Mohon tunggu...
Muhammad Luthfi Damanhuri
Muhammad Luthfi Damanhuri Mohon Tunggu... -

tralala tralili

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hadis yang Dijadikan Landasan Asuransi Jiwa (Syariah)

31 Mei 2015   16:10 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:25 4011
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عَنْهُ قال : اِقْتَلَتْ اِمْرَأَتَانِ مِنْ هُزَيْلٍ فَرَمَتْ اِحْدَاهُمَا الْاُخْرَى بِحَجَرٍ فَقَتَلَتْهَا وَمَا فِي بَطْنِهَا فَاخْتَصَمُوا إِلَى النَّبِي ص م , فَقَضَى أَنَّ دِيَةً جَنِيْنِهَا غُرَّةٌ أَوْوَلِيْدَةٌ وَقَضَى دِيَةً الْمَرْأَةِ عَلَى عَاقِلَتِهَا.

Diriwayatkan dari Abū Hurayrah ra, dia berkata: Berselisih dua orang wanita dari suku Huzail, kemudian salah satu wanta tersebut melempar batu ke wanita yang lain sehingga mengakibatkan kematian wanita tersebut beserta janin yan dikandungnya. Maka ahli waris dari wanita yang meninggal tersebut mengadukan peristiwa tersebut kepada nabi Muhammad saw., maka Rasululah saw., memutuskan ganti rugi dari pembunuhan dari janin tersebut dngan pembebasan seorang budak laki-laki atau perempuan, dan memutuskan ganti rugi kematian wanita tersebut dengan uang darah (diyat) yang dibayarkan oleh āqilah-nya (kerabat dari orang tua laki-laki). (HR. Bukhārī).

Hadis diatas menjelaskan tentang praktik ‘Āqilah yang telah menjadi tradisi di masyarakat Arab. ‘Āqilah dalam hadis diatas dimaknai dengan aṣābah (kerabat dari orang tua laki-laki) yang mempunyai kewajiban menanggung denda (diyat) jika ada salah satu anggota sukunyamelakukan pembunuhan terhadap anggota suku yang lain.

Menurut pandangan Thomas Patrick hadis diatas menunjukkan konsep asuransi dalam Islam bukanlah hal baru, karena sudah ada sejak zaman Rasulullah saw. yang disebut dengan ‘Āqilah. Bahkan menurut Thomas Patrickdalam bukunya Dictionary of Islam, hal ini sudah menjadi kebiasaan suku Arab sejak zaman dulu bahwa, jika ada salah satu anggota suku yang terbunuh oleh anggota dari suku lain lain, pewaris korban akan dibayar sejumlah uang darah (diyat) sebagai kompensasi oleh saudara terdekat dari pembunuh. Saudara terdekat pembunuh tersebut yang disebut ‘Āqilah, harus membayar uang darah atas nama pembunuh.

Menurut Muḥammad Muḥsīn Khan, kata ‘Āqilah berarti Aṣābah yang menunjukkan hubungan ayah dengan pembunuh. Oleh karena itu, ide pokok dari ‘Āqilah adalah suku Arab zaman dulu harus siap untuk melakukan kontribusi finansial atas nama pembunuh untuk membayar pewaris korban. Kesiapan untuk membayar kontribusi keuangan sama dengan premi praktek asuransi sementara kompensasi yang dibayar berdasarkan al-‘Āqilah mungkin sama dengan nilai pertanggungan dalam praktek asuransi sekarang, karena itu merupakan bentuk perlindungan finansial untuk pewaris terhadap kematian yang tidak diharapkan dari sang korban.

Pada perkembangan selanjutnya, sebagaima Shaikh Ibn Hajar al-‘Asqalānī menjelaskan dalam Fatḥ al-Bārī, dengan datangnya Islam, sistem ‘Āqilah diterima oleh Rasulullah saw menjadi bagian dari hukum Islam hal tersebut dapat dilihat pada hadis Nabi saw dalam pertengkaran antara dua wanita dari suku  Huzail.

“Diriwayatkan oleh Abū Hurayrah ra. yang mengatakan: pernah dua wanita dari suku Huzail bertikai ketika seorang dari mereka memukul yang lain dengan batu yang  mengakibatkan kematian wanita itu dan jabang bayi dalam rahimnya. Pewaris korban membawa kejadian itu ke pengadilan Nabi Muhammad saw. yang memberikan keputusan bahwa kompensasi bagi pembunuh anak bayi adalah membebaskan seorang budak laki-laki atau perempuan sedangkan kompensasi atas membunuh wanita adalah uang darah (diyat) yang harus dibayar oleh ‘Āqilah (saudara pihak ayah) dari yang tertuduh.

Murtadha Mutahhari, ketika menjelaskan tentang al-Diyat `ala al-‘Āqilahmengatakan bahwa ungkapan al-Diyat ‘ala al-‘Āqilahmerupakan ungkapan yang sangat masyhur. Sebagian orang mengira bahwa kata ‘Āqilah berasal dari kata `aql (akal), sehingga ungkapan itu diartikan  denda yang dibebankan kepada orang yang berakal (sudah dewasa). Padahal tidak demikian, melainkan ‘Āqilah merupakan istilah tersendiri. Di dalam bahasa Arab, di antara makna al-`aql adalah denda dan al- `aqil adalah orang yang membayar denda. Dalam beberapa kasus Islam membebankan denda asuransi kepada orang lain (bukan yang melakukan pelanggaran). Namun di dalam al-Diyah, yang menjadi sebab adalah bukan kesengajaan, melainkan karena kekeliruan. Apabila al-Diyah itu disebabkan kesengajaan, maka tidak ada asuransi yang memikul tanggung jawab ini. Karena itu disyaratkan agar kerusakan itu tidak disebabkan kesengajaan. Di dalam masalah al-Diyah, para ulama mengatakan, “wajib membayar denda terhadap sebagian kerusakan yang disebabkan kekeliruan seperti pembunuhan atau melukai karena kekeliruan atau kelalaian”.

MM Billah dalam disertasi doktornya mengatakan bahwa piagam (konstitusi)  Madinah, Konstitusi pertama di dunia yang dipersiapkan  langsung oleh Nabi Muhammad saw. setelah hijrah ke Madinah, di dalam beberapa pasalnya memuat ketentuan tentang asuransi sosial dengan sistem ‘Āqilah. Dalam pasal 3 Konstitusi Madinah: Rasul saw membuat ketentuan mengenai penyelamatan jiwa para tawanan, yang menyatakan bahwa jika tawanan  yang tertahan oleh musuh  karena perang harus membayar tebusan kepada musuh untuk membebaskan yang ditawan. Konstitusi tersebut merupakan bentuk lain dari asuransi sosial.

Konstitusi tersebut yang berisi tentang; “Imigran di antara Quraisy harus bertanggung jawab untuk membebaskan tawanan dengan cara membayar mereka tebusan supaya kolaborasi yang saling menguntungkan di antara orang-orang yang percaya sejalan dengan prinsip kebaikan dan keadilan”.

Adapun penjelasan hadis di atas, sebagaimana dijelaskan oleh Ibn Hajar al-‘Asqalānī dalam Fatḥ al-Bārī. (Bab janinnya yang dikandung wanita, dan bahwa tebusannya menjadi tanggungan ayah dan ashabah ayahnya, bukan tanggungan anak). Pada bab ini Imām Bukhārī menyebutkan hadis Abū Hurairah dari dua jalur yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, al-Ismailī berkata, “Demikian al-Bukhārī mencantumkan judulnya, bahwa tebusan (diyat) ditanggung oleh ayah dan ashabah ayah, sementara dalam hadisnya tidak menyebutkan keharusan ayah menanggung denda itu. Jika yang yang dimaksud adalah ibu yang melakukan tindakan baik dia hidup atau pun mati, maka diyatnya menjadi tanggungan ashabah-nya.

Yang bisa dijadikan pedoman adalah pendapat yang dikemukakan oleh Ibn Baṭṭāl. Maksudnya, diyat perempuan yang terbunuh menjadi tanggungan ayahnya perempuan yang membunuh dan aṣabah-nya.

Ibn Hajar memberi penjelasan lagi, bahwa ayahnya dan ashabah ayahnya adalah ashabah-nya, maka ini sesuai dengan redaksi hadis pertama pada bab ini, وَأَنَّ اْلعَقْلَ عَلىَ عَصَبَتِهَا (dan bahwa diyatnya menjadi tanggungan ashbahnya). Ini dijelaskan juga oleh redaksi hadis kedua pada bab ini, وَقَضَى أَنَّ دِيَةَ اْلمَرْأَةِ عَلَى عَاقِلَتِهَا (dan beliau memutuskan bahwa diyatnya perempuan itu ditanggung oleh aqilahnya). Imām Bukhārī menyebutkannya dengan kata اْلوَالِدُ (ayah) untuk mengisyaratkan kepada lafaz pada sebagian jalur periwayatan kisah ini.

Kemudian redaksi “bukan tanggungan anak”, Ibn Baṭṭāl berkata, “Maksudnya, anaknya perempuan itu, jika tidak termasuk ashabah-nya maka tidak turut serta menanggung diyatnya, karena diyatnya menjadi tanggungan ashabah selain dzaw al-arḥām. Karena itulah saudara-saudara seibu tidak turut menanggung diyatnya. Konotasi hadis ini, bahwa orang yang mewarisinya tidak menanggung diyatnya jika dia tidak termasuk ashabah-nya.” Pernyataan ini telah disepakati oleh para ulama seperti yang dikemukakan oleh Ibn al-Mundzīr.

Ibn Hajar mengemukakan bahwa dalam riwayat Usamah bin ‘Umar disebutkan, فَقَالَ أَبُوْهَا: إِنَّمَا يَعْقِلُهَا بَنُوْهَا. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الدِّيَةُ عَلىَ الْعَصَبَةِ (ayahnya kemudian berkata, “semestinya diyatnya ditanggung oleh anak-anak. “Maka Nabi saw bersabda, “Diyat ditanggung oleh ashabah [kerabat]).

Kemudian penulis juga menambahkan ayat sehubungan permasalahan terkait diyat yang ada hubungannya dengan asuransi yang oleh pembunuh diberi maaf oleh wali yang terbunuh, meskipun ada syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi. Penulis  dengan merujuk potongan sebuah ayat QS. al-Baqarah: 178, فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيْهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِاْلمَعْرُوْفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ, (Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah [yang memaafkan] mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah [yang diberi maaf] membayar [diyat] kepada orang yang memberi maaf dengan cara yang baik pula).

Imām al-Qurṭubī memberi penjelasan kata مِنْ maksudnya adalah si pembunuh, sedangkan kata عُفِيَ berisikan makna pemaafan dari wali orang yang terbunuh. Adapun kata أَخِيْهِ kembali kepada orang yang terbunuh, dan kata شَيِءٌ adalah nyawa yang direlakan untuk diberi maaf, yaitu kembali kepada pengambilan diyatnya. Ini adalah pendapat dari Ibn Abbās, Qatadah, Mujāhid dan sebagian besar ulama lainnya.

Oleh karena itu, maka makna pemaafan menurut pendapat ini adalah benar-benar berarti ampunan, dan meninggalkan hukuman yang seharusnya diberikan. Yakni, bahwasannya jika si pembunuh telah diberikan maaf, diampuni nyawanya, dan dibebaskan dari hukuman qiṣṣāṣ oleh wali dari orang yang terbunuh. Maka dengan demikian wali tersebut berhak untuk mengambil diyatnya dan melanjutkan hubungan mereka dengan baik. Begitu juga halnya dengan si pembunuh yang diberikan maaf, ia harus memberikan diyat kepada wali tersebut dengan baik, sebagai pengganti nyawanya yang dimaafkan. Hal ini oleh penulis pahami pada kasus ini, seperti asuransi yang harus diberikan kepada keluarga korban yang mendapatkan musibah.

Menurut penulis hadis tentang ‘Āqilah belum tepat  jika diterapkan dalam ranah asuransi karena maksud ‘Āqilah disini adalah jika ada salah satu anggota sukunya melakukan pembunuhan terhadap anggota suku yang lain (kerabat dari orang tua laki-laki) yang mempunyai kewajiban menanggung denda (diyat), dengan kata lain orang yang membunuh-lah yang menanggung kerugian. Berbeda dengan sistem asuransi sekarang ini yang mana pihak yang menanggung kerugian adalah anggota asuransi dan  dana yang diambil dari iuran anggota.

Imām Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Kitāb Diyat, no 45, h. 34.

AM Hasan Ali, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam – Suatu Tinjauan Analisis Historis, Teoritis & Praktis (Jakarta: Prenada Media, 2004) cet. I, h. 115.

Thomas Patrick. Dalam M.M.Billah. Principles And Practices Of Takaful And Insurance Compared (Malaysia: International Islamic University, 2001), h. 4.

Muhammad Muhsin Khan, Dr. the Translation Of The Meanings Of Shahih Bukhari. (Pakistan: Lahore, 1979). Juga lihat Thomas Patrick. Dalam M.M.Billah, h. 3-4.

Aḥmad Ibn Hajar al-‘Asqalānī, Fatḥ al-Bārī, vol 12. (Lahore Pakistan: Naṣr al-Kutūb Islamīyah, 1981), h. 296.

Imām Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Kitāb al-Diyat, h. 193.

Murtadha Mutahhari, Asuransi dan Riba(Jakarta: Pustaka Hidayah, 1995), h. 312.

Mohd Ma`sum Billah, Principles & Practices Of Takaful And Insurance Compared, h. 6.

Aḥmad Ibn Hajar al-‘Asqalānī, Fatḥ al-Bārī, vol 33: Shahih Bukhari, terj. Amir Hamzah (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 697-698.

Aḥmad Ibn Hajar al-‘Asqalānī, Fatḥ al-Bārī, h. 698.

Aḥmad Ibn Hajar al-‘Asqalānī, Fatḥ al-Bārī, h. 698.

Aḥmad Ibn Hajar al-‘Asqalānī, Fatḥ al-Bārī, h. 698.

Abū ‘Abdillāh Muḥammad al-Qurṭubī, al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān, terj. Fathurrahman dan Ahmad Hotib, ta’līq: Muḥammad Ibrahīm al-Hifnawī, takhrīj: Maḥmūd Ḥamid ‘Uthmān (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), Juz.I , h. 583.

al-Qurṭubī, al-Jāmi’, h. 583-584.

Jenis Asuransi:

asuransi kesehatan

Asuransi Pendidikan

Asuransi Dana Pensiun

Asuransi Prudential

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun