Bandungan Bener merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) di Jawa tengah. Sebagaimana dimaksud pada Perpres No. 56 tahun 2017. Rencana konstruksi proyek bendungan telah dimulai sejak 2018 dan direncanakan selesai pada 2023 mendatang. Namun sampai saat ini masih mengalami kendala dalam pembangunanya oleh masyarakat desa Wadas dengan berbagai cara yang dilakukan, mulai dari penutupan jalan, walkout saat sosialisasi, hingga melakukan digitas activism.Â
Rentetan Kejadian di Desa Wadas
Gejolak perlawanan masyarakat desa Wadas untuk menolak pembangunan Bendungan Bener dimulai sejak 2018, dimana masyarakat pendapatkan pengumuman tentang pengadaan tanah untuk pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo dan Wonosobo yang dilanjutkan dengan penerbitan izin lingkungan dan pengumuman secara luas tentang rencana pembangunan bendungan tersebut. Wadas menjadi salah satu wilayah yang terkena dampak lingkungan dan menjadi lokasi pembebasan lahan untuk keperluan pembangunan Bendungan Bener yang dimana pemerintah dan pemrakasa sama sekali tidak menyerap kritik , saran, dan juga aspirasi dari sebagian masyarakat Desa Wadas yang menolak pembangunan bendungan dan penambangan batu andesit tersebut. Sebab, hal itu dikhawatirkan akan merusak 28 titik sumber mata air warga desa. Rusaknya sumber mata air akan berakibat pada kerusakan lahan pertanian dan lebih lanjut warga kehilangan mata pencaharian. Penambangan tersebut juga dikhawatirkan menyebabkan Desa Wadas semakin rawan longsor. Apalagi, berdasarkan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Purworejo 2011-2031, Kecamatan Bener, termasuk di dalamnya Desa Wadas, merupakan bagian dari kawasan rawan bencana tanah longsor. Dikutip dari laman resmi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, walhi.or.id, proyek tambang di Desa Wadas ini merupakan tambang quarry atau penambangan terbuka (dikeruk tanpa sisa) yang rencananya berjalan selama 30 bulan.Â
Penolakan tersebut masih berlanjut hingga sekarang, dimana pada April tahun 2021 sempat juga terjadi bentrok antara masyarakat Wadas dengan aparat yang mengakibatkan 9 orang pengunjuk rasa Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (Gempa Dewa) mengalami luka-luka dan berujung penangkapan terhadap 12 warga termasuk anggota tim LBH Yogyakarta. Masyarakat desa Wadas juga sempat mengajukan upaya gugatan  terkait adanya pelanggaran-pelanggaran pada proses pembangunan bendungan bener ke PTUN Semarang hingga ke tingkat kasasi dan berujung penolakan oleh pengadilan karena tidak terbukti. Hal ini yang kemudian mendasari BPN untuk mengadakan pengukuran tanah yang akan dijadikan bendungan bener.Â
DIkutip dari Kompas TV, sebelum adanya kericuhan, aparat kepolisian mendampingi tim Badan Pertanahan Nasional (BPN) melakukan pengukuran lahan untuk pembebasan pembangunan proyek Bendungan Bener di Desa Wadas. "Ada 250 petugas gabungan TNI, Polri dan Satpol mendampingi sekitar 70 petugas BPN dan Dinas Pertanian yang melaksanakan pengukuran dan penghitungan tanaman tumbuh," kata Kabid Humas Polda Jateng Kombes Pol M Iqbal Alqudusy. Saat sebelum mengadakan pengukuran tanah jaringan di Wadas mati semalaman, aliran listrik juga padam padahal desa sekitar menyala, diduga hal tersebut adanya indikasi sinyal di-take down sehingga terhambat untuk menggambarkan kondisi lapangan. Sejak kemarin ratusan aparat kepolisisan sudah melakukan apel dan mendirikan tenda di Lapangan Kaliboto, Belakang Polsek Bener yang bertepatan dengan pintu masuk Desa wadas. Pada pukul 11 siang, warga yang menolak tambang ditarik, didorong, dan dipukul. Hal ini terjadi karena dugaan provakator serta pembawaan senjata tajam(sajam) yang dituduhkan dengan tidak berdasar. Padahal  klaim provokator dan tindakan secara sepihak itu tidak dibenarkan dan tidak boleh dilakukan aparat, terutama untuk menjadi landasan bagi aparat melakukan tindakan represifitas terhadap warga Wadas. Kita tidak bisa melihat hal yang dilakukan aparat sebagi sesuatu yang perlu atau tidak, namun yang pasti adalah tindakan tersebut merupakan hal yang tidak etis dilakukan aparat terhadap masyarakat wadas. Seharusnya Polri sebagai aparat harusnya bisa menumbuhkan tingkat kepercayaan kepada masyarakat. Terlepas dari itu pergerakan aparat di desa Wadas juga diiringi dengan penangkapan warga dan advokat hukum dari LBH Yogyakarta. Total sudah ada 67 orang warga Wadas yang ditangkap termasuk juga dari LBH Yogyakarta. Pada hari rabu bertepat tanggal 9 Februari 2022 polisi melepaskan 64 orang, dan berjanji akan membebaskan warga Wadas yang ditangkap.
"Tindakan represi yang dilakukan aparat merupakan tindakan intervensi dari pemerintah untuk membungkam suara masyarakat wadas, padahal suara masyarakat wadas adalah hak mereka sebagai warga negara serta hak mereka atas tempat tinggal mereka. Adapun polemik yang terjadi sebagai kepentingan umum dengan kepentingan pribadi yang diasumsikan warga setempat. Warga desa Wadas merasakan haknya telah dilanggar atas haknya sebagai pemegang tanah." Kata yogi.
Hukum mengenai tindakan Represifitas Aparat
Langkah represi yang dilakukan oleh aparat tentu tidak dibenarkan didalam undang-undang. Sesuai Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi HAM yaitu Menimbang: bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang bertugas dan berfungsi untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Masyarakat Wadas hari ini mendapatkan hal yang bertentangan dengan apa yang tertera pada peraturan tersebut yaitu mengenai tindakan kekerasan, intimidasi, mengancam dan menakut-nakuti serta melakukan penangkapan terhadap sejumlah warga yang melakukan penolakan terhadap kegiatan pengukuran lahan yang akan dijadikan tambang oleh pemerintah daerah. Seperti yang kita ketahui bahwa terdapat konflik lahan di daerah Wadas, Jawa Tengah yang mengakibatkan perdebatan antara masyarakat Wadas dan aparat pemerintah.Â
Kedua mengenai Pengerahan anggota Kepolisian dengan jumlah yang sangat besar tidak sesuai dengan proporsionalitas, nesesitas, preventif dan masuk akal (reasonable) sebagaimana diatur dalam Perkap No. 1 Tahun 2009 tentang penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian yang bertujuan untuk memberikan pedoman bagi anggota POLRI dalam pelaksanaan tindakan kepolisian yang memerlukan penggunaan kekuatan sehingga terhindar dari tindakan yang berlebihan atau tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Campur Tangan Pemerintah Dalam Konflik Wadas
Menilik kembali mengenai pembangunan bendungan yang ada di desa Wadas yang masih menjadi polemic saat ini. Adapun penjelasan mengenai tujuan dibangunya bendungan bener yang merupakan bagian dari Prokyek Strategi Nasional (PSN) di Jawa Tengah terdapat pada perpres No. 56 tahun 2017. Proyek Strategis Nasional menjuru pada Perpres  pasal 1 ayat (1) merupakan Proyek Strategis Nasional adalah proyek dan program yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan suatu badan usaha yang memiliki sifat strategis untuk meningkatkan pertumbuhan dan pemerataan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan daerah. Bandungan tersebut dibangun karena mampu menjadi irigasi sawah, untuk memenuhi air baku, penangkal banjir, dan berpotensi untuk objek wisata baru. Dalam pembangunan proyek ini, pemerintah merangkul tiga badan usaha, yaitu  PT. Brantas Abipraya, PT. Pembangunan Perumahan, dan PT. Waskita Karya adalah tiga perusahaan BUMN yang memenangi lelang pembangunan bendungan di Desa Wadas. Ketiganya sama-sama bergerak di bidang pembangunan infrastruktur. Masing-masing bergerak di penyewaan alat berat, Pabrikasi bahan dan komponen bangunan, dan pencetakan beton serta pengecoran baja.
Adapun keuntungan adanya bendungan bener ini menurut Kepala Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Serayu Opak Kementerian PUPR Dwi Purwantoro suplai air lahan sawah beririgasi untuk 13.589 Ha daerah irigasi eksisting dan 1.110 Ha daerah irigasi baru, sumber pemenuhan air baku untuk masyarakat sekitar 1.500 liter/detik, pembangkit listrik di Kabupaten Purworejo sekitar 6 Mega Watt, serta mengurangi potensi banjir untuk Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Kulonprogo dengan nilai reduksi banjir 8,73 juta m3. Bekas bendungan pun rencananya akan dijadikan area pariwisata oleh pemerintah.
Melihat Konflik Wadas dari Sudut Pandangan Masyarakat
Walaupun ketika menilik proyek tersebut memiliki bebebrapa keuntungan. Tentu ada dampak yang ditimbulkan dari adanya pembanguan Bendungan Bener dan pembangunan tambang di desa Wadas terutama untuk masyarakat sekitar. Pembangunan tambang di Desa Wadas dianggap tidak memberikan banyak dampak baik kepada masyarakat, karena dengan dibabatnya hutan mereka, sama saja dengan memangkas mata pencaharian mereka. Warga Desa Wadas menghidupi kehidupan mereka melalui hasil alam yang melimpah: mulai dari kayu, bambu, madu, olahan nira, dan hasil tani lainnya yang masih melimpah ruah.Â
Hazim Muhammad (22), pelajar STAINU Purworejo, menggambarkan bahwa "Desa Wadas hidup bukan dari sektor industri. Sektor perekonomian kami adalah pertanian padi, kopi, dan rempah-rempah semacam vanili, kemukus, pala,". Praktis, proyek Bendungan Bener akan mematikan lahan produktif milik warga Desa Wadas, dan mematikan mata pencaharian mereka saat proses menambang batu andesit terjadi. Tambang juga membuat hubungan masyarakat jadi buruk, karena memecah belah masyarakat menjadi dua golongan, pro-tambang dan kontra tambang, padahal sebelumnya warga Desa Wadas sangatlah solid.
Ketidak setujuan warga juga muncul dari dampak bendungan yang ternyata lebih di prioritaskan untuk warga non Desa Wadas. Air dari bendungan ini nantinya akan didistribusikan kepada kawasan "aerotropolis" di daerah Bandara yogyakarta International Airport (YIA) yang diharapkan dapat mengundang investasi dan akselerasi ekonomi di daerah Kulon Progo.
Adanya rumah warga di atas tanah yang ingin dipakai menjadi lokasi tambang yang dianggap remeh oleh pemerintah juga memicu ketidak puasan. Pemerintah merasa tindakan mereka sudah terjustifikasi dengan uang ganti berjumlah minimal 120.000/meter. Sedangkan bagi kebanyakan penduduk Desa Wadas, alam mereka bukanlah komoditas komersial. Daerah tambang yang dijanjikan akan direklamasi pun ternyata masih menjadi lubang besar yang malah menghilangkan keseimbangan masyarakat setempat.
Pernyataan aman dari pejabat di Balai Besar Wilayah dan Sungai (BBWS), Yosiandi Radi Wicaksono juga perlu dikritisi. Yosiandi menyatakan bahwa radius 300 meter antar jarak penggalian dan pemukiman warga aman. Nyatanya, radius tersebut akan menimbulkan polusi suara kegiatan penambanganan.Â
Ketidak puasan warga Desa Wadas kemudian di perparah oleh sikap pemerintah serta aparatnya. Sosialisasi yang dilakukan pemerintah tidaklah damai, namun represif.Padahal seharusnya aparat yang memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk menghargai prinsip praduga tidak bersalah jelas tidak boleh melakukan tindakan represif. Dalam konteks penangkapan di Dusun Wadas seharusnya aparat melakukan penahanan dan pemeriksaan ditempat, bukan penangkapan. Dari segi hukum pun, jika ditelisik lebih lanjut, Amdal dari pembangunan ini dapat dikatakan tidak sempurna karena tidak menuliskan perihal penolakan warga desa Wadas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H