[caption caption="Sumber Foto : cnnindonesia.com"][/caption]Pilkada di Ibu Kota Negara tinggal menghitung bulan saja, para calon gubernur yang berniat untuk habis-habisan bertarung pada ajang kompetisi demokrasi lima tahunan itu sudah tidak sungkan-sungkan lagi mendeklarasikan diri di hadapan publik, baik mereka yang sudah resmi diusung oleh partai politik, maupun yang sama sekali belum mendapatkan “lamaran” dari bendera manapun. Berbicara mengenai partai politik pengusung yang juga menjadi penentu siapa saja calon yang memastikan diri untuk maju pada pemilihan gubernur DKI Jakarta nantinya tidak lepas dari sebuah proses yang bernama penjaringan, karena tahapan inilah yang akan menilai siap atau tidaknya seseorang untuk diusung menjadi calon kepala daerah di tanah betawi.
Saat ini praktis hanya petahana Basuki Tjahaja Purnama yang sudah memastikan diri maju melalui jalur independen dan didukung oleh relawan yang menamakan diri “Teman Ahok”, sedangkan tokoh nasional lainnya seperti Adhyaksa Dault, Sandiaga Uno, Yusril Ihza Mahendra, dll secara tersirat memang telah menyatakan ikut berkompetisi, namun belum resmi secara tersurat karena pada kenyataannya masih menunggu pinangan dari beberapa partai politik besar yang resmi terdaftar di Indonesia. Keputusan Ahok untuk mengajukan diri melalui jalur independen sebenarnya bukanlah sesuatu yang mudah meskipun sudah mendapatkan dukungan dari relawan dan mayoritas masyarakat DKI Jakarta, sebelumnya sang incumbent dihadapkan pada dua pilihan yang cukup sulit, antara memilih untuk berjuang bersama partai politik, atau menerima “tumpangan” dari Teman Ahok. Setelah memastikan diri memilih jalan perseorangan, mantan Wakil Gubernur pada era kepemimpinan Joko Widodo itu masih dipaksa untuk menerima respon besar dari berbagai pihak baik yang pro maupun kontra atas sikap yang diambilnya, hal itu tidak lepas dari petinggi partai politik yang berasumsi sang Gubernur mengesampingkan peran partai dalam sistem demokrasi di Indonesia akibat dari keputusannya untuk memilih jalur independen, sehingga kemudian muncul istilah deparpolisasi.
Istilah deparpolisasi pada dasarnya bermakna tindakan atau upaya untuk mengurangi atau bahkan menolak keberadaan partai politik dalam tatanan demokrasi sebuah negara khususnya Indonesia. Anggapan adanya upaya deparpolisasi terkait sikap Ahok dalam langkahnya untuk meraih kursi DKI 1 menurut pendapat saya sebagai penulis terlalu didramatisir oleh beberapa pihak, karena yang terjadi memang tidak demikian. Secara singkat proses yang saya ikuti melalui media bahwa Ahok memang memutuskan untuk bergabung dengan relawan-relawan “teman ahok” lantaran tidak ingin mengecewakan anak-anak muda yang sudah mati-matian berjuang untuk memenangkannya dan masyarakat yang sudah mengumpulkan KTP sebagai bentuk dukungan terhadap mantan anggota DPR RI tersebut. Sikap yang ditunjukkan oleh beliau secara tidak langsung juga memberikan suatu pesan bahwa jika kembali mendapatkan mandat untuk memimpin Ibu Kota Negara, ia tidak ingin ada terlalu banyak kepentingan yang harus diakomodir, khususnya kepentingan partai beserta petingginya yang berpotensi untuk mengganggu kinerja dan pelayanannya kepada masyarakat DKI Jakarta. Sudah menjadi kewajiban pemimpin dimanapun harus mendahulukan kepentingan rakyat dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai seorang kepala daerah.
Partai politik di negara-negara seluruh dunia termasuk Indonesia memang sangat berperan besar dalam menunjang jalannya roda demokrasi dan pemerintahan, namun khusus untuk Indonesia, ada hal-hal tertentu yang harus kita cermati bersama sehingga bisa menjadi pelajaran agar di kemudian hari partai politik yang resmi terdaftar di dalam negeri tetap konsisten dengan kredibilitas dan kompetensi yang tinggi di mata masyarakat sehingga mampu menekan angka golput dan isu deparpolisasi yang pada kenyataannya memang di masa sekarang belum benar-benar ada namun tetap tidak menutup kemungkinan terjadi jika parpol menutup diri untuk melakukan pembenahan. Hal pertama yang menjadi masalah ialah tidak jelasnya mekanisme penjaringan calon kepala daerah yang dilakukan oleh partai politik, selama ini seluruh masyarakat pasti tahu bahwa ada prosedur yang harus dilewati oleh seorang calon sebelum direstui mewakili partai untuk ikut pilkada, namun sayangnya prosedur yang ada tidak dilaksanakan secara transparan, sehingga publik sebagai pemilik suara tidak bisa ikut menilai pantas atau tidaknya seseorang maju menjadi calon kepala daerah.
Banyak kejadian nyata dari pengamatan yang saya ambil di kampung halaman saya, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, saat ada pemilihan Bupati Desember tahun lalu, ada beberapa calon pemimpin yang sama sekali tidak dikenal oleh masyarakat karena track recordnya sama sekali tidak terlacak oleh radar publik, kasus seperti itu sangat memicu terjadinya money politic karena pada akhirnya masyarakat merasa sudah kehabisan waktu untuk menilai dan sangat mudah untuk dipengaruhi dengan uang demi mencoblos calon tertentu tanpa mengetahui rekam jejaknya.
Mekanisme penjaringan calon kepala daerah yang dilaksanakan oleh partai masih syarat akan deal-deal politik tertentu atau yang biasa kita kenal dengan istilah politik transaksional. Negosiasi politik dalam proses penjaringan semacam itu tidak ada yang bisa menjamin apakah mereka melibatkan kepentingan rakyat atau bahkan tidak sama sekali, belum lagi jika kesepakatan yang terjadi antara partai politik dengan sang calon kepala daerah berkaitan erat dengan “mahar” yang berbentuk materi. Pilihan Ahok untuk bertarung melalui jalur independen adalah sesuatu yang bijak dan pantas untuk kita acungi jempol, karena di tengah ketidakjelasan kinerja dan posisi partai politik dalam demokrasi di Indonesia beliau melakukan sebuah revolusi politik yang bertujuan untuk menghindari cara main kotor yang biasa dilakukan oleh beberapa partai sehingga jika terpilih nantinya bisa memaksimalkan kinerja untuk kepentingan masyarakat.
Point selanjutnya yang menjadi pemicu hambatan partai dalam mendukung demokrasi yang baik dan bersih di Indonesia adalah salah kaprahnya proses kaderisasi dalam internal partai politik. Selama ini kita mengenal adanya istilah kaderisasi yang dilakukan untuk menyiapkan sosok-sosok unggul dalam organisasi partai politik demi mempersiapkan pemimpin bangsa di masa depan. Kaderisasi seharusnya bersifat memberikan pendidikan politik kepada sumber daya manusia yang ada di internal secara matang, namun yang dijalankan selama ini justru hasilnya setengah matang, karena buktinya cukup banyak hasil tangkapan KPK yang berasal dari elemen partai politik, kasus lainnya adalah asusila, maupun Kekerasan Dalam Rumah Tangga ( KDRT ) yang sampai saat ini masih hangat di pendengaran kita semua. Fakta tersebut jelas menggambarkan bahwa masih ada yang salah dalam sistem kaderisasi partai politik di dalam negeri, bagaimana mungkin tradisi kaderisasi tersebut justru menghasilkan oknum-oknum yang bobrok secara moral, etika, dan kompetensi seperti yang sering kita saksikan di berbagai pemberitaan. Banyaknya calon kepala daerah yang terpilih dari jalur independen dalam Pilkada serentak beberapa waktu yang lalu harus menjadi ajang introspeksi bagi seluruh partai politik agar memperbaiki hukum acara mereka dalam melaksanakan mekanisme penjaringan calon dan kaderisasi yang baik serta transparan sehingga dapat melibatkan masyarakat sebagai pemilih tetap.
KPU sebagai penyelenggara pemilu di Indonesia telah memberikan ketentuan bahwa seorang calon kepala daerah dapat maju melalui jalur independen atau perseorangan, merujuk pada Pasal 41 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Kepala Daerah dimana syarat yang harus dipenuhi adalah mengumpulkan suara sebanyak 7,5 persen dari jumlah Daftar Pemilih Tetap ( DPT ) yang dibuktikan melalui pengumpulan KTP, kemudian setelah memenuhi syarat jumlah dukungan, Ahok bersama pasangannya harus menyerahkan ke KPUD DKI Jakarta untuk dilakukan verifikasi demi memeriksa sah atau tidaknya persyaratan jumlah dukungan, setelah dinyatakan sah maka diperbolehkan untuk mendaftarkan diri bersama calon gubernur dan wakil gubernur lainnya pada Oktober 2016 mendatang.
Ketentuan KPU yang memberikan kebebasan seseorang untuk memilih jalur perseorangan atau partai pada saat mencalonkan diri menjadi kepala daerah ini tentu menjadi dasar hukum yang jelas bahwa adanya jalur independen bukan suatu bentuk untuk meremehkan peran partai politik sebagai salah satu unsur demokrasi di Indonesia. Hal ini justru menjadi angin segar dan era baru bagi kehidupan demokrasi yang ada dan sudah berjalan sejak lama, karena budaya untuk menjalankan proses secara demokratis yang berasaskan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat bisa terwujud secara utuh. Terkadang hasil dari tahap penjaringan, seleksi maupun istilah lainnya yang digunakan partai untuk mencari sosok tepat demi memimpin sebuah daerah tidak sejalan dengan kehendak rakyat yang murni lahir dari hati nurani mereka.
Adanya ketentuan secara hukum yang memperbolehkan jalur perseorangan untuk mencalonkan diri harus dimaknai sebagai era baru wajah politik dan demokrasi di Indonesia yang selama ini selalu hidup dalam bayang-bayang isu korupsi kolusi dan nepotisme. Rakyat yang selama ini sama sekali tidak dilibatkan dalam proses penjaringan calon kepala daerah oleh partai politik bisa mengalihkan perhatian kepada calon dari jalur independen yang notabene penilaian pantas atau tidaknya menjadi kepala daerah ditentukan langsung oleh rakyat dalam bentuk pengumpulan KTP dukungan, sehingga jika jumlah KTP yang terkumpul tidak memenuhi syarat yang ditentukan oleh KPU, maka sang calon kepala daerah juga tidak mungkin bisa mencalonkan diri di kontes pemilu. Opsi jalur independen yang sama sekali tidak melibatkan partai politik ini membuka celah fleksibilitas tersendiri karena baik rakyat maupun sang calon kepala daerah bebas memilih dengan syarat memenuhi aturan yang sudah ditetapkan oleh undang-undang.
Kemerdekaan jalur independen diyakini akan terus terjaga karena selalu ada rakyat di belakang mereka, namun kedamaian itu bisa saja diganggu dengan kebiasaan diskriminasi oleh kader partai politik, khususnya yang menduduki kursi di lembaga legislatif terhadap kepala daerah yang terpilih melalui jalur perseorangan. Berbagai bentuk diskriminasi itu antara lain adalah sulitnya kepala daerah mengambil suatu kebijakan yang harus melalui koordinasi bersama dengan DPRD. Sampai saat ini saya sendiri masih bertanya-tanya apa yang membuat kepala daerah dari jalur perseorangan terkesan sangat dibenci oleh kader dan petinggi partai politik, tapi satu hal yang saya yakini kemungkinan besar alasannya adalah mereka menganggap bahwa opsi jalur independen merupakan sebuah pilihan untuk membenci keberadaan partai politik di Republik Indonesia.
Padahal yang terjadi sebenarnya bukan demikian, menurut kacamata saya pribadi, jika seseorang mengambil sikap untuk maju mengikuti kompetisi pemilihan kepala daerah melalui jalur independen di tengah suasana politik dan demokrasi di Indonesia yang tidak menentu seperti sekarang ini, maka hal itu bukan karena wujud rasa benci mereka terhadap keberadaan partai politik, tetapi bentuk protes mereka terhadap bobroknya sistem yang berjalan dalam internal partai politik. Jalan keluar terbaik untuk menjaga keharmonisan antara kepala daerah dengan lembaga legislatif yang dihuni oleh Sumber Daya Manusia dari partai politik adalah menjalankan komunikasi secara intens dan hangat yang dibalut dengan kentalnya kepentingan rakyat sebagai raja dari segala raja. Meskipun belum ada jaminan seratus persen akan keberhasilannya, namun paling tidak antara anggota dewan yang terhormat dengan kepala daerah tetap terwujud adanya koordinasi yang berpengaruh pada maksimalnya kinerja serta pengambilan kebijakan yang bersifat kerakyatan.
Salah besar apabila pihak-pihak tertentu termasuk oknum kader parpol maupun sesama peserta Pilkada DKI Jakarta nanti berusaha saling jegal dengan cara kampanye hitam menggunakan isu SARA, itu semua menunjukkan degradasi moral dan minimnya kedewasaan politik. Seharusnya senjata yang digunakan untuk perang merebut kursi kepala daerah adalah intelektual, berkompetisi secara cerdas sebagaimana mestinya. Masyarakat kita sekarang sudah semakin pandai dengan dunia yang juga lebih terbuka, sehingga jika seandainya para calon salah strategi satu langkah pun, maka hukuman telak yang akan diterima mereka adalah merosotnya survei yang bermuara pada berkurangnya jumlah suara dan kekalahan dalam kompetisi yang sesungguhnya. Di zaman yang sudah sangat global ini segala tindakan diskriminasi terkait dengan SARA tidak akan mendapatkan tempat di belahan dunia manapun, maka sangat tidak gentleman apabila cara tersebut digunakan sebagai amunisi untuk mengejar kejayaan di Pemilu.
Jalur independen maupun partai politik tidak ada salahnya, kita pun sebagai masyarakat yang memiliki suara juga tidak berdosa jika memilih salah satu dari kedua opsi tersebut, justru akan menjadi dosa besar jika sama sekali tidak menentukan pilihan karena hal itu berarti golput. Perlu menjadi perhatian bahwa seluruh stakeholder dalam sistem politik dan demokrasi di Indonesia harus bersama-sama berbenah, partai politik wajib untuk melakukan koreksi besar-besaran terhadap mekanisme penjaringan, kaderisasi dan kinerjanya di dalam negeri. Calon kepala daerah yang berniat untuk ikut meramaikan Pilkada serentak juga dituntut mempersiapkan diri semaksimal mungkin baik secara kompetensi, kredibilitas, etika, moral, dan unsur lain yang sangat mendukung etos kerjanya jika terpilih. Rakyat sebagai pemilih tetap sudah seharusnya mulai memperkaya diri dengan pendidikan politik yang lebih baik sehingga siap secara mental dan fisik untuk menentukan pilihan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H