A. Definisi Teori Politik Klasik
Politik adalah proses sekelompok orang dalam menghasilkan keputusan yang melibatkan otoritas untuk mengatur sumber daya publik, menyelesaikan konflik, dan membuat kebijakan yang berdampak ke masyarakat (Heywood, 2013). Teori politik klasik adalah pemikiran dasar oleh filsuf awal, mengeksplorasi pertanyaan terkait pemerintahan, keadilan, kekuasaan, dan bentuk negara (Dryzek, et al., 2008).
B. Sejarah Teori Politik Yunani Kuno
Di wilayah Athena, pemikiran dasar politik Yunani dikemukakan oleh beberapa filsuf. Sokrates (469-399 SM) menjadi bapak dari filosofi barat. Sokrates tidak menuangkan pemikirannya ke dalam buku, namun muridnya Plato menulis buku terkait ajaran Sokrates. Sokrates menekankan pentingnya etika dan kebajikan dalam politik. Beliau berpendapat bahwa pemerintahan seharusnya dipimpin oleh seseorang yang memiliki kebijaksanaan dan integritas moral atau philosopher-kings (Taylor, 2000). Plato (427-347 SM) dalam bukunya “The Republic” berpendapat bahwa dalam masyarakat hierarkis, masing-masing orang memiliki kedudukan, peran, dan tugas masing-masing untuk kebaikan bersama. Beliau memperkenalkan konsep “The Forms” yang menjadi panduan dalam kehidupan moral dan politik (Schofield, 2006). Aristoteles (384-322 SM) murid dari Plato, melakukan pendekatan empiris. Di dalam bukunya “Politics”, beliau mengungkapkan pada dasarnya manusia menyerupai binatang untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Sehingga diperlukan semacam pemerintahan untuk hidup yang lebih baik. Aristoteles menyukai pemerintahan konstitusional yang dapat menyeimbangkan kebutuhan dari beragam kelas sosial, dalam rangka stabilitas dan keadilan (Lockwood & Samaras, 2015). Sofis (guru-guru pengembara) di Yunani pada abad ke-5 memiliki perspektif yang berbeda dari filsuf sebelumnya. Mereka berpendapat bahwa hukum dan norma etika adalah konstruksi manusia. Berbeda dengan ajaran Socrates dan Plato yang percaya pada kebenaran moral objektif (Guthrie, 1971). Stoik muncul pada abad ke-3 SM memperkenalkan ide “cosmopolis”, sebuah kota universal dengan anggapan bahwa semua orang adalah masyarakat. Filsuf seperti Zeno of Citium menekankan hidup penyelarasan diri dengan alam dan bersikap rasional, mengikuti hukum alam yang melampaui kebiasaan lokal (Holowchak, 2008).
C. Sejarah Teori Politik Romawi
Dalam ekspansi besar-besaran kekaisaran Romawi, pemikiran politik berevolusi secara signifikan. Cicero (106-43 SM) merupakan seorang pengacara dan orator, menulis dalam bukunya “On the Republic” dan “On Duties” menekankan pentingnya keadilan dan kebaikan bersama dalam pemerintahan (Hammer, 2014). Seneca (4 SM-65 M) juga berkontribusi dalam pemikiran politik Romawi. Beliau mengemukakan pentingnya tanggung jawab moral oleh penguasa (Griffin, 1992). Marcus Aurelius (121-180 M) terkenal karena bukunya “Meditations” mengemukakan pentingnya rasionalitas, disiplin diri, dan kebajikan dalam kepemimpinan. Beliau merupakan Kaisar Romawi yang banyak menghadapi perang dan konflik politik sehingga melakukan refleksi diri hingga mendalami prinsip stoik (Stephens, 2012). Epictetus (50-135 M) mengajarkan pentingnya inner-freedom dan kontrol diri. Epictetus percaya bahwa kebebasan sejati berasal dari dalam diri yang mana seharusnya individu fokus pada apa yang dikontrol daripada bergantung pada kondisi eksternal (Long, 2002).
D. Sejarah Teori Politik Tiongkok
Konfusius (551-479 SM) merupakan filsuf Tiongkok paling populer. Ajarannya dikumpulkan dalam buku “Analects”. Beliau mengajarkan pentingnya moralitas, kesesuaian perilaku, dan harmoni sosial. Konfusius menyukai sistem hierarkis dengan pemimpin yang menjadi teladan dan mengembangkan kebajikan (Schuman, 2015). Mencius (372-289 SM) mengembangkan pemikiran Konfusius. Beliau berpendapat bahwa penguasa harus mencontohkan moral yang baik dan pemerintah harus memperhatikan kesejahteraan rakyat (Norden, 2008). Laozi pada abad ke-6 SM memiliki pemikiran yang kontras dengan Konfusius. Beliau memiliki ide Daoisme yang mana setuju dengan intervensi pemerintahan yang minim dan penguasa yang baik sedikit memerintah dan membiarkan rakyat menentukan jalannya sendiri (Meyer, 2012). Xunzi (310-235 SM) berpendapat bahwa manusia pada hakikatnya egois dan membutuhkan hukum yang ketat serta perlu pendidikan untuk mengembangkan kebajikan. Pemikirannya ini memunculkan konsep Legalisme (Hutton, 2014). Han Feizi (280-233 SM), pengikut Legalisme, mengemukakan ide bahwa negara yang kuat bersifat sentral dan memiliki aturan yang ketat serta konsekuensi hukuman yang tegas (Watson, 2003). Mozi (470-391 SM), pencetus Mohisme, mengemukakan ide cinta yang menyeluruh dan meritokrasi. Beliau berpendapat bahwa penguasa dipilih berdasarkan kemampuan, bukan berdasarkan usia (Fraser, 2016). Zhu Xi (1130-1200 M), pencetus Neo-Konfusianisme, berpendapat bahwa pemikiran Konfusian, Daois, dan Buddhis menekankan pentingnya pengembangan dan integritas moral dalam pemerintahan (Ivanhoe, 2019).
E. Sejarah Teori Politik India