Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) merupakan masalah yang sudah ada lama di berbagai negara. Praktik KKN ini sudah menjadi bagian dari dinamika ekonomi dan sosial suatu negara baik negara maju maupun berkembang. Berbagai langkah telah telah ditempuh untuk memberantas praktik KKN ini seperti kebijakan anti korupsi dan transparansi, tetapi praktik-praktik ini masih terus ada dan kerapkali sulit diberantas. Praktik KKN seringkali dianggap sebagai "penyakit kronis" dikarenakan bukan hanya merugikan keuangan negara tetapi juga menghambat kemajuan dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Di era saat ini, prinsip transparansi dan akuntabilitas seharusnya menjadi standar baru untuk diterapkan di pemerintahan dan organisasi untuk mencegah praktik korupsi. Namun, karena sudah menjadi suatu kenormalan bagi sebagian orang, praktik KKN masih eksis dan sulit untuk dihilangkan sepenuhnya. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: mengapa Praktik KKN tetap eksis dan sulit dihentikan, bahkan di era modern yang serba transparan?
Jika dilihat, tindakan KKN tidak bisa dibenarkan baik dari segi hukum, moral, maupun etika. Tetapi, jika dilihat dari perspektif lain terdapat beberapa alasan mengapa KKN masih sering terjadi & dianggap "normal" oleh sebagian orang.Â
KKN Sebagai "Metode Survive"
Banyak orang dalam sistem yang melakukan KKN itu karena merasa KKN merupakan salah satu cara untuk bisa survive atau dapat memberikan makan keluarga. Misalnya, seseorang yang memiliki gaji yang yang pas-pasan, dan kekurangan untuk menutupi kebutuhan hidup keluarganya. Sebagian orang merasa terjebak dalam sistem yang sudah korupsi dari atas ke bawah.Â
"Everyone's Doing it" Sebuah Mindset
Beberapa orang beranggapan bahwa KKN sudah menjadi kebiasaan dan jika tidak mengikuti praktik tersebut, maka orang tersebut dapat tersingkir atau disingkirkan dari sebuah pekerjaanya. Praktik ini juga menjadi tradisi yang berlanjut dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
Tuntutan Keluarga dan Loyalitas
Terkadang nepotisme bisa terjadi karena seseorang merasa bertanggung jawab untuk membantu keluarga atau teman dekatnya. Hal ini dikarenakan keluarga atau teman dekat dianggap lebih penting dari pada milih orang kompeten tapi yang tidak dikenal. Dengan ini biasanya mereka lebih memilih keluarga atau teman dekatnya untuk menempati suatu posisi.Â
Sebagai "Jalan Pintas"
Seseorang biasanya memilih jalur cepat untuk mendapatkan izin atau mengerjakan sebuah proyek. Sehingga opsi kolusi menjadi langkah yang ditempuh untuk mengatasi permasalahan tersebut, membuat kolusi ini sering terjadi di berbagai tempat untuk mengakali sistem yang terlalu berbelit-belit.
Perspektif "Balas Jasa"
Biasanya kolusi atau nepotisme terjadi lantaran sebagai bentuk balas jasa atas sebuah transaksi. Sebagai contoh, seseorang yang telah dibantu kampanye politik oleh temannya sebagai penyokong modal, maka setelah ia terpilih teman tersebut meminta imbalan balas jasa kepadanya untuk mendapatkan suatu imbalan biasanya dalam bentuk suatu posisi.
Dengan demikian, alasan-alasan inilah yang menjadi permasalahan mengapa praktik KKN masih terjadi hingga saat ini di berbagai negara. Tidak ada pembenaran alasan-alasan untuk praktik KKN. KKN pastinya telah merugikan banyak pihak dan membuat sistem kenegaraan menjadi tidak adil. Oleh karena itu, tindakan ini tidak benar dan harus untuk dilawan, selain itu memerlukan tidakan reformasi yang mendalam di sistem dan kebudayaan suatu negara untuk bisa mengubah sistem dari akarnya. Kemudian juga pentingnya pendidikan karakter integritas dan transparansi dari usia dini di suatu negara untuk mencegah praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI