Mengenang sejarah bukan saja menghapal tanggal dan runtutan peristiwa di lokasi-lokasi pertempuran. Demikian pula mengenang 10 november bukan saja mengingat Bung Tomo berorasi dengan lantang sambil meneriakkan takbir. Bukan saja tentang ultimatum bagi masyarakat Surabaya dan sekitarnya untuk menyerahkan senjata kepada sekutu setelah beberapa saat kita merdeka. Bukan saja memperingati resolusi jihad, yang merupakan salah satu faktor vital, tapi tidak tertuliskan dalam buku-buku sejarah.
Mengenang hari pahlawan berarti kita mengenang heroisme. Ya, perjuangan berani kehilangan segala macam harta benda bahkan nyawa. Mengenang keberanian maju berperang bahkan disaat diramalkan tidak akan meraih kemenangan, atau kemenangan merupakan suatu kemustahilan. Sebab bambu dan arit bukan lawan sepadan untuk meriam, tank, dan pesawat-pesawat tempur. Dan petani-petani kurus dari desa dibantu santri-santri bersarung bukan lawan sebanding bagi tentara terlatih yang baru saja merayakan kemenangan dalam Perang Dunia dua.
Dalam perang yang mengerikan, ada semangat dan teriakan yang dikobarkan untuk menutupi ketakutan dan kengerian. Ada kematian yang melayang-layang diatas kepala, dan segera turun ketika meriam atau peluru ditembakkan. Tapi, ada juga ketidakrelaan dalam diri para pahlawan apabila penjajahan akan terus berlangsung bagi generasi anak cucu mereka. Ada ketidakrelaan jika keterjajahan akan menciutkan mental dan semangat anak mereka serta membuntu kebebasan anak negeri memperoleh pendidikan. Ada ketidakrelaan jika bangsa yang mereka sayangi sepenuh hati, sepenuh tangis, harus terjajah kembali setelah mendeklarasikan diri merdeka.
Kemudian, heroisme tersebut tercatat mampu mempertahankan kemerdekaan bangsa ini. Kemerdekaan yang dideklarasikan setelah tiga setengah abad di diperjuangkan. Ya, bagaimanapun secara de facto negeri ini adalah negeri merdeka. Punya wilayah, punya rakyat, punya pemerintah yang berdaulat, dan pengakuan dari negara lain cukup dijadikan pembenaran kemerdekaan. Lalu, apa substansi dari semangat perjuangan para pahlawan?
Substansi dari perjuangan kemerdekaan dan peristiwa hari pahlawan adalah kedaulatan bangsa ini dari segala macam aspek. Dimana bangsa ini benar merdeka, bebas, dan berdaulat dalam menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyatnya.
Tapi, sampai saat ini banyak pihak (bahkan mungkin kita yang peka dan sadar juga merasakan) yang menyatakan bahwa kita belum benar-benar berdaulat dan merdeka. Bahkan penjajahan yang dulu dilawan dan diusir oleh pendahulu kita kini menjelma menjadi penajajahan dalam bentuk-bentuk baru. Penjajahan dalam bentuk baru itu tidak lagi memandang kolonialisme sebagai penjajahan fisik, dimana suatu bangsa, dengan kekuatan militernya, melakuakn penguasaan atas semua sumberdaya bangsa lain secara langsung.
‘Penjajahan baru’ itu berwujud keterpengaruhan yang sangat kuat, bahkan ketergantungan, satu bangsa terhadap bangsa lain, untuk melakukan berbagai hal yang diinginkan oleh bangsa lain, misalnya dalam bidang ideologi, politik, ekonomi, hukum, dan sebagainya. Masuk dengan hegemoni budaya konsumerisme, menjelma perundangan yang sah secara legal-formal tapi substansinya berlawanan dengan semangat kedaulatan bangsa.
Kolonialisme menjelma lembaga-lembaga keuangan superpower, seperti IMF dan World Bank, yang bagaimanapun kita susah keluar dari jeruji mereka. Menjelma pula mereka menjadi merek-merek dan Brand asing, yang ramai kita kunjungi dan konsumsi walaupun kita tahu mematikan produksi lokal. Menjelma pasar bebas, AEC sampai APEC, yang tak kuasa kita bendung kehadirannya. Menjelma perusahaan multinasinal (Multinacional Coorporatian) yang menguasai separo lebih sumber daya alam kita. Menjelma lembaga dan sistem pendidikan yang mencetak sarjana serta lulusannya hanya menjadi robot-robot budak bagi kasta kapital, bukan lagi untuk memanusiakan manusia sebagaimana pesan Ki Hajar Dewantara.
Menjelma lembaga-lembaga keuangan yang kepemilikan sahamnya mayoritas dikuasai asing, mulai yang berlabel konvensional, syariah, sampai Ulul Albaab. Semangat bersyariah ria tersebut dimanfaatkan betul oleh para businessman bahkan untuk melakukan komersialisasi simbol-simbol agama, mulai hijab, lembaga keuangan syariah, bahkan agama itu sendiri di ‘komersialisasikan’ oleh pendakwah-pendakwah di layar kaca.
Dan, sekali lagi, hegemoni kapitalisme adalah sistem terselubung asing dalam menguasai suatu bangsa. Perhatikan lagi produk-produk yang beredar di masyarakat, moyoritas adalah produk asing yang pastinya menguntungkan pihiak asing tertentu. Belum lagi melalui iklan di bebagai macam media massa, kita dirayu dan dipengaruhi untuk mengkonsumsi berbagai macam hal yang sebenarnya tidak kita perlukan. Tanpa sadar kita dididik dan diarahkan untuk menjadi manusia dengan budaya konsumerisme. Membeli barang-barang merek asing bukan lagi suatu keinginan, bahkan keharusan untuk mengikuti tren gaya hidup. Di pusat-pusat perbelanjaan kita ramai ‘membuang diut’, tanpa sadar kemana keuntungan dari transaksi yang kita lakukan tersebut diarahkan.
Misi kemerdekaan bangsa ini bukanlah untuk melapangkan ‘jalan kembali’ atau memfasilitasi kekuatan-kekuatan asing untuk menjajah negeri ini secara konstitusional dan elegan. Kemerdekaan seharusnya menjadi jembatan emas bagi peningkatan kemakmuran dan keadilan bagi bangsa ini sebagai tuan rumah yang berdaulat di negeri sendiri.