Liga Primer Inggris akhirnya menyusul La Liga, Eredivisie, dan Bundesliga untuk melahirkan juara. The Blues Chelsea resmi ditasbihkan sebagai kampiun setelah berhasil mengalahkan West Bromwich Albion dengan skor 0-1. Dengan kemenangan itu, perolehan point si biru di tabel klasemen tidak akan bisa dikejar oleh kompetitor terdekat, Tottenham Hotspur yang juga merupakan rival sekota Chelsea di London.
      Prestasi yang diraih oleh The Roman Emperor ini bukan tanpa hambatan, karena sebelum menjalani musim kompetisi 2016/2017, John Terry dan kawan-kawan dibayang-bayangi oleh hasil jeblok pada musim 2015/2016 dimana saat itu mereka yang berstatus sebagai juara bertahan harus rela mengakhiri musim di posisi ke 10 sehingga gagal untuk mendapatkan tiket Liga Champions maupun Europa League.
      Upaya Roman Abramovich sebagai pemilik Chelsea ini dimulai dengan langsung merombak jajaran kepelatihan klub yang bermarkas di Stamford Bridge. Antonio Conte yang punya rekor mentereng bersama Juventus di Italia diberikan kontrak fantastis sekaligus tantangan untuk mampu kembali membawa Chelsea di jalur prestasi. Michy Batshuayi, David Luiz, Marcos Alonso, N’Golo Kante, dan Eduardo adalah nama-nama yang diborong oleh Conte ke Chelsea.
      Pada awal musim, cukup banyak pihak yang memandang sebelah mata langkah klub asal London ini. Alasan yang cukup wajar karena selain adanya cerita masa lalu yang kurang meyakinkan, faktor lainnya adalah berkaitan dengan taktik serta materi pemainnya. Saya sendiri sebagai penikmat sepakbola juga sedikit ragu mengenai strategi seperti apa yang akan diterapkan oleh Conte di tim barunya.
      Jika menilik dari kebiasaan pelatih yang juga pernah menangani Tim Nasional Italia ini, ia acapkali menggunakan formasi tradisional 3-4-3 atau 3-5-2. Dua taktik tersebut memang cukup sukses diterapkan di klub dan timnas yang ia tangani sebelumnya, karena secara filosofis, gaya sepakbola di Italia sangat cocok apabila menggunakan skema tiga bek yang cenderung merapatkan baris pertahanan mulai dari lini ke dua.
      Sedangkan Liga Primer inggris mempunyai kondisi yang sangat jauh berbeda. Dikenal dengan gaya sepakbola kick and rush mengandalkan power dan kecepatan, setiap pemain yang berkiprah di negeri Ratu Elizabeth ini dituntut untuk mempunyai skill sekaligus power yang kuat untuk bertahan ataupun menyerang pertahanan lawan, gaya permainan tim-tim di Inggris cenderung offensif.
      Belum selesai permasalahan di sektor strategi, Conte kembali dihadapkan dengan ganjalan lainnya, yakni mengenai materi pemain di timnya. Harus diakui bahwa sepeninggalan bintang-bintang senior seperti Frank Lampard, Didier Drogba, Michael Essien, Ashley Cole, dan Petr Cech, Chelsea seperti dipaksa untuk harus memulai segalanya dari awal. Karena pemain-pemain yang menghuni skuad si biru saat ini memang kebanyakan adalah muka baru dan pemain usia muda.
      Memang sebuah tim sepakbola yang hebat pun tidak akan bisa menghindari masa transisi dari dampak regenerasi para pemainnya. Kita tengok saja Manchester United, dengan segudang prestasi yang dimiliki dan pondasi tim yang sudah cukup kuat dibangun sejak era Sir Alex Ferguson, kini mereka juga harus merasakan dampak itu, akibatnya hasil yang didapat di kompetisi domestik maupun Eropa terkadang tidak sesuai dengan target awal untuk meraih juara.
      Chelsea juga demikian, musim 2015/2016 adalah salah satu kisah ketika Roman Abramovich harus menghadapi kenyataan bahwa tim yang dimilikinya sedang menjalani masa transisi untuk mempersiapkan pondasi baru setelah pemain-pemain yang pernah mengisi starting line up Chelsea di masa keemasannya meraih Liga Champions, Europa League, Liga Primer, FA Cup, dan Piala Liga satu persatu keluar dari Stamford Bridge.
      Pertandingan demi pertandingan di awal musim 2016/2017 berjalan, hasil yang didapatkan oleh anak asuh Antonio Conte juga belum bisa dikatakan mulus. Hal itu lantaran mereka belum bertemu dengan tim besar semacam Arsenal, Manchester United, Liverpool, Manchester City, dan Tottenham Hotspur. Prediksi beberapa pengamat yang meragukan Chelsea akhirnya sedikit terjawab ketika langkah The Blues harus terjegal saat kalah 3-0 dari Arsenal, dan 3-1 dari Liverpool.
      Namun tunggu dulu, karena saat itu Don Conte, begitu sapaan akrab Antonio Conte masih menggunakan skema 4-1-4-1 yang bukan andalannya. Baru setelah dua kekalahan yang menyakitkan tersebut akhirnya pelatih 47 tahun ini merubah formasi tim dengan 3-4-3. Menempatkan Thibaut Courtois sebagai penjaga gawang, di sektor bek terdapat nama David Luiz, Cezar Azpilicueta, Gary Cahill. sedangkan empat pemain gelandang diisi Marcos Alonso, N’Golo Kante, Matic, Victor Moses. Kemudian trisula di lini depan adalah Eden Hazard, Diego Costa, dan Pedro. Susunan starting line up itulah yang akhirnya menghasilkan 29 kemenangan, 3 seri, 5 kalah dengan total 90 point sampai dengan tulisan ini dibuat yang sekaligus memastikan Chelsea menjadi juara Liga Inggris musim ini.
      Apa yang bisa dipetik dari kisah yang sudah dilalui oleh Chelsea musim ini? Ya, tim dengan keuangan yang baik tidak bisa selamanya mengandalkan pundi-pundi Poundsterling atau Euro untuk meraih sebuah mahkota. Buktinya, Manchester City yang musim ini jor-joran belanja pemain bintang juga tidak mampu berbuat banyak. Sepertinya Chelsea sudah belajar dari Leicester, bahwa tim semenjana menjadi juara di liga yang berat seperti Inggris tidak hanya ada pada sebuah dongeng, itu nyata.
Kebijakan financial fair play yang dikeluarkan oleh FIFA menurut hemat saya tidak semata-mata untuk menghindari ketimpangan antar klub dengan modus menjaga keseimbangan neraca keuangan saja, tetapi induk sepakbola dunia itu juga ingin mengajarkan bahwa sepakbola dan prestasi adalah satu ikatan yang tidak pernah terlepas dari yang namanya proses.
Bukti yang paling sahih adalah, mayoritas klub yang memiliki prestasi melimpah, baik di liga domestik maupun kompetisi Eropa justru meraih kejayaan bukan karena kekayaan yang dimilikinya sehingga mampu merekrut pemain bintang untuk mencapai tangga juara. Tetapi tim tersebut sudah melakukan pembinaan dini kepada pemain-pemain muda dengan baik melalui akademi yang dimilikinya. Ajax Amsterdam misalnya, kesebelasan asal negeri kincir angin ini bukan hanya dikenal karena pernah menjuarai Eredivisie dan Liga Champions, tetapi juga karena keberhasilannya menelurkan nama-nama besar macam Zlatan Ibrahimovic, Luis Suarez, Edwin Van Der Sar, Patrick Kluivert, dan Marco Van Basten dari hasil binaan akademi klub.
Saya berpendapat, jika suatu klub memiliki banyak pemain yang berasal dari akademinya sendiri, maka akan sejalan dengan loyalitas si pemain terhadap tim yang ia bela. Karena ikatan emosional yang telah terbentuk sejak dini, tentu ini bukan saja soal berapa nilai kontrak atau transfer yang digelontorkan oleh management, tetapi lebih pada rasa memiliki kesebelasan yang ia bela.
Chelsea sendiri memang sudah seharusnya mengambil hikmah dari transisi pemain yang telah dilaluinya. Mempunyai kelebihan dalam hal keuangan klub itu adalah bonus, tetapi yang paling utama adalah bagaimana mereka bisa memiliki calon pemain bintang masa depan yang mampu membawa The Blues berprestasi tanpa harus dilanda kekhawatiran yang mendalam akan ditinggalkan pemain pindah ke klub lainnya.
Antonio Conte adalah pelatih muda yang dikenal sangat visioner. Karakternya itu terlihat ketika ia mampu membuktikan Chelsea mampu berbicara banyak dengan formasi yang mungkin awalnya terdengar asing bagi mayoritas pemainnya, kecuali Marcos Alonso karena Spaniard ini sebelumnya bermain untuk Fiorentina di Italia. Selain itu, pria yang juga mantan pemain Lecce ini cukup sukses memaksimalkan kemampuan anak asuhnya dengan kebutuhan formasi tim sehingga Victor Moses dan Pedro Rodriguez yang oleh pelatih Chelsea sebelumnya dikesampingkan perannya tetapi musim ini menjadi bagian penting dari capaian juara si biru.
Kegemaran Conte terhadap bakat muda adalah asa baru bagi Chelsea. Karena bukan tidak mungkin Ruben Loftus Cheek, Nathan Ake, Kurt Zouma, Nathaniel Chalobah yang merupakan binaan asli tim London ini akan segera menggantikan peran John Terry dan kawan-kawan yang saat ini satu per satu sudah mulai memutuskan untuk gantung sepatu.
Kita tunggu saja, apakah Conte kembali membawa Chelsea meraih kejayaan dengan gaya barunya yang cukup visioner untuk memaksimalkan peran pemain muda dan hasil kerja pemandu bakat di akademi timnya atau dia justru akan tergiur untuk meraihnya secara instan dengan mengandalkan gelontoran dana Abramovich. Dari semua opsi pilihan jawaban itu, saya lebih tertarik untuk terlebih dahulu menyaksikan bagaimana pemain Chelsea sejenak berpesta bersama para pendukungnya setelah melalui musim yang cukup melelahkan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H