Mohon tunggu...
Luthfy Avian Ananda
Luthfy Avian Ananda Mohon Tunggu... Penulis - Kuli Tinta

Pernah belajar di Fakultas Hukum UII, Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kartini Masa Kini: Emansipasi, Prestasi, dan Eksploitasi

21 April 2016   09:56 Diperbarui: 21 April 2016   10:09 645
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Peringatan Hari R.A Kartini yang kita akui sebagai pahlawan emansipasi wanita bagi seluruh kaum hawa di Indonesia seharusnya tidak hanya menciptakan suka cita sebagai perwujudan momentum untuk merayakan Hari Kartini saja, tetapi semestinya bersama-sama kita manfaatkan sebagai titik balik yang nyata untuk memberikan penghormatan setinggi-tingginya kepada seluruh wanita Indonesia sebagai bentuk pengakuan seluruh elemen Negara terhadap keberadaan mereka yang saya rasa sejauh ini masih dianggap sebagai teman setia bagi kaum laki-laki atau istilah jawanya konco wingking. Perjuangan R.A Kartini semasa hidupnya harus benar-benar kita pahami sekaligus maknai sebagai sebuah usaha untuk memerdekakan rakyat Indonesia khususnya perempuan.. 

Sejujurnya saya pribadi lebih menyukai bahwa apa yang dilakukan oleh Ibu Kartini tidak hanya diperuntukkan bagi wanita pada umumnya saja, melainkan juga laki-laki sebagai partner terbaik yang memang sudah ditakdirkan tuhan untuk hidup bersama-sama dan berpasang-pasangan selama menghirup udara di dunia. Kartini bisa memberikan perhatian secara khusus kepada kaum hawa karena juga tidak lepas dari perilaku laki-laki atau bahkan sesama wanita yang terkesan tidak menghargai nilai-nilai luhur yang dimiliki Wanita sebagai pemilik surga bagi anak-anaknya.

Kekerasan adalah kata yang erat dengan sebagian besar perempuan yang pernah menjadi korban perbuatan diskriminasi dari orang-orang disekelilingnya. Sudah tidak dapat kita hitung lagi entah berapa kali jumlah kejadian Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang menimbulkan korban jiwa, maupun luka secara fisik dan psikologis yang selalu menempatkan wanita sebagai peran protagonis namun terpojok dalam himpitan kuasa beringas dari oknum-oknum tidak bertanggung jawab. Faktor utama yang menjadi penyebab dari semua itu tentu banyak, salah satu yang paling sering saya temui adalah belum siapnya mental para pasangan suami istri untuk menjalani rumah tangga karena salah satu maupun keduanya memutuskan untuk menikah di usia muda.

Perempuan – perempuan di beberapa daerah tertentu memilih menikah setelah lulus SMA karena alasan tidak punya biaya untuk meneruskan pendidikan tinggi dan berharap ekonomi keluarga bisa lebih baik setelah menerima pinangan dari calon suami yang sudah mempunyai pekerjaan dan penghasilan tetap, apalagi jika setelah berumah tangga sang suami enggan memberikan izin kepada istrinya untuk bekerja atau meneruskan jenjang pendidikan tinggi di tingkat universitas, maka wanita akan semakin terkungkung seakan-akan hanya dimanfaatkan sebagai pesuruh dalam rumah tangga saja. Menikah di usia yang relatif muda tidak ada yang menyalahkan karena hukum di Indonesia memberikan lampu hijau kepada siapapun untuk menikah asalkan telah memenuhi persyaratan umur minimal. Tetapi, jangka panjang pernikahan sepertinya mereka abaikan termasuk kesiapan mental, ego, dan emosional antar pasangan, alih-alih membina rumah tangga yang bahagia, justru para istri terjebak dalam perlakuan semena-mena yang dilakukan oleh suami dan tidak banyak yang berujung pada perceraian, atau kematian.  

Emansipasi dan prestasi merupakan dua hal yang saling berkaitan, karena jika emansipasi wanita sudah benar-benar mampu diterapkan dengan baik, maka prestasi adalah tujuan yang pasti diraih oleh perempuan. Saya sangat sangsi jika emansipasi itu tidak benar-benar ada, maka prestasi juga selamanya belum mampu mengiringi perjalanan hidup para wanita Indonesia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, emansipasi berarti persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, dalam hal ini jika dikaitkan dengan emansipasi wanita, maka makna sesungguhnya adalah persamaan hak antara perempuan dan laki-laki. Hak yang harus disamaratakan tersebut juga multitafsir, bisa berupa hak untuk hidup, hak untuk bekerja, hak untuk memperoleh pendidikan setinggi-tingginya, hak untuk mendapatkan penghasilan yang layak, dan lain sebagainya. Oleh karena itu seandainya di dunia ini persamaan hak tersebut tidak pernah terjadi, maka kita juga tidak mungkin mendengar nama-nama tokoh wanita yang mampu memberikan pengaruh bagi lingkungannya.

Kita semua harus sepakat terlebih dahulu bahwa antara perempuan dan laki-laki wajib mempunyai hak yang sejajar antara satu dengan yang lainnya. Tetapi perlu menjadi peringatan kita semua, bahwa memaknai emansipasi dengan salah kaprah dapat berujung pada eksploitasi terhadap perempuan. Contoh kasus yang nyata terjadi dimana terdapat seorang anak perempuan masih dibawah umur, dipaksa oleh orang tuanya untuk mencari uang sebagai pengemis, pengamen, atau penjual koran di jalanan dengan alasan untuk membantu ekonomi keluarga dan orang tuanya. Membantu orang tua boleh-boleh saja, tetapi ironisnya justru ayah dan ibu si anak tersebut hanya menunggu setoran uang dari sang anak di rumah tanpa melakukan apapun. Contoh lainnya terjadi ketika seorang suami menjadi pengangguran, kemudian segala biaya hidupnya ia gantungkan kepada sang istri yang bekerja keras mencari nafkah di luar rumah. Dua kasus diatas tentu merupakan praktik emansipasi yang sangat salah kaprah sehingga pada akhirnya yang didapatkan oleh wanita-wanita malang tersebut adalah eksploitasi modern berkedok emansipasi.

Bayangkan saja jika wanita masa kini kehidupannya masih sama dengan zaman RA Kartini dulu, ketika masih banyak yang mengabaikan tingkat pendidikan tinggi di kursi perguruan tinggi dan memilih untuk menikah dengan modus meningkatkan taraf hidup dan ekonomi keluarga. Dengan jenjang pendidikan dan pengetahuan yang sangat rendah seakan-akan perempuan selalu dalam kondisi terkungkung ditengah-tengah ketidaktahuan untuk melakukan apa dan bagaimana ketika dirinya sendiri tengah dalam ancaman pelecehan dan tindakan amoral lainnya. Kaum Hawa selalu diidentikkan dengan kelompok manusia yang berbeda dengan kaum adam, selain perbedaan kelamin tentunya. Anggapan itu mulai muncul sejak para perempuan lebih dominan untuk duduk manis di dalam rumah dengan batasan-batasan yang sangat ketat sehingga tidak bisa mengembangkan potensi dalam diri mereka yang sebenarnya cukup banyak.

Pada akhirnya tradisi kuno semacam itu membuat para wanita khususnya pada zaman dahulu mempunyai kesan primitif, tidak tahu apa-apa selain urusan rumah tangganya. Laki-laki kala itu yang sudah hidup dalam rumah tangga bisa bebas melakukan apapun sesuka hatinya di luar rumah, termasuk mengenyam pendidikan maupun karir setinggi-tingginya, sedangkan wanita seakan-akan diharamkan untuk keluar rumah mengurus hal lain diluar urusan rumah tangga yang sudah menjadi rutinitas wajib setiap harinya. Alhasil pikiran mereka sama sekali tidak berkembang sedikitpun, diperlakukan seenaknya oleh para suaminya meskipun tidak semua perempuan zaman dahulu mengalami fase kehidupan yang memprihatinkan seperti itu.

Dalam kondisi seperti ini negara perlu sesegera mungkin untuk hadir dengan cara meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakatnya dan memberikan perlindungan hukum yang mampu mengayomi kaum hawa, karena kebanyakan kasus yang berhubungan secara langsung dengan tindakan eksploitasi terhadap perempuan memang terjadi karena faktor kondisi sosial dan ekonomi warga negara Indonesia yang tidak stabil, sehingga terpaksa melakukan hal-hal yang justru merugikan para wanita. Selain itu, penegakan hukum yang sering tumpang tindih dan cenderung tumpul terhadap pelaku eksploitasi dan diskriminasi terhadap perempuan membuat angka korban-korban perilaku diskriminatif ini belum mampu ditekan secara maksimal.

Dunia melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa ( PBB ) telah sepakat untuk menghapus segala perlakuan diskriminasi terhadap perempuan dengan mengeluarkan Deklarasi Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan, yang memuat hak dan kewajiban berdasarkan persamaan hak dengan laki-laki. Komisi PBB tentang kedudukan perempuan kemudian menyusun rancangan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women – CEDAW), tepat pada tanggal 18 Desember 1979, Majelis Umum PBB menyetujui konvensi tersebut. Karena dinilai tidak bertentangan dengan Pancasila maupun Undang-Undang Dasar 1945, maka Pemerintah Republik Indonesia turut menandatangani konvensi tersebut dan kemudian diratifikasi dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.

Realita di atas membuktikan bahwa negara sebenarnya sudah mempunyai komitmen penuh untuk memerangi segala bentuk diskriminasi terhadap wanita dengan memberikan perlindungan hukum sebesar-besarnya, tetapi tentu perlindungan tersebut tidak akan berarti apa-apa jika penegakan hukumnya sendiri juga masih angin-anginan. Padahal dalam ranah Hukum Pidana pun secara umum sebenarnya sudah ada produk hukum yang mengatur segala ketentuannya, yakni melalui Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan secara khusus dapat kita temukan di Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Senjatanya dalam bentuk Undang-Undang yang kemudian berlaku menjadi sebuah hukum positif sebenarnya sudah ada, sekarang tinggal bagaimana aparat penegak hukum yang ada di Indonesia menggunakannya sehingga dapat menjerat pelaku tindakan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan secara tegas dan mengikat, serta mampu memberikan efek jera.

Saya sendiri kebetulan hidup dan dibesarkan oleh keluarga tidak mempunyai aturan atau ketentuan tertentu yang melarang seorang perempuan yang sudah mempunyai status sebagai ibu rumah tangga untuk keluar mengenyam pendidikan ataupun berkegiatan positif lainnya termasuk bekerja meskipun suami mereka juga sudah mempunyai pekerjaan yang tetap. Dalam kehidupan keluarga besar saya bahkan dianjurkan agar suami istri kalau bisa harus sama-sama mempunyai pekerjaan di luar rumah berapapun pendapatannya dan apapun pekerjaannya selama itu halal dan bisa berdampak baik bagi kehidupan rumah tangga. Kebiasaan ini menurut hemat saya juga sangat baik dan mendidik karena hal itu merupakan wujud nyata bahwa cita-cita dari pahlawan emansipasi wanita yang perjuangannya sama-sama kita bahas dalam tulisan ini benar-benar sudah direalisasikan oleh kaum perempuan masa kini. Kesadaran untuk menuntut ilmu di jenjang pendidikan tinggi dan berkarir sudah cukup tinggi khususnya di Indonesia. Pada tingkat pemerintahan, baik eksekutif maupun legislatif sudah cukup banyak kita temui tokoh-tokoh wakil kaum perempuan Indonesia yang menduduki jabatan strategis.

Demi mencapai harapan agar perempuan Indonesia punya tempat untuk ikut berpartisipasi dalam pengambilan berbagai kebijakan publik di lembaga legislatif, maka dibuatlah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif yang memerintahkan partai politik untu memberikan kuota minimal 30 persen perempuan dalam daftar calon anggota legislatif, penerapan Undang-Undang tersebut sudah mulai berlaku sejak Pemilihan Umum Tahun 2014 yang lalu. Meskipun secara umum dalam praktiknya belum berjalan secara maksimal, tetapi keberadaan produk hukum tersebut telah mampu memberikan kepastian bahwa suara perempuan tetap dibutuhkan oleh negara, sehingga tidak hanya kutipan “di balik laki-laki yang sukses, selalu ada wanita hebat” saja yang berlaku, tetapi juga “di balik negara yang maju, terdapat perempuan-perempuan terbaik yang mampu memberikan sumbangsih nyata bagi Republik Indonesia”. Keterwakilan kaum hawa di jajaran kursi pemerintahan dalam negeri memberikan angin segar bagi mereka semua yang selama ini menjadi pihak yang paling dominan mendapatkan perlakuan yang sangat diskriminatif, sekaligus membuktikan bahwa emansipasi wanita itu tidak hanya berhenti pada cita-cita semata, namun telah terwujud dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Susi Pudjiastuti adalah superwoman di bidang kelautan Indonesia saat ini, oleh karena itu beliau sukses mendapatkan amanah mulia dari Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo untuk duduk di posisi Menteri Kelautan dan Perikanan. Dalam lingkup parlemen kita sudah sama-sama tahu bahwa Rieke Diah Pitaloka, mantan artis yang pernah berperan menjadi ‘Oneng’ dalam acara sitkom pada sebuah stasiun televisi swasta adalah tokoh yang sangat vokal dalam menyuarakan aspirasi publik, menjadi oase sekaligus srikandi yang menyelamatkan kondisi sosial dan psikologis wanita tanah air yang sempat lama mengalami masa-masa sulit. Bidang hukum melalui salah satu lembaga negara yang sejauh ini cukup ‘galak’ terhadap para koruptor, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi juga memberikan kepercayaan kepada Basaria Panjaitan untuk menempati posisi sebagai Wakil Ketua sekaligus satu-satunya perempuan dalam daftar nama pimpinan KPK saat ini.

Prestasi tokoh-tokoh di atas hanya mewakili sedikit dari sekian banyak wanita ibu pertiwi yang mempunyai prestasi cukup mentereng, di luar sana, mungkin termasuk mereka yang sama sekali belum disentuh oleh media sehingga tidak banyak orang yang tahu pasti juga jauh lebih berlipat ganda nama-nama yang mempunyai prestasi pada bidangnya masing-masing. Sekali lagi, citra wanita pada masa kini tidaklah seperti dulu, mereka adalah sosok-sosok cerdas yang juga menjadi penentu arah bangsa di masa mendatang, selain sudah dikodratkan untuk mendidik anak menjadi generasi penerus bangsa, mereka juga mampu melakukan action tersendiri minimal untuk meningkatkan potensi dalam diri sehingga tidak hanya pandai urusan dapur dan rumah tangga saja, tetapi juga pendidikan, dan karir. Semoga peringatan Hari Kartini Tahun 2016 ini dan pada masa-masa yang akan datang tidak hanya berhenti pada moment perayaannya saja, tetapi juga langkah baru untuk membuka lembaran kehidupan wanita Indonesia yang lebih baik.

[caption caption="Sumber Foto: en.wikipedia.org/wiki/Kartini"][/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun