Sepulang les, Sheila mendapat telepon dari Marlyn. Ia meminta maaf karena tidak menjawab panggilannya tadi pagi dan menjelaskan bahwa telepon genggamnya tertinggal saat ia menemani ibunya ke pasar. Kemudian ia mengajak Sheila untuk datang ke festival seni dan budaya Indonesia yang berlokasi di Senayan. Mendengar kata-kata seni, Sheila sangat tertarik. Tanpa ragu, ia langsung menelepon pak Argamaya untuk menjemputnya dan mengantarnya ke rumah Marlyn di kawasan Menteng. Marlyn meminta Sheila agar menjemputnya karena supir keluarganya izin mudik untuk beberapa minggu.
Hiruk pikuk kota Jakarta kali ini demeriahkan oleh Festival Seni Budaya Indonesia yang diselenggarakan oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Berbagai acara seni dimeriahkan oleh beberapa sekolah dan universitas. Bukan hanya sekolah dan universitas yang berlokasi di Jakarta, namun mereka yang berasal dari luar Jakarta pun ikut berpartisipasi. Acara ini diselenggarakan secara rutin setiap tahunnya. Malam itu dimeriahkan juga oleh penampilan pianis pop muda asal Sumatera Utara, Tuntun Asi Tambunan. Universitas Binasakti ikut memeriahkan suasana malam itu dengan mengahadirkan paduan suaranya, Trismavoca, diiringi oleh alunan piano dari jemari sang pianis muda itu.
,,Tanah airku tidak kulupakan
Kan terkenang selama hidupku
Biarpun saya pergi jauh
Tidak kan hilang dari kalbu
Tanahku yang kucintai
Engkau kuhargai
Walaupun banyak negri kujalani
Yang masyhur permai dikata orang
Tetapi kampung dan rumahku
Di sanalah kurasa senang
Tanahku tak kulupakan
Engkau kubanggakan”
Melodi lagu kebangsaan ciptaan Ibu Sud ini mulai mengantarkan malam yang hiruk pikuk menjadi suasana yang penuh khidmat. Sheila dan Marlyn ikut hanyut terbawa suasana yang penuh rasa syukur yang tiada terbatas kepada Maha Pencipta atas segala apa yang mereka rasakan di masa muda. Hidup yang penuh kasih sayang keluarga, teman, dan yang terpenting lagi, rasa syukur karena dilahirkan di negara yang menjunjung tinggi nilai keagamaan.
“Kak Tuntun!!,” panggil Marlyn ke arah perempuan itu.
Sheila terbelalak kaget, “Lyn, kamu ngapain?,”
Marlyn hanya tersenyum melihat wajah heran temannya itu.
“Hai, Marlyn! Lama tak jumpa!,” sahut Tuntun, pianis muda berbakat itu.
“Iya, ya? Wah,, tambah oke aja aksi panggungnya! Apa kabar beasiswa musiknya?”
“Puji Tuhan, beasiswanya sudah kelar. Kamu sendiri gimana kuliahnya, Lyn?”
“Wah, Alhamdulillah kalau begitu. Aku sebentar lagi skripsi,kak. Oh ya, kenalkan ini temanku, Sheila,”
“Hai Sheila,” sapa Tuntun.
“Sheila,” sahut Sheila menjabat tangan pianis terkenal itu dengan perasaan yang masih tidak percaya.
“Sheila ini jago main piano juga,kak! cuma...” ujar Marlyn.
“Cuma apa? Ada apa, Sheila?,” tanya Tuntun penasaran.
“Cuma dia jarang manggung,” jawab Marlyn.
“Hmmm,, dulu aku juga jarang manggung Sheila, karena malu-lah, gak PD-lah, takut salah mainin chord-nya, tapi lama-lama aku mikir, kalau gak dicoba, gimana aku bisa tau kemampuanku. Jadi aku mulai cari kerja part time di wedding organizer sebagai pianis. Hehe. Udahlah, coba aja! Sayang sekali kalau kamu jago main piano, tapi gak dimanfaaatkan!,” jelas perempuan itu seolah mengerti masalah yang Sheila hadapi.
“Iya kak, insyaAllah aku coba pelan-pelan,” ujar Sheila masih setengah hati.
“Sipp! Oh ya, Marlyn, Sheila, aku duluan ya! Udah ditunggu suami niy, soalnya mau pergi ke rumah mertua. Sukses untuk kalian berdua yah! Hehe,”
“Sukses juga ya,kak! Terima kasih!,” seru mereka berdua.
Sesuai dugaan Marlyn, Sheila masih penasaran dan memintanya bercerita bagaimana ia bisa berkenalan dengan Tuntun.Ia menjelaskan bahwa ayahnya sahabat karib ayah Tuntun sejak SMP. Marlyn meminta maaf karena selalu lupa bercerita tentang pianis itu kepada Sheila.
Pada kesempatan itu, Sheila bercerita tentang bu Annie dan anak-anak jalanan di kawasan Grogol itu. Marlyn terharu mendengar keadaan mereka.
“Tuh La, mereka aja gak malu main musik di tengah orang banyak! Idiih, kalah sama anak kecil!,” protes Marlyn tiada henti.
Sheila terdiam sejenak dan berkata, “Iya juga sih Lyn. Udah deh, bantu doa aja, jangan protes mulu! Huuh!”
Marlyn berlalu menuju arah festival masakan Indonesia yang terletak persis di samping lapangan parkir timur Senayan. Berbagai masakan khas Indonesia tersedia di sana. Acara tersebut juga dihadiri oleh turis mancanegara. Mereka terlihat antusias menghadiri acara kebudayaan ini. Sayangnya, acara ini jarang mendapatkan perhatian dari remaja-remaja Indonesia, kecuali mereka yang mengikuti lomba dan para supporter-nya.
Suara adzan Isya berkumandang, Sheila mengajak Marlyn untuk menunaikan panggilan-Nya. Mereka menuju masjid Al-Bina yang terletak di depan hotel Atlet Senayan. Di sana terlihat banyak ibu-ibu dan bapak-bapak yang mengikuti pengajian bulanan masjid Al-Bina. Lantunan ayat Al-Qur’an terdengar merdu dilantunkan oleh seorang qori,
‘Uqtarabalinnasi hisaabuhum wahum fii qhoflatimmu’ridhuun’
(Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya))
Al-anbiya;1
‘Betapa merdu suaranya, Subhanallah,’ bisik Sheila dalam hati.
Melihat pengajian itu, Sheila teringat akan janjinya untuk datang ke acara pengajian di kampusnya. Ia lupa menghubungi Nia yang kemarin sempat mengajaknya. ‘Astagfirullahaladzim, aku lupa!,’ gumam Sheila.
***