Mohon tunggu...
Luthfiah Rima Hayati
Luthfiah Rima Hayati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi di Universitas Riau

Seorang mahasiswi Pendidikan Guru Sekolah Dasar yang tertarik pada dunia kepenulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rasa Sakit Zia

11 Februari 2024   18:46 Diperbarui: 12 Februari 2024   13:41 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Koleksi Pribadi Edited on Canva

Suara tangisan itu beradu dengan suara ketukan pintu yang tidak henti-hentinya terdengar sejak beberapa menit yang lalu. Terdengar pedih, entah apa yang telah terjadi pada gadis di kamar sempit itu. 

Malam semakin larut, kini hanya terdengar suara jam dinding yang terpasang di kamar itu. Zia tampak lebih baik jika sedang tidur. Selimut tidak lagi membungkus seluruh tubuhnya, kini hanya sampai pinggang. Air mata bahkan belum mengering di wajah gadis manis itu. 

Matahari sudah naik dan tampak bersemangat menyinari bumi hari ini. Tubuh gadis itu tampak lebih kurus. Dengan kondisi seperti sekarang, make up bahkan tidak bisa membantu gadis itu tampil jauh lebih baik. 

Zia tidak punya niat membersihkan diri hari ini. Hari-hari seperti ini sudah sering kali datang di hidupnya. Dia akan menangis di malam hari dan bangun di siang hari dengan penampilan kacau. 

Dengan langkah berat gadis itu keluar kamar. Kulkas tidak lagi terisi, hanya ada beberapa minuman soda dan sebuah telur. Zia menghela nafas berat. 

Dia meminum minuman soda itu sembari bersandar di kulkasnya. Mata gadis itu terpejam sembari menikmati minumannya. Sudah lama dia tidak mengisi kulkas. 

Zia keluar dari dapur, mengamati rumahnya yang tampak kacau. Rumah itu seperti tidak layak huni. Di sebuah meja yang berada di sudut, tampak ada sebuah bingkisan. 

Zia melangkah ke sudut ruangan, memperhatikan bingkisan yang bertuliskan "Selamat Ulang Tahun." Dia membiarkan bingkisan itu disitu dan kembali ke kamarnya.

Saat ingin menaiki tangga, langkah kaki gadis itu berhenti. Kembali diperhatikannya semua sudut bangunan yang sudah dia tempati sejak lahir. Rumah ini punya banyak kenangan. Tetapi, entah mengapa hanya kenangan dengan rasa sakit yang Zia ingat.

Di mata gadis itu kini terlihat bayangan bagaimana Ayah memarahinya. Ibu hanya menangis tanpa bisa berbuat apa-apa. 

Bayangan lainnya mengingatkan Zia ketika kedua orang tuanya bertengkar hebat. Ayah pergi dari rumah, Ibu bahkan tidak menahannya. Zia membenci Ibu. Ibu membiarkan Ayah pergi meninggalkan mereka.

Air mata gadis itu kembali mengalir. Rumah ini dulunya punya cerita bahagia. Rumah ini dulunya ditempati keluarga cemara. Zia rindu rumahnya yang dulu. Ini rumah yang sama, tetapi dengan suasana yang berbeda.

Tubuh gadis itu meluruh, tidak sanggup menahan rasa sakitnya lagi. Suara ketukan malam tadi terasa nyata, tetapi Zia tau itu hanya imajinasinya. 

Zia sedang bergumul dengan rasa sakitnya. Suara ketukan pintu kerap terdengar, tetapi tidak ada suara manusia yang menyertainya. Kulkas tidak lagi terisi. Di dalam bingkisan yang ada di meja tadi, ada hadiah lampu belajar yang Ibu beri, tetapi Ibu sudah pergi.

Dulu Ibu selalu mengetuk pintu kamarnya, meminta gadis itu untuk turun dan makan bersama. Dulu kulkas selalu terisi, karena Ibu tau Zia hanya ingin makan masakannya sendiri. 

Dulu, Zia punya lampu belajar di kamar, tetapi tanpa sengaja Ibu rusak setelah bertengkar dengan dirinya. Zia mungkin membenci Ibu, tetapi dalam hatinya dia rindu. 

Ketika Ayah pergi, Ibu berusaha menjadi figur Ibu dan Ayah sekaligus untuk Zia. Tetapi Zia tidak pernah terima. Ibu dan Ayah keras kepala, karena itu Zia juga.

Di rumah ini, semua hal baik seakan tidak pernah terjadi. Padahal dulu dia sering bercanda bersama Ayah di ruang keluarga, membuat kue bersama Ibu di dapur, berkebun bersama kedua orang tuanya di taman belakang, bahkan diceritakan dongeng ketika ingin tidur. 

Semua hal itu rasanya tidak pernah terjadi, yang ada hanya kenangan buruk ketika keluarga mereka sedang tidak baik--baik saja.

"Ibu, maafkan Zia. Terima kasih kado ulang tahunnya, tetapi yang Zia butuh sekarang cuma Ibu," ucap gadis manis yang tampak pucat itu.

Tubuhnya terasa di peluk. "Maaf membuat kamu sendirian, sayang. Maaf Ibu ninggalin kamu."

"Ibu, Zia minta maaf. Maaf tidak bisa bertahan sendirian seperti yang Ibu inginkan."

Tangisan keduanya memenuhi rumah lama itu. Entah sudah berapa tahun tidak ada orang yang menjamah, rumah itu dibiarkan begitu saja tanpa ada yang mengurus. 

"Lihat tubuh itu, Ibu. Dia sendirian, bahkan ketika dia mati pun tidak ada yang menyadari," ucap Zia sambil menunjuk ke tubuh seorang gadis dengan wajah pucat itu. 

"Tetapi, aku sudah tidak butuh tubuh itu. Aku sudah bersama Ibu sekarang. Aku lebih bahagia. Terima kasih, Bu," ucap Zia sembari memeluk Ibunya.

.

Ditemukan mayat seorang gadis muda di sebuah rumah lama tak berpenghuni. Siapa gadis itu?

TAMAT

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun