Mohon tunggu...
Luthfi Merasa
Luthfi Merasa Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ramdhan

12 Mei 2017   00:59 Diperbarui: 12 Mei 2017   01:02 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

            “Ramdhan, maaf sebelumnya. Kami hendak menanyakan keadaanmu yang sangat berbeda. Bukan kami tidak senang akan perubahan ini, bahkan kami sangat bahagia jika benar kau tidak lagi sangar dan nakal seperti kemaren.” ucap seorang santri yang juga masih satu kamar dengan Ramdhan.

            Ramdhan tersenyum mendengar pernyataan temanannya. Ia tidak begitu heran dengan pertanyaan temannya itu. Ia pun sadar perubahan yang ada pada dirnya sangatlah cepat dan tidak disangka-sangka. Ramdhan menarik napas panjang dan dalam, kemudian mengeluarkannnya pelan-pelan. Dengan senyum manis yang mepesona ia mulai berbicara pada temannya. Mencoba menjawab pertanyaan yang temannya lonatarkan tadi;

            “Sahabatku! Pertama aku ingin minta maaf atas segala kesalahan yang sudah aku lakukan padamu selama ini. Jujur, aku sangat menyesali itu semua. Teringat akan pertanyaanmu tadi. Aku hendak bercerita sedikit,” Ramdhan berhenti sejenak, dan melanjutkan, “Sekitar dua puluh hari yang lalu, aku hendak keluar pesantren. Aku tidak pamit pada pengurus. Mauku pulang ke rumah, sebab aku sudah bosan dengan suasana pondok yang semakin hari semakin kacau saja.

“Kau mungkin tahu betapa bencinya aku pada pengurus pesantren yang hanya tahu menyuruh dan menyuruh, tapi mereka sendiri tidak pernah melakukan apa yang yang mereka suruh itu. Kalau ada santri yang nakal, pasti yang disalahkan adalah santri itu sendiri. Tak tahukah mereka bahwa para santri dititipkan di sini, tidak lain adalah untuk menjadi lebih baik. Dan tugas pengurus adalah mendidik mereka semua. Bukan malah selalu memojokkan mereka.

“Sahabatku! Mungkin kau harus tahu. Semula, kenakalanku ini hanyalah bertujuan untuk menyadarkan para pengurus tadi. Di sisi lain, aku juga tidak suka pada santri yang seenaknya sendiri. Keluar masuk pesantren saat jam aktif, pulang tanpa pamit, dan kelakuan nakal lainnya. Tapi, kau juga tahu, aku bukan siapa-siapa. Bukannya menyadarkan mereka, aku malah tidak dapat mengontrol diriku sendiri. Akhirnya aku juga masuk dalam jurang kegelapan itu. Aku pun menjadi santri nakal seperti yang kau lihat kemaren-kemaren.

“Hingga, beberapa waktu lalu, aku bertemu seorang pengemis, yang aku tahu bernama adalah Mbah Surip. Ia meminta sesuap nasi kepadaku. Katanya, telah berhari-hari dia tidak makan. Aku pun memberi ia sebungkus makanan yang aku beli di warung dekat tempat tersebut. Kemudian Mbah Surip makan dengan lahapnya.

“Setelah makan, ia lalu mengucapkan terimakasih kepadaku. ‘terimakasih nak Ramdhan. Kau baik sekali.’ Katanya. Aku cukup terkejut. Dari mana dia tahu namaku. ‘Sama-sama Pak. Loh, kok Bapak tahu nama saya?’, ‘Ya, bahkan Bapak tahu apa yang kau pikirkan sekarang.’ Aku semakin keget mendengarnya. Aku bingung. Apakah dia orang-orang pesantren yang sengaja menyamar untuk mengawasi para santri yang keluyuran. Atau juga, apakah dia seorang yang sakti mantra guna sehingga tahu hal di dalam hatiku. Aku tidak tahu.

“Mbah Surip lantas duduk di sampingku. Ia tersenyum melihatku. Kemudian berkata; ‘Nak Ramdhan, kau mungkin tidak tahu siapa saya. Tapi itu tidaklah begitu penting. Yang lebih penting sekarang, maukah kah mendengar sesuatu yang akan kukatakan padamu?’ aku hanya mengguk tanda setuju. Mabah Surip menarik napas panjang lantas menlanjutkan penururannya setelah mendapat restu dariku.

“ ‘Nak Ramdhan. Terkadang kita merasa geli ketika melihat hal-hal di sekitar kita tidak sesuai dengan  yang kita pikirkan. Dari situ, kita berkeinginan untuk menggiring mereka bahkan tak segan-segan untuk membrontak agar ia selaras dengan kita, tanpa mempertimbangkan apakah kita mampu melakukannya ataukah tidak. Nak, alangkah lebih baiknya kita hindari-hindari hal-hal yang sepeti itu. Yakni hal yang sulit kita taklukkan.’ Aku termangu mendengar kata-katanya. Setelah itu, ia berdiri dan menjahuh dariku. Selang beberapa saat, Mbah Surip telah menghilang. Entah ke mana ia pergi.

“Awalnya, aku tidak mengerti akan perkataan Mbah Surip tadi. Tapi, setelah dipikir-pikir, ia ada benarnya. Selama ini, aku memang memaksakan sesuatu yang sebenarnya aku sendiri belum mampu melakukannya. Kala itu aku sadar, dan tidak jadi pulang ke rumah. Aku berbalik arah menuju pondok. Di pondok, aku kembali merenungkan kata-kata Mbah Surip. Saat itu, aku memutuskan untuk menata kembali niatku berada di pondok ini; mendekatkan diri kepada Sang Khaliq dan belajar ilmu pengetahuan dengan benar. Tidak selalu berkeinginan memperbaiki orang lain, semantara diriku masih tidak benar. Begitu.”

Penjelasan Ramdhan membuat temannya kagum dan tak percaya. Seakan perkataan Ramdhan tadi membuat hati temannya tadi seperti merpati yang begitu lembut. Jiwa seorang wanita serasa datang begitu saja dalam dirinya. Ia lantas memeluk Ramdhan dengan erat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun