Mohon tunggu...
Luthfi Kurniawan
Luthfi Kurniawan Mohon Tunggu... -

Marketing Communication & Advertising Student @UBcampus || ex-Copywriter Intern @REDcomm_ID || Web Designer at http://fussballholic.weebly.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kretek Ayah

20 Mei 2014   17:06 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:19 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Ibu belum masak hari ini?” ujar Agus dengan pandangan tertegun sambil menahan tudung saji yang diangkatnya.

Di hadapannya tersaji pemandangan kosong melompong. Kopong. Yang dia harapkan sederhana, semisal lontong atau apapun sejenis benda mati yang bisa dikunyah agar perutnya tak terus melolong.

“Belum, Nak. Ibu sedang suntuk. Pikiran Ibu semrawut.”

Padahal Agus sudah habis tenaga, bermandikan keringat, bertenagakan lesu & capai setelah pulang sekolah. Jalan kaki 5 km di siang terik bukan urusan mudah bagi anak sekolah seperti Agus. Badannya yang kecil dengan tas besar berat berisi buku-buku membuatnya lesu tak terperi, makin kurus karena kalori yang masuk seringkali lebih kecil daripada yang terbuang akibat jalan kaki.

“Ibu masih berduka? Tapi kita mesti bertahan hidup, Bu. Ayah telah kembali pada tempat yang paling baik, di sisi Tuhan. Aku tahu kita semua sedih akibat kepergian Ayah.. Tapi kita mesti hidup seperti sediakala. Di mana saat itu ada nasi & lauk pauk, gelak tawa & ketenangan yang selalu ada di rumah ini” ujar Agus, tapi dalam hati. Sudah pasti hal itu tak mungkin diucapkan pada Ibu sendiri, kecuali mau dituduh jadi anak tak berbudi.

Ibunya masih duduk masygul menopang dagu, menatap kosong ke jendela yang mengarah pada sawah-sawah. Sesekali datang angin semilir yang berusaha memecah lamunan Ibunya, tapi tak berhasil. Semilir sejuk angin malah membuatnya jatuh makin dalam pada lamunan & tatapan kosong.

Agus menerka-nerka apa yang dipikirkan Ibunya. Mungkin beliau masih terpukul setelah kepergian Ayah. Bagai sandal kanan yang kehilangan sandal kiri, mungkin Ibu merasa hidup ini tiada guna jika tanpa Ayah.

Atau khawatir tentang siapa yang akan menanggung biaya pendidikan sepeninggal Ayahnya? Ibunya tidak bekerja, tipikal ibu rumah tangga sejati yang mengatur operasi rumah sehari-hari. Ya, mungkin ibu lebih mengkhawatirkan masalah itu sampai-sampai duduk termenung.

“Kau tahu di mana Ayahmu menyimpan semua rokok kreteknya?” tiba-tiba Ibunya memecah keheningan.


“Hah? Apa Bu?” ujar Agus. Kaget, karena ibunya berbicara tanpa gelagat yang terbaca.

“Kamu tahu di mana Ayah menyimpan semua rokok kreteknya?” sekali lagi Ibunya bertanya, kali ini dengan suara yang lebih mantap & pelan, memastikan agar Agus paham akan kata-katanya.

“Oh, itu.. Ayah biasa menyimpannya dalam koper lama dalam lemari ku, Bu. Sebenarnya Ayah berpesan agar aku tak memberi tahu letaknya pada Ibu, sebab Ibu benci rokok. Karena itu Ayah sering merokok diam-diam tanpa sepengetahuan Ibu. Tapi kupikir sebaiknya Ibu ku beritahu saja daripada rokok itu terus ada di kamarku..”

Tiba-tiba Ibunya tertawa nyaring. Terdengar ke seluruh sudut rumah berdinding kayu itu. “Ibu tahu kalau Ayah mu suka merokok diam-diam, Gus. Hanya saja Ibu tak tahu di mana dia menyimpan ‘harta karunnya’ itu. Kadang-kadang dia lupa menggosok gigi sebelum tidur, sehingga saat dia berbaring di sebelah Ibu, sering tercium bau rokok. Ayah mu itu entah bodoh atau teledor, Ibu tak tahu. Padahal sudah Ibu bilang kalau dia ketahuan merokok seperti waktu dia masih muda, Ibu akan minta cerai saat itu juga..”

Agus bergidik, matanya sedikit membesar karena ngeri akan percakapan itu. Tak terbayang olehnya jika hidup dengan orang tua yang memilih berpisah. Dia makin bergidik karena ujar orang-orang, anak dari orang tua yang bercerai biasanya jadi susah diatur, nakal dan akhirnya punya masa depan suram.

“Tapi, Bu… Sampai sekarang, maksudku sampai meninggalnya Ayah.. Ibu tak bercerai. Kenapa?” tanya Agus dengan hati-hati, sambil memperhatikan perubahan raut muka Ibunya.

Sang Ibu merubah posisi duduknya yang semula di kursi, turun menjadi sama dengan Agus. Lesehan di lantai, tatapannya tidak kosong lagi. Ibunya menatap Agus lekat-lekat. Dibenarkannya rambut yang sudah sedikit semrawut akibat semilir angin berkali-kali.

“Nak, Ayahmu itu tak memakai parfum. Anehnya keringatnya juga tak berbau. Tawar. Jika istri-istri yang lain sering mengomel karena keringat suaminya bau sekali, Ibu malah tidak tahu mesti mengomel apa bersyukur. Setidaknya, orang lain bisa mengingat bau suaminya yang bau, sementara Ibu tidak. Jadi Ibu pikir biarlah Ayahmu sesekali mencuri kesempatan untuk merokok, setidaknya di tubuhnya melekat bau-bauan yang bisa ku cium & ku kenang. Meski itu hanya bau rokok kretek..”


Agus tertegun. Dia tak menyangka bahwa cinta di antara dua insan bisa menghilangkan prinsip-prinsip pribadi yang sejatinya egois, menjadi lebih toleran.

Dia ingat. Semasa Agus masih berumur 5 tahun, Ibunya sempat bertengkar hebat dengan Ayahnya karena punya kebiasaan menaruh handuk sembarangan ketika selesai mandi. Kadang di kursi, atau di kasur. Ibunya sangat marah, karena waktu itu sang Ayah teledor dengan menaruh handuk di tumpukan pakaian yang selesai disetrika. Alhasil, semua pakaian yang sudah rapi, kering dan wangi jadi basah & kusut semua. Ibunya naik pitam, Ayahnya juga naik pitam karena tidak mau disalahkan. Agus ingat betul kejadian itu, tapi tak ingat bagaimana keduanya bisa akur setelah kejadian itu. Padahal ketika orangtuanya saling melontarkan amarah, Ibunya sampai pada titik puncak rasa muak dan berkata “Kalau begini, lebih baik aku pulang saja ke rumah orang tuaku!!”

Saat Agus masih terpaku pada ingatan itu, Ibunya sudah berdiri dan bergerak masuk ke kamarnya. Kemudian terdengar derit pintu lemari di kamar-nya, disusul bunyigrasak-grusuk, kemudian keluar dengan harta karun di tangan. Sebuah koper tua yang menyimpan harta karun Ayahnya. Rokok kretek, satu merek saja, tapi jumlahnya cukup untuk persediaan merokok selama satu tahun. Agus tercengang, dia tak menduga kalau persediaan rokok Ayahnya sebanyak itu.

“Boleh aku tahu hendak Ibu apakan rokok-rokok ini?” tanya Agus polos. Khawatir kalau Ibunya akan naik pitam begitu melihat rokok sebanyak ini, lalu datang ke makam Ayah hanya untuk memaki, menuduh rokok sebagai penyebab kematiannya.

“Ibu hendak menjualnya ke warung Pak Yahya di sebelah. Rokok sebanyak ini pasti banyak uangnya jika dijual, lagi pula kita di rumah ini tak ada yang merokok kan? Ibu pikir ini benar-benar harta karun Ayahmu. Uang penjualan rokok ini untuk biaya sekolahmu, Gus.” ujar Ibunya sambil tersenyum simpul, lalu merapikan rokok-rokok itu dalam tatanan yang lebih teratur.

“Nah, ini sudah Ibu rapikan ke dalam kardus. Tolong kamu antarkan pada warung Pak Yahya ya, Gus. Bilang bahwa rokok-rokok ini dijual, masih baru & bersegel. Dia pasti akan membelinya dengan harga yang pantas, karena tidak perlu jauh-jauh ke kota untuk membeli stok di warungnya.”

Agus mengangkat kardus berisi rokok-rokok itu dengan heran sambil bercampur senang. Ibunya tak lagi masygul dan bermuram durja, tak disangka suasana hati ibunya akan berubah secepat ini.

Ketika hendak membuka pintu, tiba-tiba sang Ibu menahan Agus di bahunya.

“Gus, sebentar..” sambil mengambil satu bungkus rokok dari dalam kardus.

“Untuk apa, Bu? Untuk kenang-kenangan & disimpan?”

“Bukan, Ibu hendak menghabiskan waktu bersama Ayahmu”

Kemudian ibunya mulai menyulut rokok, mengepulkan asap dari mulut sambil terbatuk-batuk, tapi raut mukanya riang. Semakin banyak asap yang dia dihirup, makin banyak gelak tawa muncul dalam batuk yang mulai menjadi. Itu rokok pertama dalam hidup Ibunya. Benda yang paling dia benci di dunia kini sudah merasuk dalam paru-paru, tinggal di dalam hati bersama kenangannya dengan sang suami.

***

Jakarta, 3 Desember 2013

REDcomm Agency, Jakarta Barat. 02:14 PM

( cerita ini sebelumnya telah terbit di www.inisketsatangan.wordpress.com pada 10 Desember 2013 )

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun