Mohon tunggu...
Luthfi Merasa
Luthfi Merasa Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ramdhan

12 Mei 2017   00:59 Diperbarui: 12 Mei 2017   01:02 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sama halnya dengan malam-malam sebelumnya, Ramdhan kembali terhanyut dalam kekhusukan dzikir-dzikir yang ia dipanjatkan kepada Tuhannya. Ia tertunduk ta’dzim setelah menyeleisaikan dua rakaat shalat tahajjut dan shalat tasbih. Menyesali dosa-dosa yang telah ia perbuat sebelumnya. Dzikir yang dilantunkan, tidak lain adalah sebuah permohonan agar Allah SWT. mau memaafkan segala perbuatan buruk dirinya selama ini.

Kalau diingat-ingat, sebelumnya Rsmdhan tidak pernah melakukan hal sedemikian. Jangankan bangun malam buat shalat tahajjud, shalat subuh saja kadang dia kesiangan. Padahal, ia seorang santri yang hidup di lingkungan pondok pesantren. Tentu, untuk melaksanakan qiyamul lail, akan menjadi lebih mudah ketimbang mereka yang tidak mondok.

”Aneh ya? Tidak seperti biasanya!” bisik teman-temannya.

Memang, selama ini Ramdhan dikenal sebagai santri yang nakal dan pemberontak. Tak ada orang yang didengar ucapannya. Kalaupun itu Kiai yang ber-dauh,ia tetap tak mau peduli. Apalagi hanya pengurus pesantren yang menasehati, sama sekali tidak digurbisnya. Perkataan teman-temannya pun seperti debu yang habis disapu angin, hilang tak membekas sama sekali.

Pernah satu kejadian, Ramdhan membuat babak belur salah satu pengurus pesantren. Kalau tidak salah namanya Risno. Dia memukul kakak seneornya tepat di bagian mata sebelah kirinya. Hingga matanya tak bisa melihat beberapa hari karena memar. Tak ada yang mengetahui sebab muasal kejadian tersebut. Tapi salah seoarang santri yang melihat kejadian itu mengatakan, sebelum perkelahian itu terjadi, Risno sempat berbicara dengan Ramdhan.

Namun, entah siapa yang memulai, tiba-tiba Ramdhan memukul wajah risno. Seketika itu pula, Risno bangun dan terjadilah perkelahian antar keduanya. Tak ada berani memisahkan, sebab mereka berdua merupakan dua orang yang sama-sama ditakuti; Risno sebagai Koordinator Pengurus Keamanan dan Ketertiban (KAMTIB) yang dikenal sangat garang, dan Ramdhan si santri super nakal juga bengis. Hingga pada akhirnya Risno jatuh tersungkur setelah pukulan keras Ramdhan tak terbendung mendarat di mata sebelah kirinya.

Saat itu, Ramdhan langsung diseret ke kantor pesantren. Ia diintrogasi oleh para pengurus pesantren. Tak ada yang tahu apa yang terjadi dengan mereka di dalam kantor. Setelah  berselang kira-kira satu jam, Ramdhan keluar dengan muka yang tak kalah remuk dengan wajah Risno tadi, mungkin ia dipukul habis-habisan oleh pengurus dan  juga mungkin sudah ada tendangan yang semapat mendarat di tubuhnya.

Tiba di kamar, teman-temannya menanyakan sebab hal mengapa ia sampai berurusan dan berkelahi dengan Pengurus KAMTIB. Ramdhan hanya diam. Tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Teman-temanya tak bisa memaksa Ramdhan menjawab. Ia paham bahwa Ramdhan memeng agak kurang suka dengan sikap dan perilkau pengurus pesantren. Ia menganggap bahwa mereka—pengurus—hanya tahu menyuruh dan menyuruh, tapi tidak tidak mau—atau malah tidak bisa—mengerjakan apa yang diperintahnnya itu. Waktu itu, temannya cuma bisa diam sambil melihat wajah Ramdhan yang sepertinya masih sangat kesal dengan Risno.

***

Sudah beberapa minggu belakangan, Ramdhan memang tampak beda. Sikap angkuh dan bengis yang selama ini melekat pada dirinya hilang seketika. Malah sekarang, ia menjadi santri yang sangat baik. Sangat ramah kepada santri lain. Senyum sumringah selalu ia perlihatkan. Bahkan, sekarang ia sangat akrab dengan Risno, musuh terbesarnya. Saat ini pun, ia tak lepas mengerjakan shalat berjamaah lengkap dengan qabliyah-ba’diyah, serata selalu bangun malam buat melaksanakan shalat tahajjud.

Hingga detik ini tidak ada yang tahu betul perihal perubahannya yang amat mengejutkan ini. Teman-teman Ramdhan bukan tidak percaya akan hidayah Tuhan yang dapat mengubah pribadi seseorang sesuai kehendak-Nya. “Tapi, apakah secepat ini?” gumam heran salah satu teman Ramdhan. Teman-teman Ramdhan yang lain juga penasaran akan perubahan yang begitu berbalik. Sampai akhirnya ada yang berani menanyakan mengenai perubahan yang dianggap mereka mendadak tersebut.

            “Ramdhan, maaf sebelumnya. Kami hendak menanyakan keadaanmu yang sangat berbeda. Bukan kami tidak senang akan perubahan ini, bahkan kami sangat bahagia jika benar kau tidak lagi sangar dan nakal seperti kemaren.” ucap seorang santri yang juga masih satu kamar dengan Ramdhan.

            Ramdhan tersenyum mendengar pernyataan temanannya. Ia tidak begitu heran dengan pertanyaan temannya itu. Ia pun sadar perubahan yang ada pada dirnya sangatlah cepat dan tidak disangka-sangka. Ramdhan menarik napas panjang dan dalam, kemudian mengeluarkannnya pelan-pelan. Dengan senyum manis yang mepesona ia mulai berbicara pada temannya. Mencoba menjawab pertanyaan yang temannya lonatarkan tadi;

            “Sahabatku! Pertama aku ingin minta maaf atas segala kesalahan yang sudah aku lakukan padamu selama ini. Jujur, aku sangat menyesali itu semua. Teringat akan pertanyaanmu tadi. Aku hendak bercerita sedikit,” Ramdhan berhenti sejenak, dan melanjutkan, “Sekitar dua puluh hari yang lalu, aku hendak keluar pesantren. Aku tidak pamit pada pengurus. Mauku pulang ke rumah, sebab aku sudah bosan dengan suasana pondok yang semakin hari semakin kacau saja.

“Kau mungkin tahu betapa bencinya aku pada pengurus pesantren yang hanya tahu menyuruh dan menyuruh, tapi mereka sendiri tidak pernah melakukan apa yang yang mereka suruh itu. Kalau ada santri yang nakal, pasti yang disalahkan adalah santri itu sendiri. Tak tahukah mereka bahwa para santri dititipkan di sini, tidak lain adalah untuk menjadi lebih baik. Dan tugas pengurus adalah mendidik mereka semua. Bukan malah selalu memojokkan mereka.

“Sahabatku! Mungkin kau harus tahu. Semula, kenakalanku ini hanyalah bertujuan untuk menyadarkan para pengurus tadi. Di sisi lain, aku juga tidak suka pada santri yang seenaknya sendiri. Keluar masuk pesantren saat jam aktif, pulang tanpa pamit, dan kelakuan nakal lainnya. Tapi, kau juga tahu, aku bukan siapa-siapa. Bukannya menyadarkan mereka, aku malah tidak dapat mengontrol diriku sendiri. Akhirnya aku juga masuk dalam jurang kegelapan itu. Aku pun menjadi santri nakal seperti yang kau lihat kemaren-kemaren.

“Hingga, beberapa waktu lalu, aku bertemu seorang pengemis, yang aku tahu bernama adalah Mbah Surip. Ia meminta sesuap nasi kepadaku. Katanya, telah berhari-hari dia tidak makan. Aku pun memberi ia sebungkus makanan yang aku beli di warung dekat tempat tersebut. Kemudian Mbah Surip makan dengan lahapnya.

“Setelah makan, ia lalu mengucapkan terimakasih kepadaku. ‘terimakasih nak Ramdhan. Kau baik sekali.’ Katanya. Aku cukup terkejut. Dari mana dia tahu namaku. ‘Sama-sama Pak. Loh, kok Bapak tahu nama saya?’, ‘Ya, bahkan Bapak tahu apa yang kau pikirkan sekarang.’ Aku semakin keget mendengarnya. Aku bingung. Apakah dia orang-orang pesantren yang sengaja menyamar untuk mengawasi para santri yang keluyuran. Atau juga, apakah dia seorang yang sakti mantra guna sehingga tahu hal di dalam hatiku. Aku tidak tahu.

“Mbah Surip lantas duduk di sampingku. Ia tersenyum melihatku. Kemudian berkata; ‘Nak Ramdhan, kau mungkin tidak tahu siapa saya. Tapi itu tidaklah begitu penting. Yang lebih penting sekarang, maukah kah mendengar sesuatu yang akan kukatakan padamu?’ aku hanya mengguk tanda setuju. Mabah Surip menarik napas panjang lantas menlanjutkan penururannya setelah mendapat restu dariku.

“ ‘Nak Ramdhan. Terkadang kita merasa geli ketika melihat hal-hal di sekitar kita tidak sesuai dengan  yang kita pikirkan. Dari situ, kita berkeinginan untuk menggiring mereka bahkan tak segan-segan untuk membrontak agar ia selaras dengan kita, tanpa mempertimbangkan apakah kita mampu melakukannya ataukah tidak. Nak, alangkah lebih baiknya kita hindari-hindari hal-hal yang sepeti itu. Yakni hal yang sulit kita taklukkan.’ Aku termangu mendengar kata-katanya. Setelah itu, ia berdiri dan menjahuh dariku. Selang beberapa saat, Mbah Surip telah menghilang. Entah ke mana ia pergi.

“Awalnya, aku tidak mengerti akan perkataan Mbah Surip tadi. Tapi, setelah dipikir-pikir, ia ada benarnya. Selama ini, aku memang memaksakan sesuatu yang sebenarnya aku sendiri belum mampu melakukannya. Kala itu aku sadar, dan tidak jadi pulang ke rumah. Aku berbalik arah menuju pondok. Di pondok, aku kembali merenungkan kata-kata Mbah Surip. Saat itu, aku memutuskan untuk menata kembali niatku berada di pondok ini; mendekatkan diri kepada Sang Khaliq dan belajar ilmu pengetahuan dengan benar. Tidak selalu berkeinginan memperbaiki orang lain, semantara diriku masih tidak benar. Begitu.”

Penjelasan Ramdhan membuat temannya kagum dan tak percaya. Seakan perkataan Ramdhan tadi membuat hati temannya tadi seperti merpati yang begitu lembut. Jiwa seorang wanita serasa datang begitu saja dalam dirinya. Ia lantas memeluk Ramdhan dengan erat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun