Oleh : Dr. Lyta Permatasari, M.Si
Associate Writer, Birokrat Menulis
Kekhawatiran rakyat tentang kelangsungan hidupnya di era pandemik berbanding terbalik dengan sikap elit yang masih nyaman-nyaman saja. Sebagai bagian tengah dari situasi ini, ingin saya sampaikan apa yang terjadi di bawah untuk di dengar di atas, karena elit negeri ini, siapapun itu, bergerak dengan bebas dan leluasa di negeri tercinta Indonesia dalam menikmati kesuksesannya dengan membawa satu bendera 🇮🇩 yang sama yakni bendera Republik Indonesia dimana rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi sedang meratap dalam banyak dimensi kesedihan.
Saat ini situasi dalam negeri sedang sulit, dalam kacamata rakyat. Sulit berusaha, sulit untuk mendapatkan penghasilan, sulit untuk bergerak aktif dan keluar rumah pun juga harus hati-hati karena bisa jadi bila lengah sedikit, akan terpapar korona. Dimana-mana terjadi demikian, angka kenaikan infected covid selalu meningkat, seperti yang diberitakan oleh Kompas.com pada tanggal 7 Oktober 2020, kasus positif korona per tanggal tersebut bertambah 4.538 orang menjadi 315.714 orang, dengan data pasien meninggal menjadi 11.472 orang. Dengan demikian maka dalam kurun waktu kurang lebih 7 (tujuh) bulan bangsa Indonesia telah kehilangan sebelas ribu lebih anak bangsa karena tak berhasil melawan korona. Dengan rata-rata kematian 1.700 orang per bulan. Sebuah angka yang ngeri dan fantastis.
Korona hadir membatasi interaksi. Inilah yang membuat hampir seluruh sendi kehidupan lumpuh karena sebagai makhluk sosial, hidup kita adalah rangkaian interaksi. Untung saja teknologi komunikasi data telah canggih sehingga satelit memfasilitasi pertemuan virtual via aplikasi, bila tidak maka tanpa interaksi digital, sendi-sendi kehidupan pasti akan mundur kebelakang dan gelap. Tanpa interaksi, mustahil ada jual-beli konvensional. Walaupun kini tersedia online market, jual-beli konvensional tetap dirindukan, sekali lagi karena kita adalah makhluk sosial yang selalu memerlukan oranglain, melihat oranglain dan membuat kesepakatan secara face to face. Pendek kata, pola kehidupan telah berubah, dari mulai kehadiran secara nyata beralih ke kehadiran secara maya dan pola ini akan terus begitu sejak saat ini hingga nanti. Pandemik menandai bangkitnya pola kehidupan maya (virtual reality).
Teknologi telah mengantarkan kemudahan untuk menuju pada kehidupan virtual yang membuat kita nyaman. Salah satunya adalah aplikasi media sosial dan tik tok yang saat ini sedang begitu digandrungi oleh segala usia. Ditengah pandemik, kita masih bisa tersenyum melihat potongan video pendek dari aplikasi hiburan yang kita instal, tak hanya memiliki sisi positif, komunikasi digital juga melahirkan sisi negatif. Walau telah di back-up dengan UU-ITE.
Ada tiga hal yang berubah cukup cepat di masa pandemik yakni pola konsumsi, pola interaksi dan pola komunikasi. Ketiga pola ini membentuk keberlanjutan sehingga merubah pola kehidupan secara nyata di desa dan kota. Kehidupan tradisional yang hangat dan penuh interaksi kini berganti pola menjadi berjauhan, dingin dan kurang greget. Jarak seakan membatasi dengan sangat jelas walau ruang kaca virtual seakan mendekatkannya. Ketiga pola yang berubah itu telah melahirkan pola keuangan baru dimana M-Banking adalah salah satu jawabannya.
Dengan instal M-Banking kita bisa melakukan banyak hal dan membeli apapun dengan kemudahan, kecepatan dan efisiensi waktu. No problem dengan teknologi informasi dan komunikasi. Semuanya baik dan menguntungkan. Masalahnya adalah cukupkah keuangan kita untuk menunjang seluruh aktifitas virtual di masa pandemik ini? Sementara sumber-sumber pendapatan seakan tertutup, sumber mata pencaharian baru yang akan digeluti memerlukan modal dulu yang mendapatkan modalnya juga sulit, sementara kredit perbankan menjadi andalan di masa pandemik yang tentunya tidak bisa juga meng-cover seluruh kebutuhan hidup.
Pandemik meminta kita untuk bersabar dan menjadi makhluk kreatif secara sekaligus. Bersabar dengan kesederhanaan dan mengurangi banyak keinginan, dan kreatif dalam hal menciptakan sumber mata pencaharian baru dengan berwirausaha dan berkolaborasi dengan perbankan yang tepat, juga komunitas yang mendukung.
Tentang ini, ada pola RLAFM1 dan RLAFM2 dalam konsep Power to Powerless yang bisa membantu masyarakat dalam berwirausaha di masa pandemik. Hal ini bisa dilihat pada tautan youtube Forum Komunikasi Go Green di https://www.youtube.com/watch?v=BEyA86qk9zc&t=4110s. RLAFM1 dan RLAFM2 sendiri adalah singkatan dari Rahmatan Lil Alamin Financing 1 dan 2 yakni sebuah model pemberdayaan masyarakat yang merupakan novelty dari Dr. Agus Syabarruddin, M.Si Direktur Utama Bank Kalsel.
Sabar dan kreatif adalah langkah terbaik yang harus kita ambil di masa pandemik yang akan berlangsung panjang ini. Para epidemiolog memperkirakan bahwa pandemik akan berlangsung selama kurang lebih dua tahun, itu berarti baru pada tahun 2022 kita bisa menghirup nafas lega bebas pandemik. Bila hitungannya adalah 2022, itu berarti masih tersisa 14 (empat belas) bulan lagi situasi pandemik yang berat ini kita lalui.
Dalam masa panjang tersebut, bukan saja kita, pemerintah pun merasa kelelahan dalam menghadapinya bahkan Menteri Keuangan Sri Mulyani memperkirakan bahwa ekonomi Indonesia kembali terkontraksi pada kuartal III 2020 di kisaran -2,9 persen hingga -1 persen. Karena itu, banyak yang menyimpulkan Indonesia sudah resesi, dan kini tinggal menunggu pengumuman resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS) tentang hal itu.