PENDAHULUAN    Â
Manusia merupakan makhluk yang tidak akan pernah bisa hidup sendirian. Oleh karena itu, manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan makhluk selain dirinya sendiri. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, mulai dari kebutuhan premier, sekunder, dan tersier, semua itu perlu bantuan dari orang lain.Â
Ada kalanya manusia memiliki hasrat akan memiliki sesuatu yang telah diinginkannya sejak dulu. Akan tetapi, dengan kurangnya kemampuan atau uang untuk menggapai keinginannya tersebut, terbesitlah untuk melakukan sesuatu untuk mempercepat keinginannya tersebut untuk terwujud, yaitu dengan meminjam uang, yang disebut dengan utang-piutang. Ataupun bagi orang yang terdesak untuk memenuhi kebutuhannya dan memiliki kekurangan harta, bisa melakukan utang-piutang.
Sebenarnya tidak ada salahnya jika kita melakukan transaksi utang piutang. Karena pada dasarnya, kegiatan tersebut merupakan bentuk saling tolong menolong. Seperti yang telah tercantum dalam Al-Quran pada surat Al-Maidah ayat 2 yang berbunyi
 Â
"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya"
Dalam kasus ini, dalam suatu negara, untuk mensejahterakan rakyatnya butuh fasilitas yang cukup dan memadai untuk menunjang kehidupan rakyatnya dan memajukan negaranya. Perlulah hutang kepada negara lain untuk memenuhi keperluan tersebut dikarenakan kurangnya biaya dalam negeri atau sumber daya yang kurang dalam negeri.
Semua hasil dari hutang negara ini, dinikmati dan dianggap sebagai kemajuan sebuah negara. Tetapi, semakin banyak hutang negara, ada kemungkinan untuk menambah biaya pada pajak yang dibayar oleh masyarakat, karena pada dasarnya, dengan membayar pajak secara teratur dan tepat waktu, akan mengurangi jumlah hutang negara.
Hasil yang diharapkan dari artikel ini adalah untuk mengetahui apakah hutang negara termasuk hutang masyarakatnya secara individual atau tanggung jawab pemerintah atau pejabat saja? Karena hutang akan dibawa sampai wafat.
PEMBAHASAN
Hutang luar negeri adalah sebagian dari seluruh hutang negeri yang didapatkan dari kreditor luar negeri. Penerima hutang tersebut bisa dari pemerintahan, perusahaan atau personal. Bentuk hutangnya pun dapat berupa jasa yang diperoleh dari negara lain ataupun perusahaan luar.
Bank Indonesia mencatat utang luar negeri Indonesia mencapai US$420,7 miliar atau setara dengan Rp.6.016,01 triliun pada akhir Januari 2021. Tentu ini adalah angka yang sangat besar dan mengkawatirkan. Akan tetapi, hutang negara tidak semena-mena tanpa tujuan. Karena dengan adanya hutang negara ini, dapat mendukung pembangunan nasional dan telah disetujui oleh DPR RI ketika membahas dan menetapkan APBN.
Â
Dengan adanya dukungan pembangunan nasional dari pemerintah, ekonomi Indonesia berkembang menjadi keadaan ekonomi yang stabil, melebihi China dan Korea. Walaupun seperti itu, kita sebagai WNI tidak hanya tinggal diam dan berusaha untuk membantu pemerintah dengan salah satunya membayar pajak tepat pada waktunya.
Â
Perspektif Hutang Dalam Islam
Â
Dari perspektif Islam secara umum ada dua pandangan terhadap hutang luar negeri. Pertama bahwasanya hutang luar negeri diperbolehkan asalkan bersifat syariah dan bertujuan untuk saling membantu. Seperti mudharabah, musyarakah. murabahah.Â
Kedua, hutang negeri yang haram karena terdapat unsur riba didalamnya. Sudah jelas bahwasanya hutang seperti ini sangat dilarang keras untuk dilakukan. Akan tetapi, khususnya di zaman yang modern ini mayoritas negara pemberi hutang adalah bukan negara islam. Dari data tersebut, tidak terelakkan bahwasanya Indonesia melakukan pinjaman hutang luar negeri kepada negara pemberi hutang non islam, sehingga sudah pasti mengandung riba. Maka hutang luar negeri secara mayoritas adalah haram.
      Hal riba ini sudah jelas tercantum dalam al-Quran surat Al-Baqarah ayat 275 yang berbunyi
Â
Â
"Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barangsiapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barangsiapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya."
Ayat tersebut memiliki arti bahwa uang yang dipinjamkan harus tanpa adanya harapan akan pemgembalian yang melebihi jumlah pokoknya. Beda halnya jika mengembalikan pokok yang sudah dipinjam ditambah dengan penambahan yang disyaratkan.
Menurut Tokoh Islam kontemporer, Muhammad Sharif Chaudry mengatakan untuk menjauhi hutang. Karena hutang adalah beban dan tanggung jawab yang berat.Â
Hutang mengancurkan kedamaian pikiran dan harus dilakukan dengan niat pasti untuk mengembalikannya. Menurut Abdullah Qadim Zallum, Hutang luar negeri bukanlah cara yang tepat untuk mendukung pembangunan nasional suatu negara, akan tetapi pajak atau kewajiban umat Muslimlah yang harus diutamakan. Menurut Umar Chapra, hutang luar negeri sama saja tidak efektif. Salah satu cara yang terbaik selain hutang luar negeri adalah dengan menaikkan pajak negara.
Walaupun hutang merupakan suatu kejadian yang biasa terjadi dalam kehidupan, seperti yang tercantum dalam Al-Quran surat al-Baqarah ayat 282 yang menjelaskan bahwa jika seseorang ingin berhutang kepada pihak yang lain maka hendaklah ia mencatatnya. Bisa disimpulkan bahwa hutang adalah hal yang diperbolehkan. Tetapi, ingatlah prinsip-prinsip berikut
- Harus didasari bahwa hutang merupakan jalan terakhir ketika segala usaha untuk mendapatkan dana secara halal mengalami kebuntuan. Adanya unsur keterpaksaan bukan kebiasaan
- Jika terpaksa berhutang, jangan berhutang diluar kemampuan. Karena jika seseorang terbelit akan hutang (Ghalabatid dayn), Â maka akan sangat mudah sekali untuk dikendalikan oleh orang lain (Qahrir Rijal)
- Â Jika sudah berhutang, maka harus ada niat untuk mengembalikannya dan harus mempunyai komitmen atau janji untuk mengembalikan hutang.
Hutang adalah jalan pintas untuk mendapatkan sumber daya dan pembiayaan. Tetapi, tentulah ada sesuatu dibalik itu seperti riba dan bunga. Hutang luar negeri pun memiliki dampak-dampak negatif. Karena akan membebankan generasi-generasi selanjutnya yang tugasnya adalah untuk melunasi hutang hutang yang telah diwariskan. Bahkan bisa jadi dengan adanya hutang luar negeri, bisa menghilangkan aset-aset negara yang paling penting, kekacauan APBM, dan merusak kedaulatan negara hanya karena untuk melunasi hutang negara.
Hutang Negara Termasuk Hutang Rakyat?
Menurut Ustadz Abdul Somad, yang dimaksud dengan hutang adalah hutang personal, seperti yang tercantum pada surat Al-Baqarah ayat 282 " Wahai orang-orang yang beriman! Kalau kalian menjalin transaksi utang piutang untuk waktu yang ditentukan, maka tulislah!". Jadi kesimpulannya, menurut Ustadz Abdul Somad, bahwa Hutang Negara merupakan tanggung jawab yang melakukan hutang tersebut, mau itu pejabat ataupun pemerintah. Rakyat tidak menanggung hutang negara.
Â
Menurut Habib Abubakar Assegaf, bahwa hutang negara tersebut yang menanggung adalah yang melakukan hutang tersebut, bukan rakyat. Karena Habib Abubakar Assegaf berdalilkan Al-Masulliyyah, tanggung jawab itu pemimpin, bukan rakyat. Seperti penggalan hadits
                                                                                                                      Â
"Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya"
Â
Karena pemimpin mengemban amanah atau kepercayaan dari orang-orang yang dipimpinnya dan tentu hal ini merupakan tanggung jawab yang besar.
Â
Adapun Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Bandung mengeluarkan fatwa tentang status hutang negara sebagai berikut "Bahwa hutang negara merupakan bukan hutang pribadi warga negara, melainkan hutang yang harus diselesaikan oleh kepala negara". Kita bisa melihat dan memandang bahwasanya tanggungan kepada negara sangatlah besar.
Â
Selain itu, menurut Ustadz Erwandi Tarmizi, Lc., M.A., seorang salafi dan pakar fiqih muamalah kontemporer, jika dibagi hutang negara Indonesia terhadap rakyatnya. Setiap orang akan menanggung sekitar 16 juta. Tetapi, hutang tersebut akan ditanggung dengan yang melakukan akad hutang secara langsung di dunia dan dibawa hingga ke akhirat. Karena rakyat tidak tahu dan tidak terlibat langsung dengan akad yang terjadi.
Dari sini kita bisa mengetahui bahwa hutang negara adalah bukan hutang rakyat secara individu, dan merupakan hutang yang melakukan akad dan transakis hutang tersebut.
Â
Penutup
Â
Hutang merupakan salah satu cara untuk menopang pembiayaan negara dalam kondisi tertentu. Secara prinsip, hutang tidak dilarang dalam Islam. Tetapi, ada mekanisme-mekanisme untuk berhutang agar tidak terjebak kepada tata cara mekanisme yang tidak syariah. Dengan cara menerapkan sistem akad syariah. Hutang diperbolehkan karena pada hakikatnya, hutang adalah sarana untuk tolong menolong. Untuk itu, hutang merupakan jalan yang paling terakhir yang bisa ditempuh jika dalam kondisi yang harus mengharuskan hal itu terjadi.
Â
Hutang negara bukanlah hutang rakyat secara individu, karena seperti telah yang dicantumkan dari beberapa pendapat, bahwa hutang negara yang menanggung adalah orang yang melakukan transaksi dan akad hutang tersebut.
Â
Dengan kajian ini, penulis berpesan bahwa agar hati-hati dalam segala transaksi yang berhubungan dengan hutan-piutang. Begitu pula dengan pemerintah untuk memberi perhatian yang besar terhadap masalah sumber daya yang ada di Indonesia sehingga dapat menyebabkan hutang negara membengkak dan membebani generasi-generasi berikutnya.Â
Begitu juga dengan penerapan akad dan mekanisme yang sesuai dengan prinsip syariah sangat diharapkan, agar pembangunan yang dilakukan dari hutang dapat memberi manfaat dan maslahat lebih besar bagi masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H