Mohon tunggu...
Luthfi Kenoya
Luthfi Kenoya Mohon Tunggu... Ilmuwan - Penikmat Senja dan Kopi

S2 Ilmu Politik Universitas Indonesia | "A little Learning is dangerous thing" | find me at Instagram, Line, Twitter, Facebook, Linkedln by ID: @Luthfikenoya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Sisi Lain Perpindahan Ibu Kota: "Mereka Pernah Ada, Tergusur untuk Kemajuan Kota"

27 Agustus 2019   23:56 Diperbarui: 28 Agustus 2019   09:07 1018
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi foto rumah bekas penggusuran. (Foto: dok. pribadi)

"Untuk mengatasi kesenjangan dan kemiskinan kita butuh pembangunan agar mempermudah perekonomian, dengan begitu lapangan kerja akan semakin terbuka dan perekonomian masyarakat bisa sejahtera." 

Keliling kota di tengah-tengah dingin yang membekap. "Hai, Garut!" Sapaku sambil menyisir setiap bangunan beton yang berdiri sepanjang jalan. 

Tidak sampai 1 km dari Ramayana -- Mall (katanya) pertama yang berdiri di Garut serta lengkap di dalamnya bioskop dan cafe-cafe untuk hangout -- saya menemukan rumah-rumah bekas penggusuran. 

Satu rumah itu cukup menarik, di dinding depan tertulis "Mereka pernah ada, tergusur untuk kemajuan kota" -- ah, apakah yang mereka maksud dengan kemajuan itu?

Ketika banyak orang sibuk bicara perpindahan ibu kota, pemadaman listrik ataupun polusi udara. Pembangunan di daerah terpencil justru sama sekali luput dari pemberitaan media, siapa juga yang mau melawan para investor besar itu. 

Aku sendiri mulai membayangkan, imajinasi seperti apa yang dimiliki oleh mereka yang mengatasnamakan kemajuan itu?

Apakah mereka mengilustrasikan gedung-gedung bertingkat, rel kereta api, pabrik-pabrik atau seperti apa penampakan "maju" yang diagung-agungkan itu? Ketika polusi sudah mulai akut di Jakarta, para dermawan itu berbondong membeli mobil, katanya "alergi dengan asap".

Ketika udara semakin memanas dan tak ada resapan, dermawan itu sanggup membeli AC dan mendinginkan rumah serta perkantorannya. Sedangkan rakyat kecil? Boro-boro beli mobil dan AC, mereka terpaksa naik transportasi umum yang berjubel. Ah, Garut! Apakah kau mau seperti itu? Bisakah dingin ini tetap kurasakan esok? Atau berganti menjadi panas dan debu?

Di malam yang sama sebelum keliling kota, aku melihat Gubernur nongkrong di kedai yang sama denganku. Sambil bercakap-cakap terkait pembangunan, katanya Garut akan menjadi kota maju dengan lokasi-lokasi pariwisata. 

Sambil melihat jalanan, kubayangkan nanti hotel-hotel berdiri mewah dan rumahku mungkin tinggal menunggu gilirannya untuk dipindahkan, bapak gubernur yang sungguh dermawan!

Dibanggakannya para pejabat itu dengan bersua foto bersama, sedangkan aku? Masih duduk di depan layar laptop sembari mencari inspirasi. Rasanya menyenangkan menjadi para pejabat itu, membuka peta melingkari titik-titik tertentu lalu mencari investor untuk membangun. 

Apa kabar Kalimantan? Apa benar kalian bersukacita atas pemindahan ibu kota? Itukah yang kalian dambakan? Gedung bertingkat, mobil protokol lalu lalang, rel kereta api? Begitukah imajinasi tentang negara maju?

"Bagaimana lagi, bro? Untuk mengatasi kesenjangan dan kemiskinan kita butuh pembangunan agar mempermudah perekonomian, dengan begitu lapangan kerja akan semakin terbuka dan perekonomian masyarakat bisa sejahtera," ucap salah seorang temanku di suatu sore yang gelap. Bersama kopi branded kesukaanmu kita bercakap. 

Oh ya, kukira aku sepakat bahwa kesejahteraan diukur dari berbagai indeks dan untuk itu sebuah keniscayaan para dermawan menyumbang untuk pembangunan.

Tapi masalahnya perusahaan-perusahaan besarlah yang pertama kali mengetahui blue print pembangunan, mereka lebih dulu membangun toko, mall ataupun gedung lainnya untuk bisnis. Ketika Toll Tangerang-Jakarta belum dibangun, banyak ruko telah didirikan dan penggusuran terjadi dengan berbagai cara.

Pedagang kecil mana tahu kalau kelak di sana akan ada exit toll, perusahaan besar sudah lebih dulu menawar harga tanah beberapa tahun yang lalu. Bagaimana masyarakat bisa bersaing? Bukankah kemajuan menawarkan keterbukaan informasi? Faktanya, keterbukaan itu hanya ada di pusaran elit.

Dan ketika bangunan-bangunan itu dibangun sebagai penopang perekonomian, siapakah pemiliknya? Apakah masyarakat setempat? Atau justru pendatang? Terserah kau mau bilang aku rasis atau tidak, begitulah faktanya dan memangnya kenapa kalau kuhujat para pendatang yang dermawan itu? Salahkah? Mereka selalu berdalil "ini untuk kemaslahatan umum" tapi faktanya justru mencekik masyarakat kecil.

Jalanan yang biasanya masyarakat lewati dengan bebas, tanah luas untuk bermain bola, kini semuanya berganti gedung-gedung -- lantas apakah kita bisa masuk kesana dengan bebas? Para dermawan itu buat pengahalang dengan jeruji besi, memasang teknologi sekedar untuk parkir, bahkan tak sedikit menebar polusi hasil produksi. 

Pusat olahraga dibuat di tengah-tengah perkotaan dengan beragam fasilitas dari sponsor, lagi-lagi rakyat masuk berbekal karcis? Oke, aku tahu itu murah hanya 2000. Tapi, yasudahlah kau pasti lagi-lagi akan berdalih tentang kemajuan karena ku tahu penghasilanmu memang dari memuji para dermawan itu.

Di daerah kecil seperti Garut, siapa mau mengawasi? DPRD? Yang bener aja bro, dapil tempat mereka dipilih aja lupa. Siapa lagi, mahasiswa? Dengan kurikulum spesialisasi itu kau harap bisa turun aksi ke jalan? Dan aku mulai bayangkan betapa nyamannya para dermawan itu besok di Ibu Kota yang baru. Tak ada ada lagi aksi-aksi berjilid, apalagi "kamisan". "Apakah kau pikir mahasiswa di Kalimantan tidak kritis?" Sambil membentak kau arahkan ucapan itu padaku.

"Dasar politisi" kataku sambil sedikit menahan tawa, betapa munafiknya kalimat itu. Bisakah kita jujur bahwa pusat demonstrasi ada di Jabodetabek, dengan atau tanpa nama besar perguruan tinggi sejarah telah mencatatnya. Dan yah, tak sedikit dari aksi itu membuahkan hasil entah kebijakan regulasi ataupun setidak-tidaknya membuat gusar para dermawan.

Tapi itulah kekuatan kita, rakyat kecil yang tak punya segudang akses. Sedangkan bagi para dermawan yang datang dari berbagai negri itu, mereka butuh stabilitas politik untuk menanamkan modal. Bukankah itu logika sederhana? Atau harus kubuat kompleks dengan berbagai pertimbangan bisnis ekstraktif, infrastruktur dan politik hijau?

Bukankah kau sendiri yang bilang bahwa analisa ilmiah hanya ada untuk keperluan tulisan? Sekarang logika ku kau anggap remeh, katamu pembangunan selalu diiringi dengan berbagai perhitungan yang matang.

Kubawa dalil politik, kau bilang cari sisi positifnya; Kuberi kau perbandingan, kau bilang tak bisa disamakan; kuberi kau beragam perhitungan, kau bilang kenyataan berbeda dengan teori; kutawarkan solusi, kau bilang tak semudah itu; kuberi kau data korban, kau bilang tak usah idealis. Kau ini ajak diskusi atau apa? Untung saja kau yang bayar kopiku ..... (Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun