Isu mengenai ras merupakan isu sensitif dalam beberapa dasawarsa terakhir. Dalam hubungan sosial, ras dianggap sebagai salah satu penentu utamanya. Warna kulit kerap kali menjadi ‘pembeda’ antar ras yang disebut oleh Du Bois (2005, 23) sebagai ‘Colour Line (garis warna)’. Selain kesamaan warna kulit, ras juga bisa dibedakan berdasarkan karakteristik sejarah atau budaya, ukuran, lama tinggal, status kependudukan, kasta, integrasi ekonomi dan politik, maupun gabungan dari beberapa diantaranya (Weiner, 2009:xv). Salah satu contoh kelompok minoritas dan terdiskriminasi adalah kelompok masyarakat Burakumin di Jepang.Â
Secara garis besar, kelompok masyarakat Burakumin disebut sebagai ras yang dianggap inferior di Jepang walaupun kelompok masyarakat Burakumin dan penduduk Jepang pada umumnya tidak memiliki perbedaan warna kulit. Diskriminasi yang diterima suku Burakumin dapat dirunut dari sejarah masa lalu Jepang sejak zaman feodal yang berlangsung dari sekitar abad ke-12 hingga abad ke-19.
Jepang merupakan negara yang homogen. Pemahaman bahwa masyarakat Jepang merupakan masyarakat yang homogen mulai disebarkan secara kuat sejak zaman Meiji (Fujitani, 1993: 77-106). Dalam prosesnya, pemerintah berupaya untuk membuat masyarakat homogen dengan cara melakukan seleksi budaya dan mendefinisikan kembali kebudayaan, salah satunya dengan memperkenalkan sistem kazoku kokka (negara keluarga) (Sever, 2016).
 Kazoku kokka disebarluaskan seperti ideologi untuk memberi masyarakat Jepang identitas dan tujuan yang baru. Secara umum, ideologi tersebut memiliki makna bahwa Jepang sebagai negara merupakan perluasan dari sistem keluarga. Dalam ideologi kazoku kokka ini, kaisar berperan sebagai kepala negara, serta sosok ayah dalam skala nasional (Weiner, 2009:2).
 Dalam masyarakat Jepang yang homogen ini, Burakumin memiliki warna kulit, ukuran, dan bentuk yang tidak berbeda dengan mayoritas masyarakat Jepang lainnya. Namun, Burakumin mendapatkan berbagai bentuk diskriminasi dalam banyak bidang termasuk sosial, ekonomi, dan politik akibat dari kepercayaan masyarakat dan ketidakpedulian pemerintahnya yang memilih untuk melakukan pembiaran terhadap diskriminasi yang dialami Burakumin sejak sebelum zaman Meiji. Di Jepang, Burakumin merupakan minoritas terbesar dengan populasi yang diperkirakan berada di antara 1,5 hingga 3 juta orang (Bondy, 2020:1).
Secara literal, kata ‘Burakumin’ memiliki arti yakni orang-orang permukiman kecil. Dalam sejarahnya, mereka merupakan suatu kelompok masyarakat yang terbuang pada zaman feodal dikarenakan adanya kasta dalam sistem sosial masyarakat Jepang pada saat itu. Di zaman feodal, tingkatan strata sosial dibagi ke dalam empat bagian yang disebut dengan shinokosho (Carey, 2011). Strata sosial terendah ditempati oleh pedagang (sho), kemudian di atasnya secara berturut-turut ditempati oleh pengrajin (ko), petani (no), dan kedudukan tertinggi adalah samurai (shi).Â
Akan tetapi, pada zaman itu juga muncul kepercayaan masyarakat mengenai pekerjaan paling rendah, yaitu pekerjaan yang berhubungan dengan pekerjaan kotor dan bau. Pekerjaan yang bersentuhan langsung dengan mayat manusia atau bangkai hewan seperti pengrajin kulit adalah salah satu contohnya.
Kepercayaan Shinto dan Buddha yang merupakan dua agama mayoritas di Jepang, memiliki pandangan negatif mengenai segala sesuatu yang berkaitan langsung dengan darah dan mayat (Neary, 2009:7). Pandangan negatif ini mempunyai sejarah yang panjang dan kompleks.Â
Akan tetapi, dapat disimpulkan bahwa keturunan dari para pengrajin kulit atau pekerjaan lain yang berhubungan dengan mayat dan bangkai seperti pengurus jenazah kemudian disebut sebagai Burakumin. Â Namun, walaupun saat ini kelompok masyarakat Burakumin sudah tidak bekerja dan berinteraksi langsung dengan mayat dan bangkai sebagai pengrajin kulit, stigma dan diskriminasi yang mereka terima tetap tidak hilang.