Sesuai dengan tujuan negara yang termaktub dalam alinea keempat Pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945), konstitusi sebagai sumber hukum tertinggi mengamanatkan kepada negara dalam hal ini yaitu Pemerintah untuk senantiasa melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Salah satu wujud dari usaha pengimplementasian tujuan negara tersebut yaitu dengan memberikan segenap perlindungan kepada warga negara sebagai bagian dari unsur bangsa dan tumpah darah Indonesia, yang salah satu wujudnya yaitu dalam bentuk pemenuhan serta perlindungan hak-hak dasar dalam rangka peningkatan kualitas hidup warga negara menuju masyarakat yang madani.
Secara konstitusional, sebagaimana yang termuat dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1) dan (2) UUD NRI Tahun 1945 adanya penegasan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya, serta tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Hal ini yang menjadi landasan yuridis konstitusional bahwa setiap warga negara berhak untuk memperoleh perlindungan hukum mengenai bentuk jaminan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, atas dasar bahwa setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum.
Lalu diperkuat dengan Pasal 28D ayat (1) dan (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menjelaskan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, serta berhak untuk bekerja dan mendapatkan imbalan dan memperoleh perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Untuk menjamin kepastian hukum mengenai bentuk pengakuan, jaminan, serta perlindungan terhadap pemenuhan hak-hak warga negara untuk dapat bekerja, memperoleh imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam suatu bentuk hubungan kerja, maka diperlukan suatu payung hukum berupa peraturan perundang-undangan untuk mengatur mengenai hal-hal tersebut.
Konsep negara hukum yang berlandaskan pada ideologi Pancasila tentunya sangat menjunjung tinggi serta memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan di dalamnya, termasuk mengenai hal-hal yang berkaitan dengan segala bentuk perlindungan hukum dan jaminan atas pemenuhan hak-hak warga negaranya dalam hal ini yaitu Pekerja Rumah Tangga atau disingkat sebagai PRT. Sehingga, diperlukannya suatu payung hukum yang mampu memberikan perlindungan serta pemenuhan hak-hak para PRT sebagai bagian dari warga negara, dan hal ini telah tercermin dalam konstitusi.
Selayaknya sebagai seseorang yang juga menerima upah, perintah dan pekerjaan, secara normatif sebenarnya PRT juga dapat disebut sebagai seorang pekerja yang juga berhak atas perlindungan dan pemenuhan hak-hak sebagaimana yang diterima pekerja pada umumnya, serta dapat dikatakan bahwa antara PRT dan pemberi kerja timbul suatu hubungan kerja.
Apabila kita mengaitkan hal ini dengan peraturan perundang-undangan mengenai ketenagakerjaan seperti contohnya yaitu UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, ketentuan di dalam undang-undang tersebut lebih mengatur terkait dengan hubungan antara pekerja/buruh dan pemberi kerja dalam sektor formal. Namun dalam praktiknya, sebagaimana kita tahu bahwa PRT belum masuk ke dalam sektor formal, hanya bergerak pada pekerjaan domestik pada sektor informal.
Pengaturan terkait dengan perlindungan PRT hingga saat ini masih berada di luar peraturan secara formal. Sebagai gantinya, hubungan kerja antara PRT dan pemberi kerja pada umumnya hanya diatur berlandaskan pada rasa saling percaya saja. Bagi sebagian pekerja, kepercayaan yang dibangun di antara kedua belah pihak ini dirasa sudah cukup, di antaranya yaitu mereka diperlakukan selayaknya sebagai anggota keluarga.
Namun, bagi sebagian pekerja yang lain, bentuk kepercayaan yang dibangun ini juga merupakan suatu hal yang tidak menguntungkan mengenai bentuk perlindungan mereka secara formal, karena tidak adanya regulasi yang mengatur secara tegas dan jelas terkait dengan perlindungan hukum dalam kaitannya mengenai pemenuhan hak-hak mereka sebagai seorang PRT. Karena belum adanya bentuk perlindungan hukum bagi PRT, mereka pun rentan diperlakukan secara diskriminatif dan dieksploitasi baik secara fisik, mental, emosional atau seksual, bahkan risiko terhadap human trafficking.
Mayoritas pekerja rumah tangga berasal dari kelompok masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah. Mereka bekerja dengan terjerat kemiskinan struktural dan pendidikan yang rendah, sehingga memaksa pekerja rumah tangga sering kali bekerja dengan relasi kuasa yang timpang dan posisi tawar yang sangat lemah.
Oleh karenanya, pekerja rumah tangga sering mendapatkan perlakuan diskriminasi, eksploitasi, tidak memiliki kebebasan dalam mengambil keputusan misalnya karena terikat jerat utang dengan pemberi kerja, pembatasan kebebasan secara fisik dan masih banyak lagi perlakuan yang dialami oleh PRT karena tidak mendapatkan perlindungan secara formal.
Dalam situasi yang dialami oleh para PRT dapat dikatakan bahwa para pekerja ini juga termasuk dalam kategori kaum rentan, karena banyak di antara mereka bekerja dalam situasi yang tidak layak seperti jam kerja yang panjang dan tidak dibatasi waktu, tidak adanya waktu istirahat dan libur, serta tidak mendapatkan jaminan sosial seperti pada bidang kesehatan.
Para PRT juga rentan terhadap segala bentuk tindak kekerasan, eksploitasi, pelecehan dan perendahan terhadap profesi. PRT tergolong angkatan kerja tetapi tidak diakui sebagai pekerja, sehingga dianggap pengangguran.
Pengesahan UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga menjadi suatu kebutuhan yang mendesak dan dinilai akan melahirkan sejarah baru dari penghapusan segala bentuk kekerasan dan diskriminasi terhadap PRT di Indonesia yang secara statistik jumlahnya mencapai 4,2 juta jiwa (Berdasarkan pada Data Survei ILO dan Universitas Indonesia pada tahun 2015) − bahkan mungkin saat ini jumlahnya sudah menyentuh lebih dari 5 juta jiwa − di mana 84 persennya adalah perempuan dan pekerja di bawah umur sebanyak 14 persen.
Enam belas tahun sejak RUU Perlindungan PRT ini diajukan untuk pertama kalinya pada tahun 2004, hingga saat ini masih tetap mandek di tingkat pembahasan. Melihat dari jangka waktu proses pembahasannya yang demikian, membuat hal ini dapat dikatakan sebagai bentuk pengabaian hak konstitusional para pekerja rumah tangga sebagai bagian dari warga negara oleh para pembuat kebijakan.
Hal ini terbukti dengan RUU Perlindungan PRT yang lagi-lagi gagal untuk dibawa ke paripurna pada 16 Juli 2020 karena dalam pembahasannya masih adanya fraksi yang menolak, walau sudah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (PROLEGNAS) prioritas pada tahun 2020. Sangat disayangkan, mengingat pembentukan undang-undang ini penting dan sangat dibutuhkan. “Masuk kategori prioritas, tetapi belum tentu prioritas untuk dibahas”, begitulah kurang lebih gambaran dari nasib rancangan undang-undang ini.
Selama ini kehadiran PRT dengan jumlah yang sedemikian rupa besarnya, nasib dan kelangsungan hidup PRT ini tidak berdiri sendiri, tetapi di belakangnya turut serta keluarga yang hidupnya juga menjadi bagian dari tanggungan mereka. Ketika PRT hidup dalam situasi atau kerja tidak layak, maka keluarga yang menggantungkan hidupnya pada PRT tersebut juga turut merasakan dampaknya. Hal ini merupakan suatu bentuk pengabaian terhadap warga negara yang hidup dalam kemiskinan dan minim perlindungan.
Jika menilik dan memahami kembali latar belakang permasalahan secara mendalam, sebenarnya tanpa PRT, maka aktivitas berbagai sektor publik akan terganggu, tidak akan berjalan secara optimal jika tidak adanya pekerja domestik yang membantu mengerjakan pekerjaan rumah tangga, mengingat jika dalam suatu keluarga terdapat pasangan suami istri yang sama-sama bekerja di ruang publik.
Bahkan, para pemberi kerja yang notabene menjadi bagian dari pembuat kebijakan di pemerintahan juga mempekerjakan PRT. Hal ini yang kemudian menunjukkan sesuatu hal yang sebenarnya “dekat di mata, tetapi jauh dari hati nurani”. Letak dari wajah pemberi kerja ada di mana-mana, ada di para pengambil keputusan baik di pemerintahan maupun legislator yang duduk di parlemen, baik di tingkat nasional maupun lokal. Wajah pemberi kerja juga ada di lingkungan keluarga kita, teman-teman kita, dan lingkungan masyarakat pada umumnya.
RUU Perlindungan PRT ini timbul atas dasar kekhawatiran para PRT mengenai upah, jam kerja, jaminan sosial dan kebebasan untuk berserikat yang sebenarnya hal ini merupakan bagian dari hak-hak dasar yang dimiliki oleh seorang pekerja yang harus dijamin serta dilindungi keberadaannya.
Kemudian, melalui rancangan undang-undang tersebut akan mengubah pola hubungan kerja antara PRT dan pemberi kerja di mana pada awalnya dalam hubungan kerja, tersebut posisi pemberi kerja sangat dominan sehingga hal ini yang kemudian mengarah pada bentuk-bentuk pengabaian terhadap hak-hak PRT.
Harapannya, setelah adanya undang-undang ini, pemberi kerja dapat dan harus membatasi dirinya terhadap peraturan-peraturan yang terkait dengan hubungan kerja. Namun demikian, RUU Perlindungan PRT ini tidak hanya memberikan perlindungan kepada PRT saja, akan tetapi juga memberikan perlindungan yang sama bagi pemberi kerja khususnya mengenai keseimbangan hak dan kewajiban antara PRT dan pemberi kerja.
Perlindungan terhadap PRT selama ini tidak diakomodasi dalam UU Ketenagakerjaan ataupun UU Cipta Kerja. Wilayah kerja yang bersifat domestik dan privat menyebabkan tidak adanya kontrol dan pengawasan dari Pemerintah, padahal dalam praktiknya rawan dan rentan terhadap diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan.
Sebagai amanat dari konstitusi, PRT sebagai bagian dari warga negara berhak untuk mendapatkan pengakuan, penghormatan, perlindungan, serta pemenuhan hak-hak dasar pekerja dan kesejahteraan sebagai pekerja dan warga negara. Oleh karenanya, melalui RUU Perlindungan PRT ini turut mengakomodasi hak-hak Pekerja Rumah Tangga sebagai bagian dari pekerja dan warga negara yang juga berhak untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak, seperti pengaturan mengenai ketentuan pengupahan, jam kerja dan istirahat, batasan usia minimum untuk boleh bekerja hingga jaminan sosial dan hal-hal lain yang mampu menunjang kualitas hidup PRT.
Adanya jaminan sosial bagi PRT dalam bentuk jaminan kesehatan seperti Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS), di mana mereka akan masuk sebagai bagian dari kategori Penerima Bantuan Iuran (PBI). Karena dalam praktiknya selama ini mayoritas PRT menerima upah yang rendah dan tidak sanggup berpartisipasi dalam program jaminan kesehatan demikian karena dalam hal pembayaran iurannya dianggap memberatkan mereka, sehingga jangankan ikut serta dalam program asuransi jaminan kesehatan, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri pun sulit.
Kemudian melalui pengaturan bentuk jaminan sosial lainnya pada bidang ketenagakerjaan dalam RUU ini, jaminan tersebut akan ditanggung bersama antara PRT dan pemberi kerja seperti jaminan hari tua, jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian. Untuk menjamin perlindungan serta peningkatan kualitas hidup PRT, melalui pengaturan RUU ini para PRT juga berhak atas pendidikan dan pelatihan yang bisa didapatkan secara gratis dan berkualitas melalui Balai Latihan Kerja (BLK) yang difasilitasi oleh Pemerintah dan dapat diakses oleh PRT baik di wilayah asal ataupun di wilayah kerja.
Dalam RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga ini, terminologi PRT tidak lagi disebut sebagai pembantu rumah tangga, melainkan pekerja rumah tangga. Hal ini bertujuan untuk memberikan pengakuan kepada mereka sebagai insan pekerja yang juga memiliki hak-hak istimewa. Bahwa selama ini segala bentuk diskriminasi dan stigmatisasi terhadap PRT dan pekerjaannya terbentuk karena adanya bias kelas yang terbentuk di masyarakat, bahwa PRT dianggap sebagai ras pekerjaan yang tidak memerlukan keterampilan, serta pekerjaan yang dianggap tidak bernilai ekonomis dan rendahan.
Padahal, sebenarnya profesi ini melekat pada pekerjaan yang dibutuhkan di rumah kita, dalam artian yaitu pekerjaan yang bersifat domestik atau menyangkut mengenai kebutuhan rumah tangga. Pekerjaan rumah adalah bagian dari agen kehidupan, karena hal tersebut berkaitan langsung dengan kebutuhan kehidupan sehari-hari seperti kebersihan, perawatan dan sebagainya. Kontribusi pekerjaan domestik secara tidak langsung sebenarnya berperan penting dalam bidang sosial ekonomi, bahkan secara psikis bagi pemberi kerja.
Sebagai perumpamaan, jika para pemberi kerja bekerja pada sektor publik, maka mereka tidak dapat sekaligus juga mengerjakan pekerjaan domestik atau melakukan dobel pekerjaan secara bersamaan, karena biasanya pemberi kerja yang bekerja pada sektor publik ini bekerja dari pagi hingga sore hari.
Secara fisik, ketika mereka selesai bekerja kemudian pulang ke rumah sudah dalam keadaan lelah. Jika memaksakan untuk melanjutkan pekerjaan domestik, maka hal ini akan berpengaruh pula pada meningkatnya tekanan secara psikis, yang kemudian hal ini dapat dikatakan berkontribusi juga terhadap keadaan psikologis seseorang.
Harapannya, melalui penjelasan di atas dapat membuka mata kita semua mengenai urgensi dari pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga ini. Walau sebenarnya hal ini juga merupakan bentuk inkonsistensi para pembuat kebijakan karena dalam praktiknya misalnya, untuk pekerja migran saja memperoleh perlindungan hukum, sedangkan pekerja yang bergerak pada sektor pekerjaan rumah tangga yang notabene bekerja di dalam negeri tidak diberi perlindungan. Serta, jika pekerja asing saja diberi perlindungan, maka selayaknya PRT sebagai bagian dari warga negara sekaligus pekerja dalam negeri juga berhak untuk mendapatkan keadilan dan perlindungan terhadap pemenuhan hak-hak mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H