Mohon tunggu...
Luthfi Farieza
Luthfi Farieza Mohon Tunggu... Mahasiswa - Saya adalah seorang yang bermain di ranah multimedia. Sekarang lebih kita kenal dengan sebutan industri kreatif. Disini saya akan membagikan sesuatu yang menurut saya pantas untuk dikenang.

Setiap manusia tentu memiliki beberapa sisi yang tidak diperlihatkan setiap saat. Entah itu baik buruk atau apapun bentuknya. Saya juga manusia dan tentu memiliki sisi berbeda. Luthfi

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Kampung Gir Pasang

2 November 2021   10:54 Diperbarui: 2 November 2021   11:01 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Awalnya, Ki Trusnosono tinggal di kawasan Kapuan di lereng Gunung Merapi, tidak jauh dari Gunung Bibi atau Gunung Ijo. Ki Trusnosono kemudian menerima perintah dari Raja Kraton Solo, memintanya untuk memilih lokasi yang dia akan memimpin. Ki Trunosono memilih punggungan bukit untuk menjadi pelopor Gir Pasang.  Ki Trusnosono memiliki sembilan orang anak. 

Di antara sembilan anak itu, mereka tersebar. Banyak anak yang tinggal di desa yang sekarang disebut Gir pasang, yaitu Ki Truno Pawiro, Ki Truno Rejo dan Rajiyo. Ki Truno Pawiro.  

Warga Girpasang melaksanakan tradisi apeman yang dilaksanakan setiap malam jumat legi (tanggalan jawa) di betuas tempat berkumpulnya warga. Saat memasuki putaran ketujuh tradisi apeman, warga menggelar tradisi golong berupa jamuan atau sering disebut juga kenduri, menghidangkan nasi golong atau nasi yang dibuat dengan di kepal-kepal. Tradisi ini diadakan untuk berterima kasih kepada warga atas rasa syukurnya atas hasil pertanian yang melimpah di muka bumi ini, yang masih bisa dinikmati hingga saat ini.

"Kata nenek moyang, tradisi ini bertujuan untuk memohon agar kebun bebas dari serangan hewan. Banyak kera di sini. Jika  menanam tanaman palwija dan jagung, akan diberi keselamatan"

Selain itu, ada tradisi khusus ketika warga menjual ternaknya (seperti sapi). Sebelum ternak itu berjalan menuruni tebing untuk dijual, warga menggelar upacara memetri. "Memetri seperti syukuran. jika harganya lebih dari 15 juta rupiah, hidangan ini bisa berupa ingkung dan nasi tumpeng. Tujuannya agar aman dan sampai di tujuan karena jalannya sangat rawan,"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun