Padahal yang terjadi sebenarnya bukan demikian, menurut kacamata saya pribadi, jika seseorang mengambil sikap untuk maju mengikuti kompetisi pemilihan kepala daerah melalui jalur independen di tengah suasana politik dan demokrasi di Indonesia yang tidak menentu seperti sekarang ini, maka hal itu bukan karena wujud rasa benci mereka terhadap keberadaan partai politik, tetapi bentuk protes mereka terhadap bobroknya sistem yang berjalan dalam internal partai politik. Jalan keluar terbaik untuk menjaga keharmonisan antara kepala daerah dengan lembaga legislatif yang dihuni oleh Sumber Daya Manusia dari partai politik adalah menjalankan komunikasi secara intens dan hangat yang dibalut dengan kentalnya kepentingan rakyat sebagai raja dari segala raja. Meskipun belum ada jaminan seratus persen akan keberhasilannya, namun paling tidak antara anggota dewan yang terhormat dengan kepala daerah tetap terwujud adanya koordinasi yang berpengaruh pada maksimalnya kinerja serta pengambilan kebijakan yang bersifat kerakyatan.
Salah besar apabila pihak-pihak tertentu termasuk oknum kader parpol maupun sesama peserta Pilkada DKI Jakarta nanti berusaha saling jegal dengan cara kampanye hitam menggunakan isu SARA, itu semua menunjukkan degradasi moral dan minimnya kedewasaan politik. Seharusnya senjata yang digunakan untuk perang merebut kursi kepala daerah adalah intelektual, berkompetisi secara cerdas sebagaimana mestinya. Masyarakat kita sekarang sudah semakin pandai dengan dunia yang juga lebih terbuka, sehingga jika seandainya para calon salah strategi satu langkah pun, maka hukuman telak yang akan diterima mereka adalah merosotnya survei yang bermuara pada berkurangnya jumlah suara dan kekalahan dalam kompetisi yang sesungguhnya. Di zaman yang sudah sangat global ini segala tindakan diskriminasi terkait dengan SARA tidak akan mendapatkan tempat di belahan dunia manapun, maka sangat tidak gentleman apabila cara tersebut digunakan sebagai amunisi untuk mengejar kejayaan di Pemilu.
Jalur independen maupun partai politik tidak ada salahnya, kita pun sebagai masyarakat yang memiliki suara juga tidak berdosa jika memilih salah satu dari kedua opsi tersebut, justru akan menjadi dosa besar jika sama sekali tidak menentukan pilihan karena hal itu berarti golput. Perlu menjadi perhatian bahwa seluruh stakeholder dalam sistem politik dan demokrasi di Indonesia harus bersama-sama berbenah, partai politik wajib untuk melakukan koreksi besar-besaran terhadap mekanisme penjaringan, kaderisasi dan kinerjanya di dalam negeri. Calon kepala daerah yang berniat untuk ikut meramaikan Pilkada serentak juga dituntut mempersiapkan diri semaksimal mungkin baik secara kompetensi, kredibilitas, etika, moral, dan unsur lain yang sangat mendukung etos kerjanya jika terpilih. Rakyat sebagai pemilih tetap sudah seharusnya mulai memperkaya diri dengan pendidikan politik yang lebih baik sehingga siap secara mental dan fisik untuk menentukan pilihan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H