Mohon tunggu...
Luthfi Zaennuri
Luthfi Zaennuri Mohon Tunggu... Buruh - Karyawan Swasta

Karyawan Swasta , Freelancer, Wirausahawan. Hobi nulis / ngetik cerita disela waktu

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Balada Pengendara Motor Pejuang Nafkah Semarang-Mranggen

11 Juli 2024   15:51 Diperbarui: 11 Juli 2024   15:56 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya adalah seorang karyawan swasta dan freelancer. Setiap hari saya berangkat ngantor dan mengirim pesanan COD mengendarai motor Supra Bapak batok kepala getar, diatas medan jalan kota Semarang yang tambal sulam dan sesekali berlubang, tak terkecuali area Kota Lama yang jalanannya masih menggunakan blok paving, yang benar-benar menggetarkan jiwa raga. 

Betapa tidak, tiap kali melewati area Kota Lama, selalu miris membayangkan body motor yang bergetar hebat dan shock breaker yang rawan cepat aus. Sebelum saya menikah dan pindah domisili, rute yang saya lewati masih terbilang dekat menuju kantor di Semarang Timur.

blog.tripcetera.com
blog.tripcetera.com

Saya termasuk orang yang sering mengeluh karena rumah saya menuju tempat kerja berseberangan dengan rel kereta, jadi saya merasa cukup malas jika ada kereta melintas di kawasan stasiun Poncol dan Tawang. 

Terkadang kereta masih jauh, atau bahkan dua kali melintas, juga kereta kargo pengangkut barang dengan gerbong yang super panjang, atau terkadang yang berhenti di depan palang pintu, sungguh menguji kesabaran.

Ada 3 opsi jalan menuju kantor:

1. Jalur tercepat sekaligus medan jalan yang paling gronjalan. Jalur belakang melewati pasar Perbalan, kampung Arab, Kakap-Petek-Layur langsung tembus area stasiun Tawang dan Bubakan, lanjut saja lewat Jalan Dr. Cipto.

2. Jalur menengah medan jalan halus tapi agak macet. Melewati depan stasiun Poncol, yang tentu saja dipadati para pemudik dan ojek online, sampai ujung titik nol Pos Indonesia, melipir menyeberang masuk area pasar Johar, yang tentunya dipadati pedagang dan area parkir berjejer. Jalan terus masuk Bubakan dan masuk Dr. Cipto.

3. Jalur terpanjang, terlama dan medan jalan paling halus. Melewati perkotaan, dari stasiun Poncol, melipir ke kanan di Jl. Tanjung tembus di area Mall Paragon, disinilah persimpangan terbanyak, lampu lalin terlama salah satunya di Semarang. Apalagi jika masuk siang lewat sini...beuhh panas teriknya, jiwa terasa berontak !! berderet dan berjilid lampu lalin dilewati. Lalin Gajahmada-MT. Haryono-Kartini.

Pulang jam 5 sore, sungguh terasa senja Semarang kota yang teduh. Jalur paling diminati justru lewat kampung Kali dan Gajahmada, tembus stasiun Poncol. Saya tidak suka lewat area johar di sore hari, selain karena tak ada akses menuju Johar, bundaran Bubakan sudah tertutup, jalan Pattimura juga dibuat satu arah, lewat kota lama pun juga sangat malas, sore hari adalah waktu paling ramai pelancong disana.

Jalan Satu Arah. Adalah sistem dan kebijakan yang sangat saya benci di kota ini, karena mungkin bagi pebisnis, potensi pengunjug jadi berkurang, akses jalan harus memutar jauh. Dan bagi pelancong, juga sangat sulit mengarahkan, kebablasan sedikit, putar jauh lewat kampung pecinan yang sempit dan juga satu arah...hadeeh..

idntimes.com
idntimes.com

Pesona kampung pecinan tak lekang oleh jaman. Menyatu dengan kawasan pasar Johar, area wisata dan bisnis paling padat berbarengan dengan rombongan pedagang, angkutan barang, truk besar, mobil-mobil encik dan kokoh berdesakan memadati jalan kecil. 

Pemandangan khas chinese 90an, deretan ruko dan toko bahan langgananku, klenteng, bimbel, dan resto chinese legendaris, semua ada disini. Tugu di persimpangan pos polisi dan klenteng biasanya terpasang karya patung yang merepresentasikan sosok simbolis tahun-tahun chinese. 

Kota Semarang memang terkenal dengan etnis yang beragam, dari etnis Jawa, Arab dan Chinese, mereka pendatang dan hidup turun temurun disini, makanya di kota Semarang ada sosok simbolis Warak Ngendog, menurut salah satu keterangan, sosok hewan tersebut merepresentasikan masyarakat kota Semarang. 

Kepala naga simbol warga China, leher panjang dan punuk unta simbol warga Arab dan badan kambing simbol warga Jawa, semuanya hidup berdampingan di Semarang.

Itulah sekilas rutinitas saya yang masih tinggal di Semarang Utara, jarak tempuh masih dekat dan pesona kota lama dengan jalan gronjalannya...

Setelah saya menikah, saya pindah domisili di Mranggen, Kabupaten Demak...

indo1.id
indo1.id

Disinilah dahulu saya merantau mondok di sebuah Pondok Pesantren. Saya mendapatkan jodoh saya disini, dan akhirnya tinggal di rumah mertua. Saya sedikit bersyukur sudah terbebas dari palang kereta yang cukup makan waktu. Dan apakah setelah pindah, perjalanan saya semakin nyaman?

Enggak juga!!...uwaaahhh...bisa anda saksikan dan rasakan, jejeran truk pasir, bus Patas, bus Trans bak cumi darat jelaga emisi dari knalpot, jam jam ramai pekerja pabrik, anak sekolah dan kantoran tiap pagi dan sore. Padat merayap, berjejalan di depan pasar Mranggen. Tanpa lampu lalu lintas kemacetam parah di persimpangan jalan kauman dan jalan raya.

Pesona kampung Mranggen...dijuluki kota santri, kota para Kyai, juga kota pecel. Mranggen...kawasan yang tanggung, Demak segan, Semarang tak mau, paket selalu nyasar Kudus-Pati dulu. 

Desa Bandungrejo abadi, jalan aspal sangat terjal tambalan kasar, bersama istri saya yang sedang hamil melaju pelan bersama motor dan truk ugal-ugalan, dalam hati saya sangat marah!! pembangunan jalan cor terputus begitu saja di depan SPBU, abadi bertahun-tahun jalan aspal hanya ditambal kasar, sungguh miris. 

Sedangkan pembangunan jalan hanya giat pada jalur pantura dan Jl. Majapahit arah pintu Tol Pantura...harusnya yang dibangun disini woy...batinku, bukan malah jalan raya masih mulus malah dibongkar...hhhh...

Selain pesona Bandungrejo ada juga pesona simpangan Fatmawati. Duhai sebuah persimpangan dengan lampu lalin GANDA!! antrian panjang, padang nan gersang lagi terik, persimpangan menuju Pedurungan Kidul, Jalan Majapahit, Soekarno Hatta. Disini saya sangat berharap kiranya bisa dibangun fly over sehingga bisa mengurangi antrian.

Tiap saya berangkat kerja, saya tidak pernah lewat jalan Bandungrejo, saya lewat belakang Rs. Pelita yang sepi  dan lebih cepat. Setelah pindah, rute saya berubah, sebenarnya tinggal lurus saja, tapi agak jauh. Ada beberapa jalur...

1. Jalur Majapahit. Jalur yang paling nyaman tinggal lurus saja, tapi agak banyak lampu lalin, juga minus nya jika ada garapan jalan raya, antrian masuk tol dan musim mudik...beuhh itu paling capek saat macet-macetan dengan para pemudik. Juga yang agak menyebalkan, lampu lalin yang agak aneh di simpangan ruko dan kampung kecil...apaansih...pikirku, bagaimana bisa kampung kecil dapat fasilitas ini ? oh rupanya itu kampung privilege, milik salah satu sponsor, disaat tempat lain sangat susah akses keluar masuk, harus muter-muter dulu, hanya tempat ini saja yang dapat fasilitas...

2. Jalur Arteri Soekarno Hatta. Jalur yang minim lampu lalin, tapi sekali sampai di simpangan Tlogosari...sungguh terasa sumpek padat merayap, apalagi lanjut ke Medoho dan Jl. Gajah....di area ini juga saya berharap bisa dibangun fly over.

3. Jalur Kedungmundu, jalur darurat menghindari banjir dan macet. Disini jalur yang langsung tembus Fatmawati dan jika ingin lewat belakang daerah klipang dan Pucang Gading dalam.

Pulang, sejak saya pindah, jalur yang saya lalui selalu membelakangi matahari, seperti biasa saya selalu pilih jalur Majapahit saat pulang, meski agak macet tapi cukup lancar, tidak seperti jalur Gajah raya-Medoho dan macet di simpang Tlogosari. Itu pada cuaca yang cerah. Tapi saat hujan, apalagi hujan musiman Semarang yang sangat lebat, saya akan ambil jalur atas di Kedungmundu. 

Tapi kala itu, suasana awal Ramadhan yang sibuk, macet parah, semua jalur dipadati pemudik, dan hujan badai memperparah situasi. Semula aku lewat jalur Majapahit, tapi dari tepi sungai Banjir Kanal Jl. Barito saja sudah penuh sesak, ah...mundur dulu, cari warung dulu buat buka, di depan Indomaret aku lihat maps, mamantau lalu lintas, akhirnya aku putuskan lewat arteri Soetta saja. 

Dari tepi sungai Citarum saja sudah terseok-seok banjir, ditambah listrik padam dan gelap menyelimuti, ditambah pula terowongan di bawah jalan tol, aku lupa disitu langganan banjir juga, semua sepeda motor lewat di tepian trotoar, maghrib sudah terlewat agak lama, aku sholat maghrib dulu di masjid simpang Tlogosari, ditengah hujan dan macet akhirnya sampai juga di rumah. Lega...baru bisa makan besar dan minum sepuasnya. Tepat saat akan tidur, rupanya, masalah belum selesai, setelah selamat dari jalanan, desss...banjir brutal...

radarmagelang.jawapos.com
radarmagelang.jawapos.com

Mulanya ada bercak air, rembes dari kamar mandi, istriku menyuruh menutup dan pel, seketika Bapak mertua menyahut, "jangan, gausah, percuma...buruan angkat kasur, angkut baju, rembes, banjir!" Duhai hari pertama Ramadhan yang menyedihkan...T-T. Status WhatsApp dipenuhi postingan banjir bandang, bahkan tetangga belakang rumah terdampak sampai sedengkul...area Mranggen habis terendam banjir, dan benar saja banjir setinggi mata kaki sudah menguasai dapur dan kamarku, tak pelak Semarang...Tawang, Bubakan, Pantura, Tlogosari juga parah...sepanjang malam aku berdoa "sampun Ya Allah..sampun..." aku sangat takut jika sampai besok masih hujan, dan banjir tambah tinggi, tiap kali aku dengar rintikan hujan, rasanya ketar ketir. Dan Alhamdulillah, pagi nya hujan sudah reda, rupaya badai ini disebabkan oleh badai Squall Line,  pantas saja beberapa hari ini langit selalu mendung. Yah itulah sekelumit diary rutinitas, dari Semarang, hijrah ke Mranggen.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun