Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan masyarakat yang majemuk yang memiliki berbagai macam budaya, suku, ras dan agama. Satu pulau dengan pulau yang lain memiliki kebudayaan dan kebiasaan 2 yang berbeda-beda, bahkan di dalam satu pulau bisa juga memiliki kebudayaan dan kekhasan masing-masing. Kekhasan masing-masing daerah tidak hanya pada budaya, kesenian atau pakaian saja melainkan juga kuliner atau makanan.Â
Salah satunya gudeg, kuliner yang sangat terkenal dan lekat menjadi ikon Kota Yogyakarta. Gudeg merupakan salah satu kuliner yang terkenal dan banyak digemari masyarakat Indonesia sendiri maupun para turis. Gudeg adalah makanan khas Yogyakarta dan Jawa Tengah yang terbuat dari nangka muda yang dimasak dengan santan.
Perlu waktu berjam-jam untuk membuat masakan ini. Warna coklat biasanya dihasilkan oleh daun jati yang dimasak bersamaan. Gudeg dimakan dengan nasi dan disajikan dengan kuah santan kental (areh), ayam kampung, telur, tahu dan sambal goreng krecek. Gudeg sendiri ada berbagai macam jenis, seperti:
1. Gudeg kering, yaitu gudeg yang disajikan dengan areh kental, jauh lebih kental daripada santan pada masakan padang.
2. Gudeg basah, yaitu gudeg yang disajikan dengan areh encer.
3. Gudeg Solo, yaitu gudeg yang arehnya berwarna putih.
4. Gudeg Manggar, yaitu gudeg yang menggunakan putik bunga kelapa.
Berdasarkan serat centhini gudeg petama kali dikenal pada tahun 1819, yaitu pada jaman mataram kuno dan pada jaman tersebut gudeg disebut sebagai makanan yang merakyat di Jawa, termasuk Kota Yogyakarta. Pada saat penjajahan, beberapa komoditas pertanian menjadi andalan pemasukan keuangan pemerintah, terutama jati. Sedangkan nangka tidak menjadi incaran karena dinilai tidak memiliki nilai jual ekonomis.Â
Padahal nangka termasuk tanaman merakyat dan hampir semua orang mempunyainya, sehingga untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, pemerintah kolonial penjajah memberikan keleluasaan warga untuk memanfaatkannya. Dalam berbagai sumber mengenai sejarah gudeg dapat disimpulkan bahwa gudeg adalah makanan yang merakyat pada jaman dulu. Karena bahannya yang mudah di temukan di halaman sekitar rumah warga, yaitu pohon nangka.
Masyarakat di Jawa pada jaman dahulu pada umumnya memiliki halaman rumah yang begitu luas dan hampir semua warga menanam pohon nangka dan kelapa. Karena kemudahan dalam menemukan bahan yang banyak tersedia di pekarangan rumah warga, kemudian nangka tersebut dikembangkan dan diolah menjadi gudeg yang kita kenal sekarang ini.Â
Pada awalnya bentuk gudeg yang pertama dikenal adalah gudeg yang basah. Gudeg basah yaitu gudeg yang nyemek yang disajikan langsung dengan santannya yang biasanya disajikan pada pagi hari. Karena bentuknya yang basah gudeg basah memiliki kekurangan yaitu tidak bisa bertahan lama dan tidak bisa di bawa dalam perjalanan jauh karena mudah basi.Â
Dari situ munculah gudeg kering, gudeg kering dimasak dalam waktu yang lebih lama hingga kuahnya mengering dan warnanya lebih kecoklatan. Rasanya juga lebih manis. Gudeg jenis ini bisa tahan hingga 24 jam atau bahkan lebih jika dimasukkan ke dalam lemari es sehingga banyak yang menjadikannya buah tangan.
Seiring berkembangnya zaman, gudeg yang dulu hanya di jajakan di lesehan sekarang mampu merangkak keatas dari yang dijual di lesehan atau kaki lima menjadi sebuah warung bahkan restoran-restoran. Penikmat gudeg sediri sudah terbagi-bagi dari yang lesehan warung hingga restoran gudeg selalu diminati dari kalangan anak-anak sampai orang tua. Bahkan hotel bintang lima pun mulai menyajikan menu gudeg dalam menu mereka. Makanan ini sudah menjadi asset makanan nasional dan dikenal secara global karena cita rasanya yang unik dan menarik.
Menurut Rizki Nurindiani Nostalgic Gustatory merupakan istilah yang tepat untuk mewakili keistimewaan Yogyakarta dan gudegnya. Nostalgic Gustatory adalah bagaimana makanan bisa memunculkan suatu kenangan yang luar biasa. Melihat berkembangnya industri kuliner (terutama yang bersanding dengan industri pariwisata) di Yogyakarta, gustatory nostalgia memiliki peran yang besar. Munculnya warung makan legendaris sangat dipegaruhi oleh gustatory nostalgia dari orang-orang yang pernah berkunjung atau tinggal di Yogyakarta.
Makanan yang awalnya terasa biasa saja menjadi fantastis ketika muncul kenangan-kenangan yang mengaitkan dirinya dengan romantisme masa lalu. Meski begitu, warung-warung yang tadinya biasa tapi kerap dikunjungi oleh orang-orang tadi tidak lantas menjadi legenda.Â
Mereka memetik hasilnya justru setelah bertahun-tahun kemudian -- ketika 'alumni' pelanggan warung tadi telah merantau ke berbagai tempat, lalu kembali sambil 'mencicipi' masa lalunya, dan kemudian bercerita. Kota Yogyakarta memberikan kenangan pada warga maupun pendatangnya.Â
Banyak musisi yang menjadikan Kota Yogyakarta sebagai judul karya mereka. Rata-rata perantau tinggal di Yogyakarta tiga sampai lima tahun untuk mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Setalah mereka kembali mereka menceritakan kenangan dan keunikan tentang Kota Yogyakarta kepada kerabat maupun orang-orang dekat mereka. Dengan begitu pesona Yogyakarta disalurkan melalui mulut kemulut dari para perantau yang pernah tinggal di Yogyakarta.
Menurut Murdiyati Garjito berdirinya Universitas Gadjah Mada pada tahun 1949 mempengaruhi perkembangan gudeg di Yogyakarta. Banyak masyarakat yang menjajakan gudeg di sekitar UGM sehingga banyak pegawai maupun mahasiswa yang menjadikan gudeg sebagai makanan sehari-hari mereka. Selain harganya yang murah gudeg memiliki rasa yang cocok untuk lidah orang Jawa dan bahannya yang mudah di dapatkan sehingga keberadaan gudeg bisa terus eksis sebagai makanan rakyat yang favorit.
Sebagai Kota Pedidikan selain UGM Kota Yogyakarta memiliki lebih dari seratus Perguruan Tinggi, baik Universitas, Institute maupun Perguruan Tinggi. Dari situlah Yogyakarta banyak menjadi tujuan perantauan dalam menuntut ilmu. Menuut Rizky Nurindiyani para perantau juga memiliki peran yang penting dalam mencicip rasa gudeg dan membawa cerita itu pulang. Banyak perantau yang menjadikan gudeg sebagai buah tangan saat mereka kembali pulang. Walaupun terkesan kecil tapi jika dilakukan oleh banyak orang itu bisa menjadi gerakan yang masif.
Gudeg bisa berkembang karena cerita-cerita para perantau, bahwa di 7 Op. Cit. Murdijati Gardjito. hal. 23 8 Kota Yogyakarta itu ada gudeg dan itu adalah makanan khasnya. Selain dari cerita tersebut gudeg juga didukung oleh pariwisata yang menjadi salah satu ikon Yogyakarta. Para perantau yang tinggal di Yogyakarta memiliki kenangan tersendiri tentang Kota tersebut, salah satunya kenangan tentang rasa gudeg itu sendiri. gustatory nostalgia memiliki peran yang besar.Â
Munculnya warung makan legendaris sangat dipegaruhi oleh gustatory nostalgia dari orang-orang yang pernah berkunjung atau tinggal di Yogyakarta. Makanan yang awalnya terasa biasa saja menjadi fantastis ketika muncul kenangan-kenangan yang mengaitkan dirinya dengan romantisme masa lalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H