Gelombang penolakan yang cukup keras dari masyarakat Kabupaten Rembang sangat wajar adanya, meskipun berkali-kali pihak penyelenggara sudah melakukan klarifikasi melalui media cetak, online maupun elektronik sembari berjanji untuk menanggung segala konsekuensi yang timbul atas perawatan rumput stadion, namun agaknya rakyat Rembang yang terkenal militan mendukung PSIR sudah trauma akan apa yang pernah terjadi terhadap stadion kebanggaan kota garam beberapa waktu yang lalu.
Polemik ini kemudian melebar hingga memecahkan suara masyarakat menjadi dua kubu, demikian halnya dengan pihak Pemerintah Kabupaten Rembang sendiri. Di sisi lain banyak warga yang mengecam keras rencana pelaksanaan konser di Stadion Krida, namun ternyata juga tidak sedikit kelompok masyarakat yang menganggap penolakan tersebut terlalu berlebihan.
Misalnya, dalam suatu kesempatan melalui akun media sosial twitter resminya, Bupati Kabupaten Rembang, Abdul Hafidz memberikan beberapa point statement terkait dengan kasus ini, yang pertama adalah beliau mengakui tidak pernah melarang stadion untuk digunakan konser musik atau acara lainnya. Selanjutnya Bupati menegaskan, jika ada pihak yang ingin menggunakan stadion harus melalui prosedur yang berlaku dengan menggunakan surat izin kepada pemerintah. Point ke tiga, beliau menekankan bahwasannya acara konser dalam waktu dekat tidak diizinkan dengan alasan PSIR Rembang sedang menjalani musim kompetisi Liga 2 Indonesia.
Ada beberapa hal menarik yang patut kita cermati secara jernih agar suatu saat kita semua mampu menyikapi polemik ini dengan lebih baik. Berdasarkan pernyataan sikap yang sudah dikeluarkan oleh Bupati Rembang, saya melihat bahwa beliau sudah dalam posisi yang benar, artinya secara hukum, pernyataannya untuk tidak melarang penggunaan stadion bagi kegiatan lain diluar olahraga adalah bentuk kepatuhan hukum sebagai kepala daerah terhadap undang-undang yang berlaku.
Dalam Pasal 67 ayat (7) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional berbunyi, “setiap orang dilarang meniadakan dan/atau mengalihfungsikan prasarana olahraga yang telah menjadi aset/milik pemerintah atau pemerintah daerah tanpa rekomendasi Menteri dan tanpa izin atau persetujuan dari yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Isi dari produk hukum diatas secara sederhana dapat kita artiikan bahwa penggunaan sarana dan prasarana olahraga atau dalam hal ini adalah stadion untuk kegiatan lainnya di luar olahraga diperbolehkan dengan syarat melalui persetujuan dari pemerintah pusat maupun daerah sebagai pemilik asset sarana dan prasarana olahraga tersebut. Dengan kenyataan ini maka kita harus terlebih dahulu sepakat, apa yang dikatakan oleh Bupati Rembang melalui akun twitternya tidak inkonstitusional.
Walaupun, pada akhirnya sang Kepala Daerah memilih untuk melarang adanya konser tersebut, karena undang-undang juga sudah jelas mengamanatkan kepada beliau sebagai Pejabat Tata Usaha Negara yang berwenang untuk mengambil keputusan. Point ini terlebih dahulu saya jabarkan, karena disini penulis ingin memastikan kepada pembaca bahwa tidak ada yang salah secara hukum atas statement yang dikeluarkan oleh Bupati Rembang.
Selanjutnya, jika secara konstitusi posisi Bupati Kabupaten Rembang sudah tepat, lantas apa yang salah sehingga sarana dan prasarana olahraga di Indonesia, khususnya Kabupaten Rembang terkadang bisa beralih fungsi secara tiba-tiba tidak sesuai dengan peruntukannya ? saya berpendapat, runyamnya persoalan ini disebabkan karena Pasal 67 ayat (7) Undang-Undang Sistem Keolahragaan Nasional Nomor 3 Tahun 2005 masih abu-abu, atau dengan kata lain sangat lemah, sehingga tidak sejalan dengan tujuan pemerintah dan masyarakat untuk memajukan olahraga nasional, khsususnya cabang sepakbola.
Pemerintah pusat, melalui lembaga legislatif dan kementrian terkait, seharusnya jeli bahwa permasalahan ini sangat serius apabila tidak segera disikapi dengan baik. Berkali-kali Indonesia mempunyai impian untuk bisa menjadi tuan rumah event-event sepakbola internasional seperti Piala Dunia, Piala Asia, dan lain sebagainya. Namun, asosiasi sepakbola asia dan dunia sendiri juga sudah menerapkan standar tinggi, khususnya dalam hal sarana dan prasarana pendukung bagi negara yang ingin menjadi tuan rumah. Pada akhirnya, banyaknya stadion di Indonesia yang tidak memenuhi syarat menjadi batu sandungan karena dianggap belum mampu menjadi penyelenggara.
Apa yang sekarang dilakukan pemerintah untuk mengatasi solusi tersebut ? kita hanya sibuk membangun stadion baru tetapi mengabaikan upaya perawatannya. Bahkan pembangunan stadion – stadion tersebut mempunyai kesan hanya terkonsentrasi pada daerah-daerah tertentu saja. Akibatnya, pembangunan infrastruktur sarana dan prasarana olahraga menjadi tidak merata, dan hanya dilakukan sesaat jika akan menyambut event besar saja seperti Asian Games yang pada tahun 2018 akan berlangsung di tanah air.
Mempertahankan sembari merawat aset yang sudah ada tentu lebih sulit dibandingkan dengan membangun yang baru. Tetapi mau tidak mau hal itu harus dilakukan. Jika tidak, maka seharusnya pemerintah berani mengakalinya dengan merevisi Undang-Undang Sistem Olahraga Nasional, khususnya dalam Pasal 67 Ayat (7) dengan melarang keras segala bentuk upaya untuk meniadakan dan/atau mengalihfungsikan sarana dan prasarana olahraga yang telah menjadi aset/milik pemerintah atau pemerintah daerah. Jika sudah demikian, maka segala bentuk resiko kerusakan yang diakibatkan oleh kegiatan di luar olahraga mampu ditiadakan.