g6KhOlpyiSk tentang ini.
Pandemik dapat dilihat dengan banyak pendekatan, namun kali ini saya hanya akan membahasnya dari 3 (tiga) pendekatan saja yakni Pendekatan Ekonomi, Pendekatan Kemanusiaan dan Pendekatan Keilmiahan. Hal yang saya sampaikan diatas adalah penjabaran dari pendekatan Ekonomi dan Keilmiahan. Kini kita bahas pendekatan kemanusiaannya yang mungkin akan bersinggungan atau bahkan bersilangan dengan kepentingan rakyat. Kita mulai dari pembahasan mengenai pundi-pundi uang negara.
Sebagai negara yang berdaulat dan disegani dengan kekayaan alam yang melimpah dan kondisi pulau bak surgawi, Indonesia memiliki cadangan sumber daya alam yang kaya untuk dinikmati oleh seluruh rakyatnya dari masa ke masa. Walau tanah ibu pertiwi terluka oleh galian pertambangan namun masih ada tanah subur yang bersemi dan ditanami hamparan padi yang menguning. Walau sebagian tanah tandus oleh perkebunan kepala sawit, masih ada kebun buah-buahan yang tersebar menghasilkan buah lokal beraneka ragam dan warna. Namun kekayaan bangsa ini seakan terbelenggu dan dinikmati oleh sekelompok elit tertentu saja.
Kekayaan bangsa ini hanya sedikit yang mampir ke tangan rakyat. Sulit sekali rakyat merasakan kesejahteraan di negerinya sendiri, hal ini diperparah dengan adanya situasi pandemik. Rakyat semakin jauh dari impian kesejahteraan hidup. Dalam kondisi seperti ini, media mengabarkan bahwa banyak rangkap jabatan di BUMN tanah air dengan gaji ratusan juta rupiah. Berlebihan dan mengusik nurani untuk mempertanyakan mengapa uang rakyat dihamburkan begitu saja disaat banyak rakyat yang sangat memerlukan uang untuk kelangsungan hidupnya? Hal ini adalah sebuah tindakan dan kesepakatan rusak yang sangat yang mencederai hati rakyat Indonesia di tengah keprihatinan yang sedang dihadapi saat ini.
Permainan tidak pernah ada habisnya, maka berhentilah bermain. Kalau saja perputaran uang yang tidak sehat adalah permainan yang menggairahkan, sebaiknya dihentikan atas nama rakyat Indonesia dan tumpah darah tercinta ini. Harus ada komando yang menghentikannya. Komando lahir dari pemimpin atau orang kuat di belakang pemimpin yang suaranya di dengar oleh pemimpin.
Harus ada perbaikan. Harus ada komando “benar” yang dijalankan bukan komando yang salah arah. Komando yang lahir dari rasa cinta negeri dan tanggungjawab terhadap tanah air. Bila hal ini tidak terasa lagi di dada para pemimpin kita, maka boleh jadi bukan Indonesia yang ada di hatinya namun sebuah kerajaan baru yang kesemuanya dilandasi oleh kepentingan demi kepentingan dalam permainan demi permainan yang tak ada akhirnya dan rakyat akan berguguran karena tidak dianggap penting dan bukan bagian dari permainan tersebut.
Sumber daya alam bukan bahan bakar untuk memutar permainan. SDA adalah cadangan kehidupan bagi rakyat Indonesia. Sungguh sangat sedih melihat kondisi ini rapuh dan tak ada jeda untuk bertumbuh kuat lagi. Kita memerlukan kolaborasi dan kesepakatan yang benar untuk masa depan bangsa. Menghentikan jeritan rakyat, bukan dengan memintanya berhenti berkeluh kesah namun dengan mengajaknya berkolaborasi menuju tujuan kesejahteraan. Rakyat jangan dibiarkan gelisah dalam impian kosong. Menghargai rakyat sebagai saudara sebangsa adalah satu-satunya cara dan jalan agar bangsa ini dapat keluar dari keterpurukan ekonomi di tengah krisis pandemik.
Sangat bisa dipahami, sulit untuk mengurus negeri kepulauan sebesar Indonesia dengan 34 Provinsi dan 17.504 pulau. Kesulitan ini sebenarnya akan menjadi mudah bila putera-puteri terbaik bangsa diperkenankan untuk menjadi super leader di daerahnya masing-masing, didukung untuk menjadi leader yang baik dan di beri ruang untuk mengabdi pada bangsa dan negara. Sayangnya hal ini sulit diraih. Hal yang dikenal dengan istilah oligarki telah menutup pintu bakti anak bangsa yang tidak memiliki kecukupan materi untuk mengabdi pada negerinya Alhasil para leader yang sesungguhnya tidak bisa muncul menjadi penjaga dan pembela bangsa yang sejati, yang tampil adalah leader yang memiliki uang.