Dibanggakannya para pejabat itu dengan bersua foto bersama, sedangkan aku? Masih duduk di depan layar laptop sembari mencari inspirasi. Rasanya menyenangkan menjadi para pejabat itu, membuka peta melingkari titik-titik tertentu lalu mencari investor untuk membangun.Â
Apa kabar Kalimantan? Apa benar kalian bersukacita atas pemindahan ibu kota? Itukah yang kalian dambakan? Gedung bertingkat, mobil protokol lalu lalang, rel kereta api? Begitukah imajinasi tentang negara maju?
"Bagaimana lagi, bro? Untuk mengatasi kesenjangan dan kemiskinan kita butuh pembangunan agar mempermudah perekonomian, dengan begitu lapangan kerja akan semakin terbuka dan perekonomian masyarakat bisa sejahtera," ucap salah seorang temanku di suatu sore yang gelap. Bersama kopi branded kesukaanmu kita bercakap.Â
Oh ya, kukira aku sepakat bahwa kesejahteraan diukur dari berbagai indeks dan untuk itu sebuah keniscayaan para dermawan menyumbang untuk pembangunan.
Tapi masalahnya perusahaan-perusahaan besarlah yang pertama kali mengetahui blue print pembangunan, mereka lebih dulu membangun toko, mall ataupun gedung lainnya untuk bisnis. Ketika Toll Tangerang-Jakarta belum dibangun, banyak ruko telah didirikan dan penggusuran terjadi dengan berbagai cara.
Pedagang kecil mana tahu kalau kelak di sana akan ada exit toll, perusahaan besar sudah lebih dulu menawar harga tanah beberapa tahun yang lalu. Bagaimana masyarakat bisa bersaing? Bukankah kemajuan menawarkan keterbukaan informasi? Faktanya, keterbukaan itu hanya ada di pusaran elit.
Dan ketika bangunan-bangunan itu dibangun sebagai penopang perekonomian, siapakah pemiliknya? Apakah masyarakat setempat? Atau justru pendatang? Terserah kau mau bilang aku rasis atau tidak, begitulah faktanya dan memangnya kenapa kalau kuhujat para pendatang yang dermawan itu? Salahkah? Mereka selalu berdalil "ini untuk kemaslahatan umum" tapi faktanya justru mencekik masyarakat kecil.
Jalanan yang biasanya masyarakat lewati dengan bebas, tanah luas untuk bermain bola, kini semuanya berganti gedung-gedung -- lantas apakah kita bisa masuk kesana dengan bebas? Para dermawan itu buat pengahalang dengan jeruji besi, memasang teknologi sekedar untuk parkir, bahkan tak sedikit menebar polusi hasil produksi.Â
Pusat olahraga dibuat di tengah-tengah perkotaan dengan beragam fasilitas dari sponsor, lagi-lagi rakyat masuk berbekal karcis? Oke, aku tahu itu murah hanya 2000. Tapi, yasudahlah kau pasti lagi-lagi akan berdalih tentang kemajuan karena ku tahu penghasilanmu memang dari memuji para dermawan itu.
Di daerah kecil seperti Garut, siapa mau mengawasi? DPRD? Yang bener aja bro, dapil tempat mereka dipilih aja lupa. Siapa lagi, mahasiswa? Dengan kurikulum spesialisasi itu kau harap bisa turun aksi ke jalan? Dan aku mulai bayangkan betapa nyamannya para dermawan itu besok di Ibu Kota yang baru. Tak ada ada lagi aksi-aksi berjilid, apalagi "kamisan". "Apakah kau pikir mahasiswa di Kalimantan tidak kritis?" Sambil membentak kau arahkan ucapan itu padaku.
"Dasar politisi" kataku sambil sedikit menahan tawa, betapa munafiknya kalimat itu. Bisakah kita jujur bahwa pusat demonstrasi ada di Jabodetabek, dengan atau tanpa nama besar perguruan tinggi sejarah telah mencatatnya. Dan yah, tak sedikit dari aksi itu membuahkan hasil entah kebijakan regulasi ataupun setidak-tidaknya membuat gusar para dermawan.