Namanya Ibu Sri Suryanti.
Saya memanggilnya dengan nama Ibu Sri. Perkenalan kami terbilang baru, yaitu beberapa hari lalu saat saya hendak menuliskan kisah hidupnya yang bagi saya penuh hikmah dan inspirasi. Betapa tidak, di usianya yang sudah memasuki tahun ke-74, ia masih aktif bekerja sebagai penerjemah Bahasa Mandarin-Inggris paruh waktu untuk sebuah harian di Indonesia. Saat saya menghubunginya via telepon, suaranya masih sangat jelas, tegas, dan sama sekali saya tidak akan pernah menyangka bahwa usianya sudah sedemikian senja jika saya ia tidak memberitahukannya langsung kepada saya.
Ketika pembicaraan kami sudah mengalir panjang, di sela-sela mengisahkan pengalamannya sebagai penerjemah paruh waktu, terdengar nada suaranya sesekali tertahan seperti sedang menahan beban perasaan. Saya pun terusik untuk usil bertanya, “Ibu kenapa? Ada masalah apa?”
Tak disangka, sebuah kisah lain terungkap darinya. Sebuah kisah yang membuat mata saya sempat berkaca-kaca saat mendengarkannya bertutur dengan suaranya yang tegas namun halus mengalun.
“Tak adakah keadilan hukum di negeri ini?” bisiknya perlahan hingga saya nyaris saja tak mampu menangkap kata-katanya.
“Hukum di negeri ini adil kok, Bu.” Sahut saya.
“Tapi saya tidak yakin hukum di negeri ini ditegakkan”. Ibu Sri “keukeuh” dengan pendapatnya.
Lantas, mengalirlah cerita itu. Potret buram penegakan hukum di negeri ini.
Ibu Sri, adalah seorang wanita yang dilahirkan dan besar di Indonesia namun memiliki darah Tionghoa. Ia menikah dengan suaminya Lukman Hakim, saat mereka masih memakai nama Tionghoa yaitu pada tahun 1966 di kantor catatan sipil Purwakarta. Dari perkawinan itu lahirlah lima orang anak, 4 lelaki dan 1 orang wanita.
Pada tahun 1978, keluarlah peraturan dari Menteri Kehakiman saat itu yang mewajibkan adanya SBKRI bagi warga negara Indonesia keturunan -salah satunya Tionghoa- yang tinggal di Indonesia. SBKRI atau Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia ini merupakan kartu identitas yang menyatakan bahwa pemiliknya adalah warga negara Republik Indonesia dan menjadi salah satu syarat yang harus dipenuhi seseorang untuk mengurus berbagai keperluan semisal membuat KTP, mendaftar sekolah, permohonan paspor, pendaftaran pemilihan umum, hingga saat harus menikah dan meninggal dunia.
Sebagai warga negara yang baik, Ibu Sri dan Pak Lukman Hakim pun tak ketinggalan mengurus SKBRI tersebut. Tercatat pada tahun 1980 mereka mengurus SKBRI bagi mereka dan kelima anaknya hingga terbitlah Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia No. 337866. Secara otomatis pula, mereka yang semula memiliki nama Tionghoa akhirnya berganti nama menjadi nama Indonesia.