Mohon tunggu...
Luthfiyana Salsabilla Manik
Luthfiyana Salsabilla Manik Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Airlangga

tidak ada deskripsi.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Burakumin: Minoritas Terlupakan di Balik Kemegahan Jepang

9 April 2023   20:34 Diperbarui: 11 Juli 2024   04:25 1028
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
© Mata Gajinka / YouTube - mini-documentary 'Burakumin: Japan's Invisible Minority' 

Isu mengenai ras merupakan isu sensitif dalam beberapa dasawarsa terakhir. Dalam hubungan sosial, ras dianggap sebagai salah satu penentu utamanya. Warna kulit kerap kali menjadi ‘pembeda’ antar ras yang disebut oleh Du Bois (2005, 23) sebagai ‘Colour Line (garis warna)’. Selain kesamaan warna kulit, ras juga bisa dibedakan berdasarkan karakteristik sejarah atau budaya, ukuran, lama tinggal, status kependudukan, kasta, integrasi ekonomi dan politik, maupun gabungan dari beberapa diantaranya (Weiner, 2009:xv). Salah satu contoh kelompok minoritas dan terdiskriminasi adalah kelompok masyarakat Burakumin di Jepang. 

Secara garis besar, kelompok masyarakat Burakumin disebut sebagai ras yang dianggap inferior di Jepang walaupun kelompok masyarakat Burakumin dan penduduk Jepang pada umumnya tidak memiliki perbedaan warna kulit. Diskriminasi yang diterima suku Burakumin dapat dirunut dari sejarah masa lalu Jepang sejak zaman feodal yang berlangsung dari sekitar abad ke-12 hingga abad ke-19.

Jepang merupakan negara yang homogen. Pemahaman bahwa masyarakat Jepang merupakan masyarakat yang homogen mulai disebarkan secara kuat sejak zaman Meiji (Fujitani, 1993: 77-106). Dalam prosesnya, pemerintah berupaya untuk membuat masyarakat homogen dengan cara melakukan seleksi budaya dan mendefinisikan kembali kebudayaan, salah satunya dengan memperkenalkan sistem kazoku kokka (negara keluarga) (Sever, 2016).

 Kazoku kokka disebarluaskan seperti ideologi untuk memberi masyarakat Jepang identitas dan tujuan yang baru. Secara umum, ideologi tersebut memiliki makna bahwa Jepang sebagai negara merupakan perluasan dari sistem keluarga. Dalam ideologi kazoku kokka ini, kaisar berperan sebagai kepala negara, serta sosok ayah dalam skala nasional (Weiner, 2009:2).

 Dalam masyarakat Jepang yang homogen ini, Burakumin memiliki warna kulit, ukuran, dan bentuk yang tidak berbeda dengan mayoritas masyarakat Jepang lainnya. Namun, Burakumin mendapatkan berbagai bentuk diskriminasi dalam banyak bidang termasuk sosial, ekonomi, dan politik akibat dari kepercayaan masyarakat dan ketidakpedulian pemerintahnya yang memilih untuk melakukan pembiaran terhadap diskriminasi yang dialami Burakumin sejak sebelum zaman Meiji. Di Jepang, Burakumin merupakan minoritas terbesar dengan populasi yang diperkirakan berada di antara 1,5 hingga 3 juta orang (Bondy, 2020:1).

© The Tom Burnett Collection dari Okinawa Soba (Rob) via Flickr 
© The Tom Burnett Collection dari Okinawa Soba (Rob) via Flickr 

Secara literal, kata ‘Burakumin’ memiliki arti yakni orang-orang permukiman kecil. Dalam sejarahnya, mereka merupakan suatu kelompok masyarakat yang terbuang pada zaman feodal dikarenakan adanya kasta dalam sistem sosial masyarakat Jepang pada saat itu. Di zaman feodal, tingkatan strata sosial dibagi ke dalam empat bagian yang disebut dengan shinokosho (Carey, 2011). Strata sosial terendah ditempati oleh pedagang (sho), kemudian di atasnya secara berturut-turut ditempati oleh pengrajin (ko), petani (no), dan kedudukan tertinggi adalah samurai (shi). 

Akan tetapi, pada zaman itu juga muncul kepercayaan masyarakat mengenai pekerjaan paling rendah, yaitu pekerjaan yang berhubungan dengan pekerjaan kotor dan bau. Pekerjaan yang bersentuhan langsung dengan mayat manusia atau bangkai hewan seperti pengrajin kulit adalah salah satu contohnya.

Kepercayaan Shinto dan Buddha yang merupakan dua agama mayoritas di Jepang, memiliki pandangan negatif mengenai segala sesuatu yang berkaitan langsung dengan darah dan mayat (Neary, 2009:7). Pandangan negatif ini mempunyai sejarah yang panjang dan kompleks. 

Akan tetapi, dapat disimpulkan bahwa keturunan dari para pengrajin kulit atau pekerjaan lain yang berhubungan dengan mayat dan bangkai seperti pengurus jenazah kemudian disebut sebagai Burakumin.  Namun, walaupun saat ini kelompok masyarakat Burakumin sudah tidak bekerja dan berinteraksi langsung dengan mayat dan bangkai sebagai pengrajin kulit, stigma dan diskriminasi yang mereka terima tetap tidak hilang.

Seharusnya, dengan penghapusan sistem kasta sosial zaman feodal pada tahun 1871, kelompok masyarakat Burakumin telah terbebas dari stigma dan stereotip negatif yang mereka terima. Tetapi pada kenyataannya, pandangan negatif terhadap kelompok masyarakat Burakumin semakin kuat dan berlanjut hingga saat ini. Meskipun kelompok masyarakat Burakumin juga dibebankan dan membayar pajak yang ditetapkan oleh pemerintah, tetapi mereka tetap tidak mendapatkan fasilitas yang layak, termasuk dalam kehidupan sosial dan politik mereka (Neary, 2009:8). Kelompok masyarakat Burakumin terus dianggap sebagai ‘orang luar’.

© booksandideas.net - Protest Against Japan’s Discrimination Burakumin Community 
© booksandideas.net - Protest Against Japan’s Discrimination Burakumin Community 

Anak-anak muda dan banyak orang dewasa yang termasuk dalam kelompok masyarakat Burakumin terus berusaha memperjuangkan hak-haknya dan menuntuk pembebasan dari diskriminasi yang mereka terima selama ini. Upaya protes yang mereka lakukan termasuk demonstrasi dan diplomasi via berbagai macam media. Media seperti televisi bukan tutup mata sama sekali terhadap isu yang terjadi di negara mereka ini, akan tetapi mereka juga tidak melakukan pergerakan signifikan terhadap masalah ini. Media Jepang sejauh ini telah dikritisi karena kebungkaman mereka selama ini dalam mengabaikan isu sensitif (Adelstein, 2009).

Kebungkaman media bukan tanpa alasan. Salah satunya disebabkan oleh isu keamanan yang mereka terima ketika mencoba mengangkat isu Burakumin. Bahkan, seorang reporter Asahi Shinbun yang mencoba memberitakan mengenai Burakumin, ditemukan tewas pada tahun 1987 karena ditembak (Bondy, 2020:7). Padahal, kejadian penembakan merupakan suatu kasus langka di Jepang dan hingga saat ini kasus tersebut tidak pernah terpecahkan. 

Hal ini membuktikan bahwa isu Burakumin merupakan isu sensitif dan orang-orang yang mencoba menguak isu ini ke permukaan dapat terancam jiwanya oleh mereka yang mengaku sebagai ‘pelindung’ kehormatan Jepang. Media Jepang dapat dikatakan mencoba melindungi diri dari serangan semacam itu dengan tidak mengangkat isu Burakumin. Namun, media Jepang mencoba menutupinya dengan mengatakan bahwa di Jepang, isu Burakumin tidak digemari dan mereka menganggap bahwa tidak ada orang yang ingin membaca berita mengenai Burakumin.

Berbagai bentuk diskriminasi diterima oleh kelompok masyarakat Burakumin dari berbagai sektor kehidupan. Hingga saat ini, tidak ada upaya konkret yang dilakukan oleh pemerintah untuk memperbaiki ketidakadilan yang diterima oleh kelompok minoritas Burakumin. Kendati menjadi kelompok minoritas terbesar dengan jumpah penduduk mencapai dua juta jiwa, mereka tetap mendapatkah perlakuan tidak adil dari masyarakat sekitar dan pemerintahan secara sistematis.  

Padahal, sebagian besar dari mereka sudah tidak bekerja dalam bidang yang berhubungan dengan kematian, mayat manusia, dan bangkai hewan. Meskipun demikian, para generasi muda yang menyandang status sosial keluarganya secara turun-temurun tercatat dalam registrasi keluarga (koseki) (Krogness, 2013). Akibatnya, mereka tidak dapat melepaskan diri dari stigma masyarakat.

© Borgen Magazine / The Story of Japan’s Untouchables – the Burakumin
© Borgen Magazine / The Story of Japan’s Untouchables – the Burakumin

Homogenitas Jepang menjelma sebagai ilusi dalam sudut pandang masyarakat yang memiliki identitas dan distereotipkan sebagai Burakumin. Ideologi kazoku kokka yang digaungkan oleh pemerintahan Meiji tidak merangkul seluruh lapisan masyarakatnya. Walaupun pada kenyataannya masyarakat Burakumin tidak berbeda secara fisik dengan mayoritas penduduk Jepang lainnya, kelompok minoritas Burakumin mendapatkan diskriminasi disebabkan oleh rendahnya status sosial para pendahulunya. 

Mereka mendapat bungkaman dari banyak pihak, termasuk media Jepang yang seolah tidak melihat isu sensitif yang mereka alami. Selain itu, masalah Burakumin juga tidak pernah didiskusikan dalam panggung perpolitikan Jepang dan dianggap sebagai masyarakat yang ‘tidak terlihat’ (Bondy, 2020: 4). Walaupun begitu, para generasi muda kelompok minoritas Burakumin hingga saat ini terus berusaha memperjuangkan kebebasannya tanpa dukungan negara yang seharusnya tidak hanya menjadikan homogenitas sebagai sebuah slogan semata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun