Bulan April tiga tahun yang lalu, aku mengetahui bahwa aku sedang hamil anak pertama. Saat itu aku hendak bertugas dalam penerbangan ke Tokyo. Aku merasakan sesuatu yang...janggal. Instingku berkata, ada sesuatu di rahimku. Seakan-akan menyapa, "Hello. I am here".
Saat transit di Denpasar, aku memutuskan untuk membeli testpack.
"Oh, wow. It's happening!"
Kami baru menikah dua bulan. Sebelumnya kami berpacaran selama dua tahun. Awal-awal pernikahan kami masih seperti orang-orang kebanyakan di tahap fase bulan madu.Â
Sesederhana aku belajar masak, suamiku membantu mencuci baju- sudah sangat istimewa bagi kami. Saat mengetahui bahwa aku hamil, dunia seperti terbalik. Aku merasa bahwa aku melakukan kesalahan yang besar. Kita tidak seromantis dulu lagi!
Hormon kehamilan mungkin berpengaruh besar dalam ---meminjam istilah suamiku---'drama-drama miskomunikasi' yang terjadi saat itu. Perusahaanku mewajibkan untuk langsung cuti bekerja sesaat setelah diketahui positif hamil.Â
Aku yang bekerja setiap hari selama delapan tahun (bahkan beberapa kali menghibahkan cuti) merasa... shock? Tiga bulan pertama, aku menderita hyperemesis gravidarum.Â
Kondisi dimana aku terus menerus mual dan muntah tidak peduli di pagi atau malam hari. Aku tidak bisa mencium 'bau dapur', aku kehilangan 5 kg karena aku terus menerus memuntahkan makananku.Â
The pregnancy wasn't that easy, if I might say. Sehari-hari aku menghabiskan sebagian besar waktuku di rumah bersama kucing kami Pinyi karena suamiku harus bekerja dari pagi hingga malam.Â
Saat suamiku pulang, aku biasanya ingin sekali berbincang karena aku merasa kesepian. Namun kami hanya berbincang sekadarnya. Ia mandi lalu menghabiskan sisa malamnya dengan bermain game online. Ia berkata ia butuh me time dulu setelah seharian bekerja.
"Me time?! What about ME?"