Sesuai dengan rencana, Sheila dan Nia kembali ke gubuk kecil di tengah kota itu. Sheila meminta maaf kepada Nia atas ketidakhadirannya dalam acara pengajian di kampus. Nia pun memaklumi dan ia pun meminta maaf karena tidak mengingatkan Sheila. Hari ini tidak seperti pertama kali saat mereka menginjakkan kaki di pemukiman itu. Cuaca kali ini cerah, secerah wajah mereka untuk menemui kawan-kawan kecil di sana. Aroma pisang goreng tercium saat mereka mengucapkan salam dan memasuki istana kecil itu.
,,Eh,nak Sheila, Nia, ayo masuk! Maaf ya, ibu lagi buat gorengan di dapur. Biasa, buat dagangan di pasar nanti sore. Hehe” jelas bu Annie mengawali pembicaraaan.
,,Gapapa bu, kami yang minta maaf, jadi sering main ke sini” ungkap Nia. Sheila tersenyum melihat wajah bu Annie yang sedikit dibedaki tepung.
,,Oh, malah ibu senang, makin banyak yang bersilaturahim ke sini. Biasanya nak Bintang juga datang, paling sebentar lagi datang. Kemarin dia datang mengajar anak-anak”
,,Bintang?” tanya Sheila
,,Iya, nanti aku kenalin deh,La” jawab Nia.
,,Assalamualaikum” suara pria memecahkan pembicaraan mereka.
,,Wa’alaikumsalam” jawab bu Annie, Nia, dan Sheila berbarengan.
Sesosok pria bertubuh tinggi tegap berdiri di depan pintu. Ia mengenakan kaos oblong hitam, kacamata berlensa kotak hitam, topi di atas kepalanya, dan gelang persahabatan model terbaru.
,,Hai Bintang!,” seru Nia menyambutnya.
,,Hai Ni, sudah datang dari tadi?” tanyanya.
,,Baru sampai,”
,,Nak Bintang, sudah makan?” tanya Bu Annie kemudian.
,,Alhamdulillah, sudah Bu” jawabnya pelan.
,,Oh ya Bin, kenalkan, ini sahabatku, Sheila” ujar Nia memperkenalkan Sheila.
,,Oh ya, Bintang,” sapa Bintang memperkenalkan diri dengan merapatkan kedua belah telapak tangan di depan dadanya. Ia melemparkan senyumannya kepada Sheila. Melihatnya seperti itu, Sheila paham dan melakukan hal yang serupa.
Pertemuan itu mengawali kegiatan-kegiatan yang kini mereka lalui bersama, kegiatan belajar agama dan mata pelajaran wajib tingkat SD. Tidak hanya mereka, beberapa teman kampus mulai ikut menyumbangkan tenaga dan pikirannya untuk mencerdaskan anak-anak itu. Mereka juga ikut menghimpun anak-anak yang tinggal di bantaran tempat pembuangan sampah di kawasan Grogol untuk belajar bersama. Program-program disusun sebaik mungkin, salah satunya rencana pembangunan rumah singgah sederhana di tengah perkumuhan itu.
Bu Annie pernah berkata, “walaupun kita di sini hidup serba kekurangan, saya selalu mengingatkan anak-anak untuk tidak rendah diri di hadapan orang lain, karena kita, sebagai manusia diciptakan tidak dengan kesia-siaan. Kita tercipta dengan keistimewaan masing-masing. Toh kita tidak mengemis, kalau ada orang baik yang memberi, kita terima dengan tangan terbuka.”
Kegigihan bu Annie dalam mengasuh anak-anak membuat Sheila, Nia, dan Bintang terharu dan semakin bersemangat untuk membangun rumah singgah sederhana untuk adik-adik asuhnya. Bintang yang berperan penting dalam program itu. Semua rencana, ia susun dengan rapih dan guru-guru muda telah bersedia untuk meluangkan waktu untuk mengajar di sela-sela kesibukan mereka.
“Bin, gimana kalau kita buat juga kelas musik? Emang sih harus ke rumahnya bu Dewi dulu biar bisa mulai. Tapi kan gak ada salahnya? Bisa bantu mereka ngembangin kreatifitas,” usul Nia.
“Hmm, musik ya? Boleh juga,” jawab Bintang singkat.
“Yang ngajar piano, Sheila aja, Bin. Hehe,” tunjuk Nia ke arah Sheila.
Sheila salah tingkah melihat Nia menunjuk ke arah dirinya. Bintang tersenyum melihatnya.
***
(to be continued)
Cerpen Karya :
Lydia Desvita Sari
www.catatan-pianissimo.blogspot.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H