Mohon tunggu...
Luthfi Kurniawan
Luthfi Kurniawan Mohon Tunggu... -

Marketing Communication & Advertising Student @UBcampus || ex-Copywriter Intern @REDcomm_ID || Web Designer at http://fussballholic.weebly.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kretek Ayah

20 Mei 2014   17:06 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:19 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiba-tiba Ibunya tertawa nyaring. Terdengar ke seluruh sudut rumah berdinding kayu itu. “Ibu tahu kalau Ayah mu suka merokok diam-diam, Gus. Hanya saja Ibu tak tahu di mana dia menyimpan ‘harta karunnya’ itu. Kadang-kadang dia lupa menggosok gigi sebelum tidur, sehingga saat dia berbaring di sebelah Ibu, sering tercium bau rokok. Ayah mu itu entah bodoh atau teledor, Ibu tak tahu. Padahal sudah Ibu bilang kalau dia ketahuan merokok seperti waktu dia masih muda, Ibu akan minta cerai saat itu juga..”

Agus bergidik, matanya sedikit membesar karena ngeri akan percakapan itu. Tak terbayang olehnya jika hidup dengan orang tua yang memilih berpisah. Dia makin bergidik karena ujar orang-orang, anak dari orang tua yang bercerai biasanya jadi susah diatur, nakal dan akhirnya punya masa depan suram.

“Tapi, Bu… Sampai sekarang, maksudku sampai meninggalnya Ayah.. Ibu tak bercerai. Kenapa?” tanya Agus dengan hati-hati, sambil memperhatikan perubahan raut muka Ibunya.

Sang Ibu merubah posisi duduknya yang semula di kursi, turun menjadi sama dengan Agus. Lesehan di lantai, tatapannya tidak kosong lagi. Ibunya menatap Agus lekat-lekat. Dibenarkannya rambut yang sudah sedikit semrawut akibat semilir angin berkali-kali.

“Nak, Ayahmu itu tak memakai parfum. Anehnya keringatnya juga tak berbau. Tawar. Jika istri-istri yang lain sering mengomel karena keringat suaminya bau sekali, Ibu malah tidak tahu mesti mengomel apa bersyukur. Setidaknya, orang lain bisa mengingat bau suaminya yang bau, sementara Ibu tidak. Jadi Ibu pikir biarlah Ayahmu sesekali mencuri kesempatan untuk merokok, setidaknya di tubuhnya melekat bau-bauan yang bisa ku cium & ku kenang. Meski itu hanya bau rokok kretek..”


Agus tertegun. Dia tak menyangka bahwa cinta di antara dua insan bisa menghilangkan prinsip-prinsip pribadi yang sejatinya egois, menjadi lebih toleran.

Dia ingat. Semasa Agus masih berumur 5 tahun, Ibunya sempat bertengkar hebat dengan Ayahnya karena punya kebiasaan menaruh handuk sembarangan ketika selesai mandi. Kadang di kursi, atau di kasur. Ibunya sangat marah, karena waktu itu sang Ayah teledor dengan menaruh handuk di tumpukan pakaian yang selesai disetrika. Alhasil, semua pakaian yang sudah rapi, kering dan wangi jadi basah & kusut semua. Ibunya naik pitam, Ayahnya juga naik pitam karena tidak mau disalahkan. Agus ingat betul kejadian itu, tapi tak ingat bagaimana keduanya bisa akur setelah kejadian itu. Padahal ketika orangtuanya saling melontarkan amarah, Ibunya sampai pada titik puncak rasa muak dan berkata “Kalau begini, lebih baik aku pulang saja ke rumah orang tuaku!!”

Saat Agus masih terpaku pada ingatan itu, Ibunya sudah berdiri dan bergerak masuk ke kamarnya. Kemudian terdengar derit pintu lemari di kamar-nya, disusul bunyigrasak-grusuk, kemudian keluar dengan harta karun di tangan. Sebuah koper tua yang menyimpan harta karun Ayahnya. Rokok kretek, satu merek saja, tapi jumlahnya cukup untuk persediaan merokok selama satu tahun. Agus tercengang, dia tak menduga kalau persediaan rokok Ayahnya sebanyak itu.

“Boleh aku tahu hendak Ibu apakan rokok-rokok ini?” tanya Agus polos. Khawatir kalau Ibunya akan naik pitam begitu melihat rokok sebanyak ini, lalu datang ke makam Ayah hanya untuk memaki, menuduh rokok sebagai penyebab kematiannya.

“Ibu hendak menjualnya ke warung Pak Yahya di sebelah. Rokok sebanyak ini pasti banyak uangnya jika dijual, lagi pula kita di rumah ini tak ada yang merokok kan? Ibu pikir ini benar-benar harta karun Ayahmu. Uang penjualan rokok ini untuk biaya sekolahmu, Gus.” ujar Ibunya sambil tersenyum simpul, lalu merapikan rokok-rokok itu dalam tatanan yang lebih teratur.

“Nah, ini sudah Ibu rapikan ke dalam kardus. Tolong kamu antarkan pada warung Pak Yahya ya, Gus. Bilang bahwa rokok-rokok ini dijual, masih baru & bersegel. Dia pasti akan membelinya dengan harga yang pantas, karena tidak perlu jauh-jauh ke kota untuk membeli stok di warungnya.”

Agus mengangkat kardus berisi rokok-rokok itu dengan heran sambil bercampur senang. Ibunya tak lagi masygul dan bermuram durja, tak disangka suasana hati ibunya akan berubah secepat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun