Mohon tunggu...
Luthfia Rizki
Luthfia Rizki Mohon Tunggu... Editor - Editor

Lifetime Learner | Humanities | Writing with purpose

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pasca Putus Cinta; Ditangisi atau Introspeksi?

17 Februari 2017   19:55 Diperbarui: 19 Februari 2017   08:44 1409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bukan, judul ini bukan untuk saya. Artikel ini terinspirasi dari kisah sahabat saya yang baru saja mengalami kejadian kurang menyenangkan. Yups, hal ini sebenarnya lazim terjadi di kalangan perempuan muda yang baru berumur awal 20-an seperti saya, yakni patah hati.

Sahabat saya sudah menjalani hubungan dengan pacarnya selama kurang lebih setahunan. Tapi saya mengetahui bahwa mereka sudah cukup dewasa dan serius antara satu dengan yang lain. Walaupun banyak rintangan dan terdapat beberapa visi yang berbeda di antara mereka, pada awalnya hubungan mereka berjalan sangat lancar. Sampai akhirnya ketika ia bercerita pada saya dan sahabat kami yang lain bahwa ia sudah putus, kami semua-pun kaget.

Putus cinta memang klise dan wajar terjadi dalam setiap hubungan antarpasangan. Banyak di antara kita yang berpikir, "Yaelah putus doang. Cari aja lah yang lain. Toh, banyak ikan di laut". Iya memang banyak ikan di laut, tetapi tidak mudah mendapatkannya begitu saja, kan? Tetap harus disertai usaha. Dari cerita sahabat saya, saya mengakui banyak penyebab putus cinta yang berkisah sama dengan teman saya yang lain ataupun dengan saya sendiri.

Kami sebagai sahabat tentu dengan senang hati menerima keluh kesah serta luapan emosi dari sahabat saya yang baru putus itu. Apa yang tidak dapat disampaikan ke pacarnya, kami suruh meluapkan amarahnya saja pada kami. Karena wanita hanya butuh didengar dan dimengerti, dengan itupun sudah membuat dia tenang.

Ketika sedang panas-panasnya meluapkan emosinya karena baru saja putus, banyak pertanyaan yang terlontar dari mulutnya. Hal-hal yang dia tidak kira sebelumnya akan terjadi, pada akhirnya semua telah terjadi dan itu cukup membuat dia shock. Saya juga sangat mengerti apa yang dia rasakan karena sempat berada di posisinya. Jujur saja, saya pun pernah mempertanyakan hal yang sama.

1. Kenapa sih putusnya mendadak, padahal minggu lalu baik-baik saja dan tidak ada masalah?

Masalah putus cinta kadang terjadi mendadak dan tentu tidak direncanakan. Siapa sih yang mau putus? Tentu tidak ada. Pertanyaan ini kurang lebih sama seperti, siapa sih yang mau terserang penyakit? Tentu tidak ada orang yang mau sakit juga. Biasanya sakit juga datang mendadak, sama seperti putus cinta bukan?

Biasanya putus cinta disebabkan oleh puncak masalah yang "terkesan" sudah berlarut-larut, sampai salah satu dari orang yang berpasangan tersebut sudah terlalu lelah hingga merasa menyerah. Tidak ada yang mau mengalah antara satu dengan yang lain. Jika dalam satu hubungan hanya ada satu orang yang berjuang sedangkan yang lainnya tidak, tentu akan sangat melelahkan.

Masalah menumpuk yang "sempat" sudah selesai itu akan kembali tersulut api jika ada salah satu pihak yang memancing atau mengungkitnya. Ketika "momen" putus itu "datang", mungkin inilah waktu yang tepat karena keduanya sudah terlalu lelah untuk mempertahankan hubungannya, dan mulai sadar bahwa hubungan ini sudah tidak sehat saking seringnya mereka berkonflik.

Disini sahabat saya mengakui bahwa permasalahan berawal dari bulan September 2016. Kemudian timbul masalah-masalah lain yang saling menumpuk akibat ego masing-masing. Lalu karena satu dan lain hal, masalah tersebut lama kelamaan menjadi seperti sebab-akibat. Dan pada akhirnya mereka saling mempertanyakan apakah hubungan ini masih ingin dipertahankan atau tidak.

2. Mengapa dia dengan mudah merelakan kita pergi? Padahal sudah banyak kenangan yang tercipta, mengapa dia tidak mempertimbangkannya?

Disinilah ego kita sebagai wanita mulai bermain. Pada dasarnya, wanita itu mudah sekali memaafkan pasangannya. Kesalahan apapun yang pernah dilakukan si pasangan, karena rasa sayang yang begitu besar, akan dengan mudah dimaafkan karena tertutup oleh hal atau kenangan indah yang pernah dilewati bersama pasangannya. Entah mengapa, mungkin seperti kutukan bahwa wanita mudah memaklumi kesalahan pasangannya.

Kemudian sahabat saya bercerita hanya karena satu kesalahan yang dia lakukan, pacarnya sulit memaafkan dan menerimanya kembali. Padahal menurut subjektif saya, hal yang dilakukan sahabat saya tidaklah fatal. Namun pada akhirnya, pacarnya tidak bisa terima dan memutuskan untuk memegang teguh satu prinsipnya yang menurut saya sedikit tidak masuk akal.

Dibandingkan prinsip sang lelaki yang sebetulnya agak "remeh" itu, seharusnya bisa tertutupi oleh kebaikan dan ketulusan sahabat saya dalam menjalin dan mempertahankan hubungan mereka. Tapi yah... cuma mereka yang berhak memutuskan, karena bagaimanapun mereka sendiri yang menjalani hubungan tersebut.

3. Saya menyesal. Kita putus gara-gara saya.

"Oh dear, itu bukan salah lo", itu yang kami ucapkan untuk menenangkan sahabat kami. Karena satu hal yang melanggar "prinsip" sang pacar tersebut, sahabat saya menyesal berkepanjangan dan selalu bergumam bahwa apabila ia tidak melakukannya, sang pacar tidak akan mengakhiri hubungan mereka.

Menurut saya pikiran ini hanyalah luapan emosi semata. Karena ketika putus, berbagai pikiran negatif pun menyeruak bebas tanpa bisa kita atur- dalam otak atau hati. Mulai dari sini, sering kita berandai-andai dengan kata "jika". Contohnya, jika dulu saya tidak egois, pasti si dia (pasangan) akan lebih sabar. Jika dulu saya tidak melakukan kesalahan itu, dia tidak akan memutuskan saya, dan seterusnya.

Namun, percayalah, mengenai hubungan yang kandas itu bukan merupakan kesalahan dari pihak wanita saja. Tidak seharusnya menyesal berkepanjangan dan terus menyalahkan diri sendiri. Kesalahan terletak pada dua-duanya, sang lelaki dan wanita. Karena sebagai manusia normal, kita semua pasti pernah melakukan kesalahan.

Dengan segala permasalahan yang ada, sisanya kita hanya bisa tabah dan bersabar saja terhadap hal yang sudah "sang mantan" lakukan. Setelah putus, pilihan terletak pada kita sendiri, mau seperti apa ke depannya. Pun memang cuma kita sendiri yang bisa dan berhak menentukan karena hanya kita yang memahami "kadar" masalah penyebab putus tersebut. Akankah nanti balikan dengan sang mantan, atau memilih move on karena setelah dipertimbangkan semuanya dengan matang, he doesn't deserve you anymore.

"No relationship is ever a waste of time. If it didn't bring you what you want, it taught you what you don't want." - Unknown.

(FIA)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun