Ibn Hajar mengemukakan bahwa dalam riwayat Usamah bin ‘Umar disebutkan, فَقَالَ أَبُوْهَا: إِنَّمَا يَعْقِلُهَا بَنُوْهَا. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الدِّيَةُ عَلىَ الْعَصَبَةِ (ayahnya kemudian berkata, “semestinya diyatnya ditanggung oleh anak-anak. “Maka Nabi saw bersabda, “Diyat ditanggung oleh ashabah [kerabat]).
Kemudian penulis juga menambahkan ayat sehubungan permasalahan terkait diyat yang ada hubungannya dengan asuransi yang oleh pembunuh diberi maaf oleh wali yang terbunuh, meskipun ada syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi. Penulis dengan merujuk potongan sebuah ayat QS. al-Baqarah: 178, فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيْهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِاْلمَعْرُوْفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ, (Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah [yang memaafkan] mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah [yang diberi maaf] membayar [diyat] kepada orang yang memberi maaf dengan cara yang baik pula).
Imām al-Qurṭubī memberi penjelasan kata مِنْ maksudnya adalah si pembunuh, sedangkan kata عُفِيَ berisikan makna pemaafan dari wali orang yang terbunuh. Adapun kata أَخِيْهِ kembali kepada orang yang terbunuh, dan kata شَيِءٌ adalah nyawa yang direlakan untuk diberi maaf, yaitu kembali kepada pengambilan diyatnya. Ini adalah pendapat dari Ibn Abbās, Qatadah, Mujāhid dan sebagian besar ulama lainnya.
Oleh karena itu, maka makna pemaafan menurut pendapat ini adalah benar-benar berarti ampunan, dan meninggalkan hukuman yang seharusnya diberikan. Yakni, bahwasannya jika si pembunuh telah diberikan maaf, diampuni nyawanya, dan dibebaskan dari hukuman qiṣṣāṣ oleh wali dari orang yang terbunuh. Maka dengan demikian wali tersebut berhak untuk mengambil diyatnya dan melanjutkan hubungan mereka dengan baik. Begitu juga halnya dengan si pembunuh yang diberikan maaf, ia harus memberikan diyat kepada wali tersebut dengan baik, sebagai pengganti nyawanya yang dimaafkan. Hal ini oleh penulis pahami pada kasus ini, seperti asuransi yang harus diberikan kepada keluarga korban yang mendapatkan musibah.
Menurut penulis hadis tentang ‘Āqilah belum tepat jika diterapkan dalam ranah asuransi karena maksud ‘Āqilah disini adalah jika ada salah satu anggota sukunya melakukan pembunuhan terhadap anggota suku yang lain (kerabat dari orang tua laki-laki) yang mempunyai kewajiban menanggung denda (diyat), dengan kata lain orang yang membunuh-lah yang menanggung kerugian. Berbeda dengan sistem asuransi sekarang ini yang mana pihak yang menanggung kerugian adalah anggota asuransi dan dana yang diambil dari iuran anggota.
Imām Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Kitāb Diyat, no 45, h. 34.
AM Hasan Ali, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam – Suatu Tinjauan Analisis Historis, Teoritis & Praktis (Jakarta: Prenada Media, 2004) cet. I, h. 115.
Thomas Patrick. Dalam M.M.Billah. Principles And Practices Of Takaful And Insurance Compared (Malaysia: International Islamic University, 2001), h. 4.
Muhammad Muhsin Khan, Dr. the Translation Of The Meanings Of Shahih Bukhari. (Pakistan: Lahore, 1979). Juga lihat Thomas Patrick. Dalam M.M.Billah, h. 3-4.
Aḥmad Ibn Hajar al-‘Asqalānī, Fatḥ al-Bārī, vol 12. (Lahore Pakistan: Naṣr al-Kutūb Islamīyah, 1981), h. 296.
Imām Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Kitāb al-Diyat, h. 193.