Mayoritas pekerja rumah tangga berasal dari kelompok masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah. Mereka bekerja dengan terjerat kemiskinan struktural dan pendidikan yang rendah, sehingga memaksa pekerja rumah tangga sering kali bekerja dengan relasi kuasa yang timpang dan posisi tawar yang sangat lemah.
Oleh karenanya, pekerja rumah tangga sering mendapatkan perlakuan diskriminasi, eksploitasi, tidak memiliki kebebasan dalam mengambil keputusan misalnya karena terikat jerat utang dengan pemberi kerja, pembatasan kebebasan secara fisik dan masih banyak lagi perlakuan yang dialami oleh PRT karena tidak mendapatkan perlindungan secara formal.
Dalam situasi yang dialami oleh para PRT dapat dikatakan bahwa para pekerja ini juga termasuk dalam kategori kaum rentan, karena banyak di antara mereka bekerja dalam situasi yang tidak layak seperti jam kerja yang panjang dan tidak dibatasi waktu, tidak adanya waktu istirahat dan libur, serta tidak mendapatkan jaminan sosial seperti pada bidang kesehatan.
Para PRT juga rentan terhadap segala bentuk tindak kekerasan, eksploitasi, pelecehan dan perendahan terhadap profesi. PRT tergolong angkatan kerja tetapi tidak diakui sebagai pekerja, sehingga dianggap pengangguran.
Pengesahan UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga menjadi suatu kebutuhan yang mendesak dan dinilai akan melahirkan sejarah baru dari penghapusan segala bentuk kekerasan dan diskriminasi terhadap PRT di Indonesia yang secara statistik jumlahnya mencapai 4,2 juta jiwa (Berdasarkan pada Data Survei ILO dan Universitas Indonesia pada tahun 2015) − bahkan mungkin saat ini jumlahnya sudah menyentuh lebih dari 5 juta jiwa − di mana 84 persennya adalah perempuan dan pekerja di bawah umur sebanyak 14 persen.
Enam belas tahun sejak RUU Perlindungan PRT ini diajukan untuk pertama kalinya pada tahun 2004, hingga saat ini masih tetap mandek di tingkat pembahasan. Melihat dari jangka waktu proses pembahasannya yang demikian, membuat hal ini dapat dikatakan sebagai bentuk pengabaian hak konstitusional para pekerja rumah tangga sebagai bagian dari warga negara oleh para pembuat kebijakan.
Hal ini terbukti dengan RUU Perlindungan PRT yang lagi-lagi gagal untuk dibawa ke paripurna pada 16 Juli 2020 karena dalam pembahasannya masih adanya fraksi yang menolak, walau sudah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (PROLEGNAS) prioritas pada tahun 2020. Sangat disayangkan, mengingat pembentukan undang-undang ini penting dan sangat dibutuhkan. “Masuk kategori prioritas, tetapi belum tentu prioritas untuk dibahas”, begitulah kurang lebih gambaran dari nasib rancangan undang-undang ini.
Selama ini kehadiran PRT dengan jumlah yang sedemikian rupa besarnya, nasib dan kelangsungan hidup PRT ini tidak berdiri sendiri, tetapi di belakangnya turut serta keluarga yang hidupnya juga menjadi bagian dari tanggungan mereka. Ketika PRT hidup dalam situasi atau kerja tidak layak, maka keluarga yang menggantungkan hidupnya pada PRT tersebut juga turut merasakan dampaknya. Hal ini merupakan suatu bentuk pengabaian terhadap warga negara yang hidup dalam kemiskinan dan minim perlindungan.
Jika menilik dan memahami kembali latar belakang permasalahan secara mendalam, sebenarnya tanpa PRT, maka aktivitas berbagai sektor publik akan terganggu, tidak akan berjalan secara optimal jika tidak adanya pekerja domestik yang membantu mengerjakan pekerjaan rumah tangga, mengingat jika dalam suatu keluarga terdapat pasangan suami istri yang sama-sama bekerja di ruang publik.
Bahkan, para pemberi kerja yang notabene menjadi bagian dari pembuat kebijakan di pemerintahan juga mempekerjakan PRT. Hal ini yang kemudian menunjukkan sesuatu hal yang sebenarnya “dekat di mata, tetapi jauh dari hati nurani”. Letak dari wajah pemberi kerja ada di mana-mana, ada di para pengambil keputusan baik di pemerintahan maupun legislator yang duduk di parlemen, baik di tingkat nasional maupun lokal. Wajah pemberi kerja juga ada di lingkungan keluarga kita, teman-teman kita, dan lingkungan masyarakat pada umumnya.
RUU Perlindungan PRT ini timbul atas dasar kekhawatiran para PRT mengenai upah, jam kerja, jaminan sosial dan kebebasan untuk berserikat yang sebenarnya hal ini merupakan bagian dari hak-hak dasar yang dimiliki oleh seorang pekerja yang harus dijamin serta dilindungi keberadaannya.