Jika pertimbangan pemilih nantinya ingin tokoh yang nasionalis, maka nama Ganjar Pranowo adalah jawaban tepat, karena berdasarkan track record ia pernah menduduki kursi parlemen selama dua periode, yaitu 2004-2009 dan 2009-2014, sebelum akhirnya dipercaya rakyat untuk memimpin Jawa Tengah hingga saat ini.Â
Kabar baiknya, hal itu dijalankan oleh Ganjar hampir tanpa cacat, walaupun kini ia disebut-sebut terlibat dalam pusaran korupsi e-KTP, namun belum ada bukti yang menunjukkan suami Siti Atiqoh ini korup, sehingga kita harus menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah dan menganggap sang petahana masih bersih. Apa yang ditorehkan oleh Ganjar Pranowo itu sudah bisa dianggap mewakili kalangan nasionalis yang ada di Jawa Tengah.
Melihat strategi yang diusung oleh PDIP dalam Pilkada serentak tahun ini, khususnya di Jawa Tengah seperti menyiratkan bahwa partai ini tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama seperti saat Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta pada 2017 yang lalu. Ketika memutuskan untuk kembali menduetkan Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat memang tidak ada salahnya, karena kedua nama tersebut juga sama-sama mempunyai rekam jejak bagus selama memimpin DKI di periode sebelumnya.Â
Namun sayangnya, PDIP kurang jeli mengamati bahwa kecenderungan pemilih di Indonesia masih mudah termakan dengan isu-isu sensitif seperti suku, agama, ras dan antar golongan. Akibatnya, latar belakang Ahok yang berasal dari kaum minoritas di Indonesia menjadi titik lemah yang tidak mampu ditutup oleh wakilnya, Djarot Saiful Hidayat karena mantan Wali Kota Blitar ini juga bukan dari kalangan tokoh agama hingga hasilnya suara pasangan fenomenal ini dimatikan oleh isu SARA.
Tidak ingin bernasib sama, PDIP menggunakan taktik lain ketika akan mengarungi kerasnya persaingan di Pemilihan Gubernur Jawa Tengah 2018 nanti. Memang sosok Ganjar Pranowo bukan berasal dari kalangan minoritas, baik secara suku, agama maupun ras. Namun jika disandingkan dengan nama lain yang lebih kental dengan karakter nasionalis bukan tidak mungkin isu sensitif seperti yang terjadi pada Pilkada DKI Jakarta akan kembali dijadikan alat untuk menggembosi suara kandidat yang diusung oleh PDI Perjuangan.Â
Karena pada kenyataannya memang kampanye hitam masih menjadi kegemaran bangsa ini untuk merebut kekuasaan. Selain demi mengantisipasi serangan black campaign, langkah partai yang dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri ini menurut saya untuk memanfaatkan basis masa Nahdlatul Ulama dan PDIP yang cukup kuat di Jawa Tengah hingga disebut sebagai salah satu daerah dengan lumbung suara terbesar. Maka harapannya dengan menggandeng tokoh nahdliyin seperti Gus Yasin untuk menjadi pendamping Ganjar Pranowo, akan mengamankan suara PDIP untuk Pemilihan Umum 2019 dan memuluskan Joko Widodo kembali sebagai Presiden Republik Indonesia.
Pertarungan sengit diyakini akan terjadi di Jawa Tengah karena calon yang diusung PDIP juga harus berhadapan dengan koalisi besar yakni Gerindra, PAN, PKS dan PKB yang mengusung duet Sudirman Said-Ida Fauziah. Dengan hadirnya Ida, seperti halnya koalisi PDIP, Golkar, Nasdem dan PPP, poros koalisi yang dipimpin oleh Gerindra ini juga dianggap mewakili suara Nahdlatul Ulama di Jawa Tengah. Karena sepanjang karirnya, wanita yang juga politisi Partai Kebangkitan Bangsa ini pernah merasakan jabatan sebagai Ketua Umum Fatayat NU.
 Dua tokoh nasionalis dan dua tokoh agama hampir dipastikan akan duel di Jawa Tengah. Pilkada di Provinsi ini tentu sulit untuk digempur dengan isu agama seperti yang pernah terjadi di DKI Jakarta. Oleh sebab itu harapan kita semua pertarungan politik yang akan terjadi di tahun ini benar-benar berlangsung secara fair dan menghasilkan pemimpin yang mampu menjadi pelayan rakyat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H